Mengupas Islam Kontemporer dalam Kehidupan Berbangsa
Islam berperan dalam pembentukan negara Pancasila. Sekalipun ada perdebatan mengenai hubungan antara Islam dan keindonesiaan, terlihat jelas Islam tidak ada masalah dengan Indonesia yang berdasar Pancasila.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Masykuri Abdillah, meluncurkan dua buku terbarunya, yang berbicara mengenai Islam sebagai agama yang mengemban misi perdamaian serta kaitan antara Islam dan kehidupan berbangsa. Dua buku itu menunjukkan perhatian besar Masykuri terhadap khazanah Islam kontemporer yang terlibat aktif dalam pembentukan negara bangsa, sekaligus mendukung lahirnya negara Pancasila.
Sejumlah tokoh hadir memberikan tanggapannya dalam diskusi dan peluncuran dua buku Masykuri Abdillah yang berjudul Islam Agama Kedamaian dan Islam dan Etika Kehidupan Berbangsa, Kamis (25/11/2021) di Jakarta. Kedua buku itu masing-masing diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas dan Penerbit Mizan.
Tokoh yang memberikan tanggapan antara lain rohaniwan Katolik Franz Magnis-Suseno, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahmad Suaedy, dan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Abdul Aziz Ahmad. Hadir pula memberikan pidato kunci (keynote speech) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Dari kedua buku yang ditulis Masykuri Abdillah itu terlihat adanya kesadaran Indonesia adalah sebagai negara kesepakatan atau negara yang diputuskan melalui konsensus perjanjian bersama antar-elemen warga bangsanya.
Mahfud mengatakan, dari kedua buku yang ditulis Masykuri itu terlihat adanya kesadaran Indonesia adalah sebagai negara kesepakatan atau negara yang diputuskan melalui konsensus perjanjian bersama antar-elemen warga bangsanya. Perdebatan memang muncul antara tokoh yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam dan tokoh yang menginginkan sebaliknya. Namun, perdebatan itu telah diakhiri dengan lahirnya kesepakatan Indonesia sebagai negara Pancasila.
”Indonesia itu negara Pancasila, dan bukan negara Islam. Tetapi bisa kita bangun agar menjadi negara yang islami. Artinya ada keberlakuan nilai-nilai dasar Islam itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa harus menyebut itu sebagai Islam. Sebab, banyak sekali nilai dasar Islam itu yang sejatinya bersifat universal,” tutur Mahfud.
Segala perbedaan itu, menurut Mahfud, berhasil diselesaikan dengan kesepakatan yang diikat oleh Pancasila. Dalam melihat konsepsi ini, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid memberikan tiga prinsip untuk memahami negara kesepakatan ini. Pertama, prinsip kesatuan Tuhan. Kedua, setiap orang perlu mencari persamaan dalam kepentingan mereka membangun bangsa. Ketiga, orang Islam itu yakin agamanya sebagai agama yang lurus, tetapi toleran.
Lebih jauh, tambah Mahfud, kedua buku Masykuri itu juga memantik sejumlah pertanyaan tentang bagaimana pandangan Islam terhadap berbagai isu, seperti perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi.
”Ini menjadi menarik, misalnya soal hukuman potong tangan, yang memang disebut di Islam. Namun, tafsir yang dipakai tidak melulu tangannya yang benar-benar dipotong. Sebab, tafsirnya bisa saja memotong tangan itu maksudnya ialah memotong tangan ’kekuasaan’. Tangan itu bisa dimaknai sebagai kepanjangan dari kekuasaan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengucapkan selamat atas peluncuran dua buku Masykuri. Ia berharap dua buku itu dapat semakin menyemarakkan wacana tentang Islam moderat atau Islam wasathiyah. Selain itu, buku tersebut juga diharapkan semakin menguatkan kemajemukan dan kerukunan nasional.
Franz Magnis-Suseno mengatakan, dua buku Masykuri itu menguatkan bagaimana Islam berperan dalam pembentukan negara Pancasila. Sekalipun dalam perjalanannya selalu ada perdebatan mengenai hubungan antara Islam dan keindonesiaan, terlihat jelas Islam tidak ada masalah dengan Indonesia yang berdasar Pancasila.
Masykuri juga mengangkat soal teologi Islam dengan becermin pada Al Quran dan contoh-contoh yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah. ”Masykuri menerangkan toleransi beragama dipraktikkan dalam wilayah Islam jauh sebelum ada Pencerahan di abad ke-17,” katanya.
Konsep Islam sebagai rahmatan lilalamin, yakni rahmat bagi seluruh alam, menurut Franz Magnis, mencerminkan nilai-nilai universal yang memang seharusnya menjadi tujuan semua agama.
Rahmatan lilalamin, yakni rahmat bagi seluruh alam, mencerminkan nilai-nilai universal yang memang seharusnya menjadi tujuan semua agama.
Azyumardi Azra mengatakan, buku yang ditulis Masykuri memang tidak banyak membahas soal sudut pandang sejarah Islam, tetapi fokus pada isu-isu kontemporer di era saat ini, termasuk bagaimana Islam merespons Pancasila.
”Ada beberapa orang Eropa bertanya, mengapa orang-orang Muslim di Indonesia tidak terpicu memperjuangkan negara Islam, sementara di Eropa, kan, masih banyak negara yang berbasis pada agama. Mereka melihat Muslim di Indonesia itu luar biasa,” katanya.