Pembentukan Tim Penyidik ”Ad hoc” oleh Jaksa Agung Dinanti
Komitmen kejaksaan menangani pelanggaran HAM berat bisa membuka kotak pandora kemandekan penanganan pelanggaran HAM berat. Ini jadi pembuka penegakan hukum sebagai penyelesaian kekerasan, seperti yang terjadi di Papua.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengapresiasi kebijakan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat masa kini. Dengan demikian, diharapkan tim penyidik ad hoc dapat segera dibentuk.
Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, ketika dihubungi, Jumat (26/11/2021), menyatakan apresiasinya atas keputusan Jaksa Agung untuk menyidik dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat masa kini. Kini, komitmen itu dinanti tindak lanjutnya.
Menurut Amiruddin, sebelum melakukan penyidikan, Jaksa Agung selaku penyidik peristiwa pelanggaran HAM berat mesti membentuk penyidik ad hoc.
”Komnas HAM memandang, selama belum ada tim penyidik yang dibentuk Jaksa Agung, langkah maju dalam rangka penyelesaian dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat belum bisa dianggap ada. Akan tetapi, upaya Jaksa Agung menyatakan hal itu tentu kita apresiasi,” kata Amiruddin.
Menurut Amiruddin, sebelum melakukan penyidikan, Jaksa Agung selaku penyidik peristiwa pelanggaran HAM berat mesti membentuk penyidik ad hoc. Sebagaimana diatur pada Pasal 21 Ayat (3), Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah atau masyarakat.
Dengan menyatakan bahwa penyidikan akan dilakukan terhadap dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat masa kini, maka terdapat empat peristiwa yang terjadi setelah tahun 2000. Keempatnya adalah peristiwa Jambu Keupok, Aceh 2002-2003; peristiwa Wasior 2001, peristiwa wamena 2003, dan peristiwa Paniai 2014. Terkait hal itu, Jaksa Agung dapat memilih perkara yang hendak terlebih dahulu dilakukan penyidikan.
Amiruddin berharap tim penyidik dapat segera dibentuk sehingga proses penyidikan dapat segera dimulai. Dengan demikian, masalah hukum serius yang selama ini terabaikan dapat dituntaskan secara bertahap. ”Tentu ini menjadi harapan baru bahwa hukum bisa ditegakkan di Indonesia,” ujar Amiruddin.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan akan melakukan penyidikan umum perkara pelanggaran HAM berat masa kini guna menyempurnakan hasil penyelidikan Komnas HAM. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memecah kebuntuan dan menuntaskan perkara HAM yang menjadi tunggakan selama ini.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar berpandangan, pernyataan Jaksa agung tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret. Sebab, sebelumnya juga sudah pernah dikatakan bahwa kejaksaan akan memulai penyidikan, tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi.
Menurut Wahyudi, pada awal periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pernah mencuat pernyataan bahwa peristiwa Wasior dan Wamena adalah dua peristiwa yang akan dilakukan penyidikan terlebih dahulu. Sebab, dari sisi waktu, terjadinya kedua peristiwa tersebut dinilai paling dekat.
Namun, untuk kondisi saat ini, peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014 menjadi yang paling dekat. Dengan kedekatan dari sisi waktu tersebut, semestinya korban ataupun saksi-saksi diharapkan masih hidup.
Selain itu, lanjut Wahyudi, jika proses hukum terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat, khususnya yang terjadi di Papua, dapat dilaksanakan, hal itu akan menjadi pendekatan baru dalam menangani kasus kekerasan di Papua. Diharapkan, ketika satu kasus dapat diproses secara hukum, maka akan diikuti pula dengan kasus-kasus yang lain.
”Yang jelas ini membuka kotak pandora kemandekan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sama sekali belum disentuh. Ini akan menjadi pembuka bagaimana proses penegakan hukum menjadi pendekatan penyelesaian kekerasan yang selama ini terjadi di Papua,” tutur Wahyudi.
Penyelenggaraan pengadilan HAM dilangsungkan terakhir pada 2005. Saat itu, pengadilan HAM menyidangkan kasus Abepura. Itu berarti selama sekitar 15 tahun tidak pernah diselenggarakan pengadilan HAM.
Di sisi lain, kata Wahyudi, penyelenggaraan pengadilan HAM dilangsungkan terakhir pada 2005. Saat itu, pengadilan HAM menyidangkan kasus Abepura. Itu berarti selama sekitar 15 tahun tidak pernah diselenggarakan pengadilan HAM.
Rentang waktu yang panjang tersebut akan menjadi tantangan bagi Jaksa Agung untuk menyiapkan tim yang baik agar prosedur dan hukum acaranya dapat diterapkan dengan baik sehingga memperoleh hasil optimal. Sebab, bisa jadi nantinya tim penyidik dari Kejagung yang akan menyidik perkara tersebut belum memiliki pengalaman.