Badan Pengawas Obat dan Makanan Rekrut Dua Jenderal Polisi
Banyak institusi melihat adanya polisi di struktur organisasinya akan mempermudah ketika berurusan hukum. Dari perspektif kepolisian, ini menguntungkan karena memperluas jejaring kepolisian, tetapi bisa juga merugikan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia menempatkan personelnya untuk membantu penegakan hukum di institusi tersebut. Permintaan itu akan menambah tugas polisi di luar institusi yang selama ini dinilai menjadi salah satu penyebab lambannya pelaksanaan tugas utama Korps Bhayangkara.
Rencana perekrutan dua jenderal polisi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) disampaikan Kepala Badan POM Penny Lukito kepada Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam kunjungannya ke Mabes Polri, Jakarta, Selasa (23/11/2021). Dalam pertemuan tersebut, keduanya sepakat untuk membahas ini secara lebih lanjut.
Rencana perekrutan dua jenderal polisi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan disampaikan Kepala BPOM Penny Lukito kepada Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam kunjungannya ke Mabes Polri, Jakarta, Selasa (23/11/2021).
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menjelaskan, rencana perekrutan ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan kerja sama antara Badan POM dan Polri yang ditandatangani pada April 2021. Kehadiran Polri dibutuhkan untuk memperkuat penegakan hukum Badan POM terhadap pelaku usaha.
Berdasarkan studi banding di negara lain, salah satunya Amerika Serikat, otoritas pengawasan obat dan makanan selalu dilengkapi personel kepolisian yang bertugas dalam ranah penindakan pelanggaran hukum. Di Indonesia, penempatan polisi di Badan POM pun dinilai tidak melanggar regulasi yang berlaku.
”Badan POM menyampaikan, ada dua jabatan yang akan diisi oleh kepolisian, yaitu deputi penindakan dan satu jabatan lain yang masih dirumuskan,” kata Dedi.
Ia menambahkan, posisi deputi penindakan merupakan jabatan eselon I yang akan diisi jenderal bintang dua. Jabatan lainnya yang masih dirumuskan setara dengan eselon II yang akan diisi jenderal bintang satu. Menurut rencana, jabatan tersebut adalah direktur penyidikan.
Mekanisme perekrutan eselon I dilakukan melalui lelang jabatan. Hasil penilaiannya akan diteruskan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan sebelum dilantik. Penilaian dilakukan tim gabungan yang berasal dari Polri dan Badan POM. Sementara itu perekrutan pejabat eselon II ditetapkan melalui surat keputusan.
Dedi menekankan, meski merekrut anggota kepolisian penegakan hukum di Badan POM, itu akan menjadi langkah terakhir yang digunakan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan. Lembaga tersebut tetap akan memprioritaskan pembinaan. ”Kapolri setuju, memang pembinaan adalah yang utama. Namun, jika masih ada pelanggaran, penegakan hukum baru dilakukan,” ujarnya.
Dari perspektif kepolisian, ini juga menguntungkan karena bisa memperluas jejaring kepolisian. Akan tetapi, perluasan peran Polri yang terus-menerus terjadi ini berisiko bagi organisasi kepolisian.
Pengendalian
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, berpendapat, saat ini perekrutan polisi ke sejumlah institusi menjadi kecenderungan umum. Sebab, banyak institusi yang melihat keberadaan polisi dalam struktur organisasinya akan mempermudah mereka ketika berurusan dengan hukum. Dari perspektif kepolisian, ini juga menguntungkan karena bisa memperluas jejaring kepolisian.
Akan tetapi, perluasan peran Polri yang terus-menerus terjadi ini berisiko bagi organisasi kepolisian. Menurut Adrianus, organisasi yang terlalu besar akan menjadi lamban, tidak responsif, dan sulit menyesuaikan diri. Tugas utama Polri berpotensi terbengkalai jika anggotanya lebih banyak terserap untuk melaksanakan tugas di luar institusi.
”Bagi Polri, menurut saya, memahami kapan harus berhenti memperbesar organisasi ini merupakan keputusan yang paling bijaksana,” katanya.