Melalui buku ”Pembentuk Sejarah, Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad”, semua bisa melihat dan merasakan Indonesia dari persepsi dan citarasa Goenawan Mohamad.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
Tulisan-tulisan Goenawan Mohamad tidak hanya menjadi catatan perjalanan sejarah, tetapi juga inspirasi bagi banyak orang. Di sisi lain, Goenawan juga terinspirasi banyak orang sehingga baginya sejarah tidak didominasi seorang tokoh atau satu pemikiran saja.
Sejumlah tokoh memberikan berbagai komentar dengan beragam sudut pandang personal tentang sosok yang tahun ini berulang tahun ke-80 itu. Dalam perayaan yang hadir dalam bentuk peluncuran buku Pembentuk Sejarah, Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad, Senin (29/11/2021), beragam kesan para tokoh itu menjadi mozaik yang menggambarkan Goenawan Mohamad.
Wakil Presiden ke-11 RI Boediono menyebut Goenawan sebagai sahabatnya. Ia berharap Goenawan akan terus menjadi inspirasi, tidak hanya bagi generasi muda, tetapi bagi semua lapisan usia.
Selaku tuan rumah, Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute mengatakan, Indonesia dibangun oleh imaji sebagai hasil narasi. Buku yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia itu menjadi cara bagi pembaca untuk melihat dan merasakan Indonesia dari persepsi dan cita rasa Goenawan Mohamad.
Kompas/Lasti Kurnia
Ayu Utami
Penulis Ayu Utami menggarisbawahi, Goenawan menawarkan emansipasi yang mendasar. Menurut dia, emansipasi sebagai dasar dari kemerdekaan dari penjajahan model rasio yang dogmatis dan doktriner. Goenawan menggunakan puisi sebagai model untuk berpikir dan berkesadaran yang membebaskan.
Goenawan menyebut puisi sebagai awal dari dirinya. Puisi yang kaya dengan metafora membebaskan manusia dan interpretasi yang terlalu ketat. Sayangnya, justru terjadi pemujaan berlebihan terhadap rasionalitas.
Goenawan menawarkan emansipasi yang mendasar. Menurut dia, emansipasi sebagai dasar dari kemerdekaan dari penjajahan model rasio yang dogmatis dan doktriner.
Sebelumnya, peneliti Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan sempat menikmati tulisan-tulisan Goenawan Mohamad sebagai temannya berimajinasi. Sayangnya, ketika menempuh pendidikan formal yang memberinya gelar doktoral, imaji-imaji ini kemudian hilang dan harus digantikan oleh urut-urutan yang mengikuti metodologi ilmiah secara ketat.
Ayu menambahkan, Goenawan membangun sebuah lingkungan di mana hubungan dibentuk bukan berdasarkan perintah, melainkan kemampuan melakukan asosiasi. Hal ini dilatarbelakangi awal Goenawan yang mencintai puisi dan punya intuisi untuk mengkritik rasionalistas yang instrumentalis dan bersifat doktriner. ”Ada dua hal di buku ini, yaitu model-model penulisan dan pemikiran yang mengarah ke sikap yang doktriner dan dogmatis dan yang bersifat puitis, ada ambiguitas sehingga ada kedalaman,” kata Ayu.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips J Vermonte.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips J Vermonte menyebut, buku Pembentuk Sejarah, Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad ini merepresentasikan tokoh-tokoh pada puncak usia mereka. Hal ini sejalan dengan Goenawan yang dinilai tidak saja seorang pemikir, tetapi juga eksekutor.
Philips menganggap tulisan-tulisan Goenawan mengingatkan pembacanya akan bentuk otoritarian. Bahkan, dalam caranya yang paling halus, ia melihat Goenawan ingin merawat semangat kemudaan ini. ”Intro buku ini soal Arif Budiman ketika usianya 19 tahun dengan pemikiran dan karya-karyanya,” katanya.
Goenawan mengakui, ia menemukan semangat dan optimisme pada kaum muda. Tidak saja ingin membangun harapan, Goenawan juga ingin menampilkan sisi yang berbeda. Ia misalnya melihat RA Kartini sebagai korban masyarakat.
Philips menambahkan, Goenawan tidak saja menampilkan tetapi juga berdebat. Perdebatan yang disertai ego tetapi dalam skala yang proporsional inilah yang menurut Philip bisa menjadi perdebatan intelektual yang mencerahkan. ”Enggak baper (bawa perasaan), kalau debat yang sekarang sering bikin diskusi berhenti karena jadi personal,” kata Philips.
Hal yang menarik, pengamat politik Fachry Ali meminta Goenawan menulis tentang sosok proklamator Soekarno.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Patung Presiden Pertama Indonesia Soekarno di Pos Lintas Batas Negara atau PLBN Skouw, Kota Jayapura, Papua, Minggu (21/11/2021). Skouw yang menjadi perbatasan antara Kota Jayapura dan Wutung, Papua Niugini (PNG), pada setiap akhir pekan menjadi pilihan favorit warga Kota Jayapura untuk berlibur. Di perbatasan tersebut terdapat pasar, tempat warga Wutung berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pandemi membuat aktivitas lintas batas negara menurun.
Goenawan yang menjadi pembicara pada akhir acara menanggapi dengan bercerita tentang persepsinya yang berevolusi dari memuja Soekarno hingga kemudian tidak ingin menulis tentang Presiden ke-1 RI tersebut. Menurut Goenawan, ketertarikannya kepada Soekarno di masa lalu dilatarbelakangi lingkungannya di Jawa Tengah. ”Enggak enak, enggak berani,” katanya setelah sebelumnya menjelaskan panjang lebar alasannya tidak menulis tentang Bung Karno.