Beragam, Tafsir Ahli Hukum atas Putusan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Sebagian ahli menafsirkan poin-poin putusan MK terkait UU Cipta Kerja itu ambigu. UU itu dinyatakan masih berlaku, tetapi dibatasi. Ahli lainnya menafsirkan, pemerintah harus perbaiki UU itu, bukan bisa dilaksanakan.
Oleh
Susana Rita
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para menteri Kabinet Indonesia Maju bersiap untuk foto bersama pimpinan DPR RI di akhir rapat paripurna DPR RI masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna hari itu secara resmi mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat menyisakan persoalan mengenai penafsiran keberlakuan regulasi tersebut beserta turunannya. Para ahli hukum tata negara terbelah dalam memandang masalah tersebut.
Sebagian menyatakan, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, baik peraturan pemerintah maupun keputusan menteri yang sudah diterbitkan, tidak dapat diterapkan dan harus diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun. Sebagian ahli lainnya mengatakan, UU Cipta Kerja bermasalah dalam prosedur pembentukannya, sedangkan substansinya, kecuali yang disebut di dalam putusan MK mengalami perubahan pasca-disetujui bersama pemerintah dan DPR, itu bisa saja tidak mengandung masalah.
MK memang menyatakan agar pemerintah menangguhkan pembuatan kebijakan yang strategis dan berdampak luas selama perbaikan dilakukan. Namun, hal itu dinilai hanya sebagai imbauan demi kehati-hatian.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie saat dihubungi, Jumat (26/11/2021) , mengatakan, putusan MK terkait UU Cipta Kerja cukup moderat dan realistis; dengan memutus inkonstitusional bersyarat dan memberi waktu bagi pembentuk undang-undang memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja. Hal itu menunjukkan para hakim mempertimbangkan berbagai dampak dari putusan yang dikeluarkan. Menurut dia, hakim dalam memutus harus penuh kearifan.
Untuk sementara waktu, orang harus diingatkan bahwa bisa jadi materi di dalam UU Cipta Kerja tidak bermasalah. Yang bermasalah proses pembentukannya.
Menurut Jimly, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku, tetapi dengan syarat, yakni harus diperbaiki dalam waktu 2 tahun. Ia menyinggung adanya adagium presumption of legality, yakni bahwa semua peraturan perundang-undangan tetap sah dan mengikat serta harus dilaksanakan sampai pihak yang berwenang menyatakannya tidak berlaku.
”Jadi, dia (UU Cipta Kerja) baru tak berlaku dalam waktu 2 tahun. Sebelum 2 tahun, masih berlaku. Namun, dalam waktu 2 tahun itu harus diubah. Kalau tidak diubah menimbulkan ketidakpastian, itu yang paling ditakuti oleh investor. Maka, putusan ini ada dampak negatifnya, investor yang tadinya mau masuk bisa saja ngerem dulu. Makanya, harus segera diperbaiki,” ujarnya.
Menurut Jimly, yang bermasalah di dalam UU Cipta Kerja adalah proses pembentukannya dan bukan substansinya. Terkait dengan hal itu, masyarakat dapat berasumsi bahwa sepanjang menyangkut materi UU Cipta Kerja adalah benar.
”Untuk sementara waktu, orang harus diingatkan bahwa bisa jadi materi di dalam UU Cipta Kerja tidak bermasalah. Yang bermasalah proses pembentukannya. Maka, tidak usah bingung dengan materinya. Karena yang dikabulkan oleh MK bukan materinya. Materi bisa saja sudah benar,” tutur Jimly yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Namun, Jimly juga mengingatkan tentang sejumlah materi yang diberi catatan oleh MK dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja. Sebelumnya, MK mendapati sejumlah substansi di dalam UU Cipta Kerja yang diundangkan berbeda dengan materi UU Cipta Kerja yang disetujui bersama pemerintah dan DPR. Padahal, persetujuan pemerintah dan DPR merupakan pengesahan materi sebuah rancangan undang-undang yang final.
”Pengesahan oleh presiden itu hanya teken (menandatangani), memberikan nomor, dan memasukkan ke lembar negara. Itu pengesahan formil dalam waktu 30 hari. Seandainya presiden tidak mau mengesahkan RUU yang sudah disetujui bersama pemerintah dan DPR, dia tetap berlaku sebagai UU. Artinya secara materiil sudah final,” ujar Jimly. Dengan demikian, lanjutnya, perubahan materi sebuah UU setelah disetujui bersama DPR dan Presiden tidak dapat dibenarkan.
Ambigu
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menilai, putusan MK penuh ambiguitas. Denny sepakat dengan Jimly bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku sebab hal itu dinyatakan secara tegas di amar nomor 4 putusan MK 91/PUU-XVIII/2020. Disebutkan bahwa UU No 11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan.
Namun, amar nomor 7 putusan yang sama membatasi keberlakuan UU Cipta Kerja bukan pada hal-hal yang sifatnya strategis dan berdampak luas. Pemerintah diminta menangguhkan pembuatan kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan aturan pelaksana yang baru.
Hanya saja, kata Denny, amar putusan tersebut menjadi bermasalah ketika disandingkan dengan Pasal 4 UU Cipta Kerja yang mengatur ruang lingkup undang-undang tersebut. Secara gamblang, Pasal 4 tersebut menyatakan bahwa ruang lingkup undang-undang tersebut mengatur kebijakan strategis yang meliputi poin A sampai J di antaranya peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, serta kemudahan berusaha.
”Ada ambiguitas, di satu sisi UU Cipta Kerja masih berlaku, yang tidak berlaku terkait yang strategis saja. Padahal, Pasal 4 UU Cipta Kerja mengatur ruang lingkup undang-undang ini kebijakan strategis. Putusan MK tabrakan sendiri,” kata Denny.
Ia mencatat ada empat ambiguitas lain yang terkandung di dalam putusan MK tersebut. Ambiguitas-ambiguitas itu di antaranya UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, tetapi diberi ruang berlaku selama 2 tahun. Seharusnya, MK membatalkan dengan tegas UU tersebut agar tidak ambigu. Ambiguitas lainnya, MK menyatakan 10 permohonan uji materi UU Cipta Kerja tidak diterima karena kehilangan obyek. Padahal, meski bertentangan dengan konstitusi, UU tersebut masih dinyatakan berlaku.
Jadi, 2 tahun itu bukan untuk diterapkan, tetapi 2 tahun itu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari memiliki pendapat berbeda tentang keberlakuan UU Cipta Kerja. Menurut dia, UU tersebut seharusnya tidak boleh dijadikan dasar untuk melakukan tindakan atau kebijakan sampai diperbaiki dalam waktu 2 tahun sesuai perintah MK.
”Jadi, 2 tahun itu bukan untuk diterapkan, tetapi 2 tahun itu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Menurut dia, putusan MK tersebut harus dijalankan oleh pemerintah dan DPR secara benar. ”Bukan ditafsirkan dapat dilaksanakan 2 tahun, sekali lagi diperbaiki dalam 2 tahun. Jika dipaksakan pelaksanaan seluruh tindakan/kebijakan, akan batal demi hukum, bahkan dapat berkonsekuensi pidana korupsi jika merugikan keuangan negara, cacat administratif, dan dapat digugat perdata,” ujarnya.