Hindari Salah Tafsir Putusan MK, Pemerintah dan DPR Mesti Perbaiki UU Cipta Kerja
Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diharapkan tidak salah menafsirkan putusan MK terkait UU Cipta Kerja. MK memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja, bukan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan pers terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mesti cermat dan tepat dalam menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kesalahan dalam memperbaiki undang-undang sesuai perintah MK berpotensi mengakibatkan UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional, bahkan digugat kembali ke MK.
Dalam putusannya, MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil. MK menilai, pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai aturan pembentukan perundang-undangan, termasuk asas kejelasan rumusan dan tujuan, serta asas keterbukaan. MK kemudian memerintahkan pemerintah bersama DPR memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja paling lama dua tahun.
Atas putusan MK tersebut, muncul perbedaan tafsir dari sejumlah pihak. Ada yang beranggapan, cukup UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang direvisi, tak perlu menyentuh substansi dari UU Cipta Kerja. Namun, ada pula yang beranggapan UU Cipta Kerja harus direvisi.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva mengingatkan, pemerintah dan DPR jangan salah menafsirkan putusan MK. Sebab, penafsiran itu akan berdampak pada regulasi mana yang akan diperbaiki oleh pembentuk UU.
”Hal yang diperintahkan MK adalah perbaikan UU Cipta Kerja, bukan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kan, yang diminta untuk diperbaiki UU Cipta Kerja, jelas sekali amanatnya,” ujarnya dihubungi dari Jakarta, Senin (29/11/2021).
Baca juga: MK Menyatakan UU Cipta Kerja Cacat Formil
Jika bukan UU Cipta Kerja yang diperbaiki dalam tempo dua tahun, kata Hamdan, UU tersebut akan inkonstitusional. Begitu pula jika hanya UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang direvisi, itu belum memenuhi perintah dari putusan MK.
Hal yang diperintahkan MK adalah perbaikan UU Cipta Kerja, bukan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kan, yang diminta untuk diperbaiki UU Cipta Kerja, jelas sekali amanatnya.
Dalam memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR mesti memperbaiki proses pembentukan UU itu. Pertama, metode omnibus law yang digunakan pada UU Cipta Kerja diberikan catatan oleh MK tidak memiliki standar baku. Pembuatannya juga tidak sesuai dengan pakem yang ditentukan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena itu, MK meminta agar ada standar baku yang harus jadi pegangan dalam dalam membuat omnibus law.
Catatan kedua, kata Hamdan, banyak kesalahan-kesalahan yang diperbaiki setelah RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR. Kesalahan itu merupakan pinsipil, bukan kesalahan dalam penulisan. Ketiga, akses publik dan sosialisasi pada masyarakat dalam proses pembahasan UU Cipta Kerja tidak dilakukan dengan baik sehingga ini juga merupakan bagian yang harus diperbaiki. Adapun substansi yang dipermasalhkan oleh masyarakat juga harus ditinjau kembali.
”Pemerintah dan DPR harus segera memasukkan revisi UU Cipta Kerja dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam program legislasi nasional,” ujarnya.

Buruh memakai caping bertuliskan tolak omnibus law saat massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Pesan senada disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti. Menurut dia, pembentuk undang-undang harus mengkaji putusan uji formil UU Cipta Kerja dengan cermat. Sebab, dalam pertimbangannya, MK tidak semata-mata mempersoalkan penggunaan metode UU Sapu Jagat atau Omnibus Law yang belum diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di dalam pertimbangan nomor [3.21] MK menyebut bahwa tanpa bermaksud menilai konstitusional materiil UU Cipta Kerja, pembentuk undang-undang memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan dari sejumlah kelompok masyarakat. Artinya, revisi tidak cukup hanya dilakukan dengan memasukkan pengaturan omnibus law ke dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, secara substansi, UU Cipta Kerja juga harus direvisi dengan memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
”Putusan MK harus dibaca secara cermat, tidak hanya amar putusan tetapi juga pertimbangan-pertimbangan hukum MK,” tegas Susi.
Susi khawatir, dalam menafsirkan putusan MK, pemerintah hanya memilih salah satu pertimbangan hukum untuk memudahkan revisi UU yang diminta. Jika itu dilakukan, putusan MK hanya dilaksanakan sebagian hanya untuk justifikasi kesalahan selama proses pembentukan UU Cipta Kerja. Padahal, di dalam putusannya, MK juga menyebut bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil prosedur pembentukan UU yang baik.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti
Contohnya, substansi norma yang telah disetujui di tahapan persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR bisa berubah lagi di tahap formil persetujuan presiden. Perubahan ini, menurut Susi, sangatlah fatal. Sebab, perubahan ditemukan tidak hanya untuk perbaikan salah ketik, tetapi juga materi atau substansi UU.
Selain itu, MK juga menyebut bahwa pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas partisipasi publik yang bermakna. Partisipasi bermakna itu mensyaratkan tiga hal, di antaranya hak publik untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
”Dengan seluruh pertimbangan mahkamah itu, artinya UU Cipta Kerja harus dibahas lagi sejak awal per klaster. Caranya adalah dengan memasukkan ke daftar kumulatif terbuka atau Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 di DPR,” terang Susi.
Potensi digugat kembali
Susi memperingatkan, MK memang tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pendapat atau pertimbangan atas putusan yang telah dijatuhkan. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang mesti cermat menafsirkan putusan MK dengan memperhatikan keberatan dari para pemohon. Pemerintah dan DPR juga harus mempertimbangkan penerimaan publik secara rasional.

Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (28/10/2021). Sejumlah elemen buruh dan mahasiswa berunjuk rasa bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda dan satu tahun pengesahan UU Cipta Kerja. Pengunjuk rasa menuntut pemerintah mencabut UU Cipta Kerja dan berbagai aturan turunannya, menghentikan pemutusan hubungan kerja sepihak, menuntut jaminan kepastian kerja dan hentikan kekerasan jender di tempat kerja serta stop kriminalisasi dan penangkapan aktivis.
”Ini supaya UU Cipta Kerja bisa legal dan efektif saat diundangkan kembali. Jika masih ada gap antara penafsiran pembentuk undang-undang dan publik, bukan tidak mungkin UU Cipta Kerja akan digugat lagi setelah direvisi. Artinya, UU tidak memiliki legitimasi di masyarakat,” kata Susi.
Berbeda
Sampai saat ini pemerintah dan DPR belum memiliki tafsir yang sama terkait putusan MK. Dalam keterangan resmi, Senin siang, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah menghormati mematuhi putusan MK.
Presiden, bahkan, telah memerintahkan para menteri untuk sesegera mungkin menindaklanjuti putusan MK. Sebagai pembentuk undang-undang, pemerintah bersama DPR diberi waktu paling lama dua tahun untuk melakukan revisi atau perbaikan-perbaikan.
Baca juga: Patuhi Putusan MK, Presiden Jokowi Jamin Keamanan dan Kepastian Investasi
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan resmi menjelaskan, pemerintah akan mengusulkan revisi UU Cipta Kerja sekaligus UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemerintah akan mengusulkan revisi kedua UU tersebut bisa masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2022.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD didampingi Sekretaris dan Ketua Pelaksana Harian Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) mengumumkan perkembangan dana dan aset jaminan yang berhasil dikembalikan ke kas negara dari hak tagih utang BLBI, Rabu (27/10/2021).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, pemerintah akan menyelesaikan revisi UU Cipta Kerja kurang dari dua tahun, lebih cepat dari waktu yang diputuskan MK.
Berbeda dengan pemerintah, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyampaikan bahwa DPR hanya akan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi dilakukan untuk memasukkan frasa omnibus law sehingga setelah direvisi persoalan dianggap selesai dan UU Cipta Kerja menjadi konstitusional.
”Desember ini kami akan menyusun Prolegnas 2022 untuk jangka panjang dan jangka menengah, dan itu nanti akan kami masukkan ke Prolegnas,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, putusan MK jelas meminta pembentuk undang-undang untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja. Namun, MK tidak menunjukkan tata cara mana yang harus diperbaiki.

Para menteri Kabinet Indonesia Maju bersiap untuk foto bersama pimpinan DPR diakhir Rapat Paripurna DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna hari itu secara resmi mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Dengan demikian, Demokrat berpandangan bahwa hal yang harus diperbaiki adalah tata cara pembuatan UU Cipta Kerja, bukan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan UU Cipta Kerja harus mengikuti kaidah dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan RUU harus dilakukan secara terbuka, transparan, melibatkan partisipasi masyarakat, dan tidak tergesa-gesa mengesahkannya. ”Perbaikan ini pasti akan berdampak pada substansi,” ujarnya.
Menurut dia, Demokrat akan mengawal putusan itu dijalankan oleh pembuat UU sesuai dengan tafsir yang diperintahkan oleh MK. Jika pembahasan di DPR hanya menyangkut revisi UU PPP, Demokrat akan mengawal perbaikan agar dilakukan dengan perbaikan UU Cipta Kerja sesuai tata cara yang sesuai dengan UU.
Di sisi lain, Benny menilai putusan MK tentang UU Cipta Kerja telah membuat MK mengubah dirinya bukan lagi sebagai penjaga konstitusi, tetapi penjaga kekuasaan. Sebab, semestinya MK hanya menilai UU bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
”Apa pula kewenangan MK untuk menyuruh pembuat UU membuat aturan. MK telah menambah kewenangannya yang sebetulnya tidak ada sehingga mengacaukan sistem ketatanegaraan,” katanya.