Publik Tuntut Keterbukaan Seleksi Anggota KPU-Bawaslu
Kendati telah menggunakan sistem tes berbasis komputer, hasil tes tertulis untuk seleksi anggota KPU-Bawaslu tak bisa langsung diketahui.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan masyarakat sipil menuntut keterbukaan yang masih menjadi persoalan dalam seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu 2022-2027. Hasil tes tertulis berbasis komputer (computer assisted test) tak bisa langsung diketahui peserta seleksi penyelenggara pemilu ataupun masyarakat luas. Begitu pula, pembobotan atas ketiga tes dalam seleksi tahap kedua juga tidak diberitahukan.
Bukan hanya itu, daftar riwayat hidup peserta seleksi anggota KPU dan Bawaslu juga tidak seluruhnya dibuka. Kurangnya keterbukaan dalam proses seleksi penyelenggara pemilu ini dikhawatirkan akan mendegradasi kepercayaan publik terhadap Tim Seleksi (Timsel) anggota KPU dan Bawaslu serta calon yang terpilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, dalam diskusi ”Keterbukaan Informasi dan Catatan Hasil Pemantauan Tes Tertulis, Makalah, dan Psikologi”, Jumat (26/11/2021), mengungkapkan, ada sejumlah persoalan transparansi di tahap kedua seleksi anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027. Seleksi tahap kedua terdiri dari tes tertulis, pembuatan makalah, dan psikologi.
“Menjadi kemunduran di tingkat nasional ketika CAT tidak transapran, sementara di level provinsi, kabupaten, kota, saja sangat transparan. Lha, ini di tingkat nasional, yang pendaftar banyak, isu strategis karena mereka akan menentukan juga banyak kebijakan di level daerah, tetapi justru mengabaikan prinsip tarnasparansi di CAT,” ujar Delia.
Hadir pula dalam diskusi tersebut, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi, peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Muhammad Ihsan Maulana, serta Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC) Arif Adiputro.
Seleksi tahap kedua berlangsung dua hari, yakni 24 November untuk tes tertulis dan penyusunan makalah serta pada 25 November tes psikologi. Dari 630 peserta yang lolos administrasi, sejumlah 587 yang hadir pada tes tulis dan makalah. Lalu, pada saat tes psikologi, jumlah peserta turun menjadi 583 orang. Timsel akan mengumumkan 48 peserta dengan nilai terbaik untuk mengikuti proses seleksi selanjutnya pada 3 Desember.
Menjadi kemunduran di tingkat nasional ketika CAT tidak transapran, sementara di level provinsi, kabupaten, kota, saja sangat transparan. Lha, ini di tingkat nasional, yang pendaftar banyak, isu strategis karena mereka akan menentukan juga banyak kebijakan di level daerah, tetapi justru mengabaikan prinsip tarnasparansi di CAT
Perihal kurangnya transparansi dalam seleksi diakui oleh anggota KPU Provinsi Kepulauan Riau, Widiyono Agung Sulistyo yang juga mengikuti tes tahap kedua. Menurut dia, peserta tidak diperlihatkan hasil tes tertulis, makalah, dan tes psikologi. Padahal semestinya, hasil tes bisa diumumkan kepada para peserta.
”Sekali lagi, timsel harus bisa menunjukkan transparansi nilai tersebut sebelum diumumkan 48 besar. Ini agar terhindar dugaan bahwa timsel punya kapling-kapling (bagi calon tertentu),” ujar Widiyono.
Jika tidak ada penjelasan yang detail dari timsel mengenai hal tersebut, Delia khawatir, ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses seleksi. Konsekuensi lebih jauhnya adalah ketidakpercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi.
“Karena ini, kan, proses demokrasi, seleksi-seleksi ini, kan, dilakukan untuk menghasilkan orang-orang yang berintegritas. Kalau prosesnya tidak demokratis, tentu khawatirnya akan memicu ketidakpercayaan publik pada proses-proses demokrasi,” ucap Delia.
Ruang gelap
Peneliti KoDe Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengungkapkan, tujuan awal penggunaan CAT dalam seleksi adalah agar prosesnya berlangsung cepat dan transparan. Namun ternyata, hasil tes tidak dipublikasikan. ”Kami khawatir, jika ini terus didiamkan mulai dari tahap administrasi, tes tulis, dan makalah, residu soal transparansi akan terus terbawa sampai proses wawancara nanti,” katanya.
Peneliti IPC Arif Adiputro mengingatkan, jika timsel terus menutup informasi, akan timbul potensi malaadministrasi. Pelanggaran administrasi itu bisa dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia.
”Ketika proses-proses itu tertutup, tentu ada yang namanya ruang gelap. Nah, itu yang tidak diinginkan. Apalagi sejak awal timsel ini punya komitmen terkait transparansi itu,” ujarnya.
Sementara selain transparansi hasil seleksi, masyarakat sipil juga mendorong keterbukaan informasi mengenai latar belakang peserta. Latar belakang ini meliputi profesi, pendidikan, organisasi dan pengalaman kepemiluan yang pernah diikuti. Ini bertujuan agar masyarakat sipil dapat membantu timsel dalam menelusuri rekam jejak calon sehingga calon yang terpilih dapat semakin berintegritas.
Kendala
Selain persoalan keterbukaan, ternyata kendala teknis dalam seleksi tahap kedua ini juga dialami oleh beberapa peserta. Misal, beberapa peseta mengalami kendala internet sehingga kehilangan waktu 20-30 menit. Kedua, peserta mengalami permasalahan pada komputernya sehingga waktu penulisan makalah menjadi terbuang.
Salah satu peserta, Rosnawati Ros, mengaku kondisi laptop yang digunakan oleh peserta ujian banyak yang bermasalah dan berdampak pada durasi waktu penyelesaian test tertulis. “Tidak ada dispensasi dari pansel untuk penambahan waktu,” katanya.
Saat meminta tanggapan mengenai hal itu kepada Anggota Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu Poengky Indarti, ia meminta Kompas bertanya kepada Ketua Timsel Juri Ardiantoro, dan Wakil Ketua Timsel Chandra M Hamzah. “Mereka yang lebih kompeten menjawab,” katanya.
Namun, pertanyaan Kompas terhadap Juri, hingga berita ini diturunkan, tak kunjung direspons. Sebelumnya, Juri pernah berjanji, dalam proses seleksi ini, seluruh anggota timsel akan bekerja secara terbuka, transparan, independen, dan imparsial. Ini bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa timsel mampu bekerja dengan baik sesuai dengan undang-undang.