Wadah Tunggal Advokat
Peradi membuka pintu seluas-luasnya kepada seluruh advokat yang saat ini masih belum menjadi anggota untuk diterima kembali, baik yang sebelumnya berada di Peradi yang lain maupun di luar Peradi.
Pengantar: Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama untuk melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat, melalui konsultasi hukum yang dimuat di Kompas.id dan Kabar Hukum. Kabar hukum menjadi wadah bagi anggota Peradi untuk menuangkan pemikirannya, baik berbentuk opini/artikel atau rilis/berita. Untuk Konsultasi Hukum, warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id, yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Untuk Kabar Hukum, anggota Peradi bisa mengirimkannya pada alamat email yang sama. Terima kasih
Baca Juga: Penyatuan Peradi Terus Diupayakan
Sesungguhnya mewujudkan single bar (wadah tunggal) advokat bukan lagi berada pada tataran gagasan, pemikiran, atau ide, tetapi sudah berada dalam tataran amanat Undang-Undang (UU), yaitu amanat dari pasal 32 ayat (4) dan pasal 28 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Keharusan adanya satu organisasi advokat dalam kehidupan berorganisasi advokat, berhukum dan bernegara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah merupakan perintah dari hukum positif (Ius Constitutum), tidak lagi dalam kerangka hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum).
Tentang latar belakang, maksud dan tujuan, serta landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pasal 32 ayat (4) dan pasal 28 ayat (1) UU Advokat, yang pada pokoknya mengamanatkan dibentuknya dan adanya satu organisasi advokat, tentu saja sudah secara sedemikian dibahas dan diperdebatkan pada saat pembahasan Rancangan UU Advokat. Hal ini bisa dilihat dari risalah rapat pembahasan UU No. 18/2003.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa putusannya telah melahirkan kaidah hukum, antara lain dalam putusan perkara Nomor 014/PUU-IV/2006, bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) adalah satu-satunya organisasi advokat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Dalam beberapa putusan berikutnya, MK juga memberikan dudukan konstitusional dan tafsir konstitusional tentang konstitusionalitas Peradi sebagai organisasi advokat, seperti dimaksudkan UU Advokat.
Sekiranya masih ada pihak yang ingin memperdebatkan konstitusionalitas pembentukan, keberadaan, dan kewenangan Peradi, tentunya dapat membaca putusan MK yang dapat diakses setiap waktu pada website resmi MK. Bagi Peradi, yang dipimpin Ketua Umum Prof Dr Otto Hasibuan dan Sekretaris Jenderal Dr Hermansyah Dulaimi, sesungguhnya perdebatan tentang Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 18/2003 ”telah selesai”.
Sebelum terbit Surat Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015, pemerintah/eksekutif, legislative, dan yudikatif telah mengakui dan menerima keberadaan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat dengan segala kewenangannya, sesuai UU. Hal ini terbukti, antara lain dengan Surat MA Nomor 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007, yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi Banding di seluruh Indonesia, mengenai sosialisasi Kartu Tanda Profesi Advokat (KTPA) baru. Hanya Peradi satu-satunya organisasi yang berwenang menerbitkan KTPA.
Surat Edaran MA Nomor MA/KUMDIL/01/III/K/2007 tanggal 29 Maret 2007 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat. Dalam hal ini, pengambilan sumpah atas advokat yang diangkat Peradi, yang sekaligus menjadi satu-satunya organisasi yang berwenang mengajukan penyumpahan advokat kepada Pengadilan Tinggi.
Sekiranya masih ada pihak yang ingin memperdebatkan konstitusionalitas pembentukan, keberadaan, dan kewenangan Peradi, tentunya dapat membaca putusan MK yang dapat diakses setiap waktu pada website resmi MK
Baca Juga: DPN Peradi Usulkan Munas Bersama untuk Satukan Advokat
Dengan kata lain, pernah ada fase dimana secara riil – de jure dan de facto – Peradi benar-benar diakui dan diterima sebagai satu-satunya organisasi advokat, yaitu sejak UU Advokat disahkan pada 5 April 2003 sampai dengan terbitnya Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015. Surat Ketua MA itu telah mendistorsi kedudukan, peran dan fungsi Peradi sebagai wadah tunggal advokat hingga saat ini. Oleh karena itu, jika saat ini kembali membicarakan gagasan tentang single bar, berarti ada kemunduran dalam cara berfikir dan cara memikirkan organisasi advokat.
