Sudah 14 orang yang terlibat dalam pendanaan kelompok teror Jamaah Islamiyah ditangkap. Dari penangkapan itu, Densus 88 terus berupaya terus naik ke atas, menjauh dari tangan yang dulunya bagian ”nyerang-nyerang”.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror telah menangkap 14 orang yang terlibat dalam pendanaan kelompok teror Jamaah Islamiyah, yakni lembaga amil zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf, di beberapa wilayah Indonesia. Pengejaran terus dilakukan hingga auktor intelektualis kelompok teror tersebut terungkap.
Kepala Bagian Bantuan Operasi (Kabag Banops) Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (25/11/2021), mengatakan, setidaknya 14 orang dari lembaga amil zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf (BM ABA) telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pendanaan terhadap Jamaah Islamiyah (JI). Mereka di antaranya ditangkap di Lampung, Medan, Jakarta, Bandung, dan Bekasi.
”Ini masih banyak lagi sebenarnya,” ujar Aswin.
Sebelumnya, pada 16 November 2021, Densus 88 telah menangkap tiga tersangka tindak pidana terorisme di Bekasi. Mereka adalah FAO, AZA, dan AA. Setelah didalami, dua di antaranya diketahui merupakan pengurus dari BM ABA, yakni AZA sebagai ketua dewan syariah dan FAO sebagai anggota dewan syariah. Adapun AZA juga menjabat sebagai anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Aswin menjelaskan, dalam mengungkap jaringan kelompok teror JI, kali ini Densus 88 telah mengarah kepada otak pendanaan dan strategi JI. Ia menyadari, kelompok ini tidak akan hidup jika tidak ada yang mendanai. Sebab, bagi kelompok JI, pendanaan merupakan napas dan darah organisasi.
”Kami tidak mau berandai-andai bahwa kalau ada penangkapan selanjutnya nanti akan mengejutkan lagi, siapa lagi ini orangnya. Karena kami (mengejar) semakin naik ke atas, kami sudah jauh dari tangan yang dulunya berlumuran lumpur dan darah, yang bagian meledak-ledak, bagian nyerang-nyerang, sekarang kami naik ke bagian atasnya,” papar Aswin.
Yang jelas, lanjut Aswin, dalam penegakan hukum, Densus 88 akan selalu berusaha untuk mengungkap dan melemahkan organiasasi JI itu sehingga diharapkan semua bisa tuntas. Atas alasan itulah, proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme ini lebih lama dibandingkan perkara-perkara pidana pada umumnya.
Karena kami (mengejar) semakin naik ke atas, kami sudah jauh dari tangan yang dulunya berlumuran lumpur dan darah, yang bagian meledak-ledak, bagian nyerang-nyerang.
Berkamuflase
Aswin mengungkapkan, Densus 88 juga telah memiliki bagan struktur organisasi JI, mulai dari amir, bendahara, hingga mereka yang membawahi bidang thazis dan dakwah. Bagan tersebut didapat berdasarkan pengakuan sejumlah tersangka yang ditangkap dan diperiksa.
Selain itu, JI juga memiliki sejumlah lembaga dan yayasan amal yang melakukan penggalangan dana sebagai sumber pendanaan kelompok. Ada dua lembaga pendanaan yang telah diungkap oleh Densus 88, yakni BM ABA dan Syam Organizer.
Menurut Aswin, dalam menggalang dana, kelompok JI kerap kali berkamuflase dengan kegiatan-kegiatan di publik, seperti lembaga pendidikan dan pengiriman bantuan ke luar negeri, seperti ke Suriah. Dengan kegiatan-kegiatan itu, mereka sekaligus ingin meraih simpati publik. Alhasil, saat Densus 88 melakukan penindakan terhadap anggota kelompok mereka, publik akan ikut bereaksi.
”Seolah-olah kami telah menzalimi, telah mengkriminalisasi. Padahal, kami di sini tidak ada kriminalisasi, tidak ada tindakan kami yang tidak berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup. Kami sudah memiliki alat bukti yang cukup di tangan,” kata Aswin.
Dalam jumpa pers itu, Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) M Najih Arromadloni menegaskan, meski salah satu tersangka merupakan anggota Komisi Fatwa MUI, aktivitas yang bersangkutan tidak ada kaitannya dengan aktivitasnya di MUI.
MUI menyerahkan seluruh proses hukum kepada aparat penegak hukum dan berharap agar semua berjalan dengan adil dan profesional. MUI pun berkomitmen untuk ikut dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
”Itu diwujudkan dengan banyak langkah. Sejak 2004, MUI sudah mengeluarkan fatwa yang berisi larangan melakukan tindak pidana terorisme dan itu adalah sesuatu hal yang sangat dilarang di dalam Islam,” tutur Najih.
MUI juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak reaktif dan membuat kegaduhan atas kasus ini, termasuk mengangkat isu pembubaran Densus 88 ataupun pembubaran MUI. Kesalahan personal, menurut dia, tidak bisa serta-merta dibebankan kepada instansi atau organisasi.
”MUI telah menonaktifkan yang bersangkutan selama proses hukum ini berjalan sampai ada keputusan yang tetap dan berkekuatan hukum yang tetap,” kata Najih.
Aksi terorisme perlu ditelusuri hingga akar-akarnya. Sebab, aktivitas terorisme tersebut bukan hanya berlaku bagi pelaku lapangan, melainkan juga bagi pihak-pihak yang membantu proses aktivitas terorisme tersebut.
Najih sependapat bahwa aksi terorisme perlu ditelusuri hingga akar-akarnya. Sebab, aktivitas terorisme tersebut bukan hanya berlaku bagi pelaku lapangan, melainkan juga bagi pihak-pihak yang membantu proses aktivitas terorisme tersebut, termasuk pendanaan organisasi.
”Nah, tentu saja, terorisme terjadi tidak hanya melibatkan satu unsur, tetapi banyak unsur yang menjadi supporting system dalam kegiatan terorisme. Ada pendanaan, ada ideolog, ada lembaga pendidikan, dan ada unsur-unsur yang lain. Semua unsur yang turut membantu dalam terjadinya tindak terorisme, itu juga termasuk unsur yang diharamkan dalam agama,” tutur Najih.