Berbicara tentang organisasi advokat, yang harus dipahami, adalah ketentuan pasal 1 angka (4) UU Advokat, yang berbunyi, Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang. Sesuai pasal 32 ayat (4) dan pasal 28 ayat (1), organisasi advokat itu harus didirikan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya UU Advokat, dan bentuknya harus satu sebagai satu-satunya organisasi advokat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan dudukan dan tafsir konstitusional atas konstitusionalitas pendirian, keberadaan, dan kewenangan Peradi sebagai organisasi advokat sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Kewenangan organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 18/2003, mulai dari melaksanakan pendidikan ddvokat, pengangkatan advokat, sampai dengan pemberhentian advokat hanya dimiliki dan melekat pada organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan dan sesuai dengan UU Advokat, yaitu Peradi. Dengan terbentuknya Peradi, seperti yang diperintahkan UU, advokat di Indonesia masih dapat membentuk organisasi advokat sebagai wujud dari kebebasan berserikat, sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 1945, yang diejawantahkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Namun, organisasi advokat yang demikian itu tidak memiliki wewenang seperti yang dimiliki oleh Peradi, yang dibentuk sesuai perintah UU Advokat.
Peradi membuka pintu seluas-luasnya kepada seluruh advokat yang saat ini masih belum menjadi anggota untuk diterima kembali, baik yang sebelumnya berada di Peradi yang lain maupun di luar Peradi. Advokat di Indonesia tentu saja masih bisa mendirikan organisasi, tetapi tidak memiliki kewenangan seperti yang diamanatkan UU Advokat.
Lalu, Peradi manakah yang sah?
Putusan MA di tingkat kasasi, bernomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 04 November 2021, menolak permohonan kasasi terhadap termohon Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi yang ketika itu dipimpin Ketua Umum Prof Dr Fauzi Yusuf Hasibuan dan Sekretaris Jenderal Thomas E Tampubolon sebagai termohon. MA juga menyatakan sah kepemimpinan Fauzi Yusuf Hasibuan dan Thomas Tampubolon periode 2015 – 2020, berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) II Peradi di Pekanbaru, Riau pada 12 – 13 Juni 2015. Kemudian dilaksanakan Munas III Peradi di Jakarta pada 7 Oktober 2020, dan terpilih Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum DPN Peradi periode 2020-2025, dengan Sekjen Hermansyah Dulaimi.
Artinya, hanya ada Peradi, yakni yang dipimpin Otto Hasibuan dan Hermansyah Dulaimi sebagai kelanjutan dari kepemimpinan Fauzie Hasibuan dan Thomas Tampubolon. Sesuai perintah UU Advokat, tidak mungkin dan tidak boleh ada lebih dari satu Peradi yang sah. Oleh karena itu, perdebatan tentang Peradi mana yang sah harus diakhiri dan berakhir secara hukum.
Kini, harapannya adalah seluruh advokat di negeri ini bergabung kembali ke Peradi yang dipimpin Otto Hasibuan dan Hermansyah Dulaimi. Peradi membuka pintu seluas-luasnya kepada seluruh advokat yang saat ini masih belum menjadi anggota untuk diterima kembali, baik yang sebelumnya berada di Peradi yang lain maupun di luar Peradi. Advokat di Indonesia tentu saja masih bisa mendirikan organisasi, tetapi tidak memiliki kewenangan seperti yang diamanatkan UU Advokat. Untuk penyatuan ini, MA harus mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Ketua MA Nomor 73 Tahun 2015, sehingga amanat UU Advokat bisa dilaksanakan.
*) Dr Adardam Achyar SH MH, Sekretaris Dewan Pembina DPN Peradi. Disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta pada 18 November 2021, mewakili Ketua Umum DPN Peradi Prof Dr Otto Hasibuan.