Rabu (24/11/2021), MK akan memutus perkara uji materi keserentakan pemilu. Sejumlah pihak menilai pemilihan presiden perlu dipisah dari pemilu legislatif daerah agar anggota KPPS tak jadi korban seperti Pemilu 2019.
Oleh
Susana Rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi, pekan ini, akan memutus perkara uji materi keserentakan pemilu. Putusan MK tersebut akan menentukan apakah Pemilu legislatif daerah atau pemilihan anggota DPRD (provinsi/kabupaten/kota) dilaksanakan serentak dengan pemilu presiden atau dipisahkan.
Apa pun putusan MK, menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, tak akan memengaruhi tahapan Pemilu 2024. ”Sebab, tahapan belum berjalan. Makanya secara waktu, ini ideal diputus sekarang, dan bisa langsung disesuaikan dengan tahapan Pemilu 2024. Jika memang DPRD ditarik keluar dari Pemilu 2024, justru ini akan meringankan beban penyelenggara dan partai politik,” ujarnya, Senin (22/11/2021).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebelumnya, empat panitia penyelenggara pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat meminta MK untuk membatalkan ketentuan Pemilu Serentak 2024 atau yang dikenal juga dengan sebutan pemilu lima kotak (pemilu presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Sebab, pelaksanaan pemilu yang seperti itu memberatkan petugas penyelenggara pemilihan di lapangan.
Pada Pemilu 2019 lalu, saat dilaksanakan pemilu serentak, 894 jiwa anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.175 anggota KPPS jatuh sakit akibat kelelahan. Terkait dengan hal ini, pemohon uji materi meminta adanya jaminan keamanan dan kesehatan bagi warga negara yang nantinya berpartisipasi sebagai petugas penyelenggara pemilihan di semua tingkatan pada Pemilu 2024.
Salah satu jalan yang diusulkan oleh para pemohon uji materi adalah dengan memformat ulang keserentakan pemilu dengan mengeluarkan pemilu legislatif daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) dari pemilu nasional.
MK, menurut rencana, memutus perkara tersebut pada Rabu (24/11/2021). MK menangani perkara ini secara cepat jika dibandingkan dengan perkara uji materi lain. MK telah menggelar lima kali sidang pemeriksaan terhadap perkara uji materi ini. Sidang perdana dilakukan pada 9 Juni 2021.
Fadli yang juga kuasa hukum para pemohon berharap MK mengabulkan permohonan tersebut. Sebab, penggabungan empat pemilu legislatif sekaligus dengan pemilu presiden telah nyata memberi beban berat kepada penyelenggara pemilihan. Hal itu juga berdampak serius pada demokratisnya sebuah penyelenggaraan pemilu.
”Menurut kami, hal itu terbukti di persidangan kemarin. Apalagi, pemerintah dan DPR juga tidak membuktikan apa-apa ketika ditanya oleh hakim apa evaluasi dari aspek kerangka hukum terhadap masalah-masalah yang muncul dari menyerentakkan pemilu lima kotak. Berangkat dari fakta itu, kami yakin MK akan mengabulkan permohonan ini,” kata Fadli Ramadhanil.
Enam Opsi
Uji konstitusionalitas keserentakan pemilu ini bukan pertama kali diajukan. MK sendiri telah menyatakan bahwa persoalan model keserentakan pemilu yang diterapkan di negeri ini bukan merupakan kewenangan peradilan konstitusi untuk memutuskan. Menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR, untuk memilih model keserentakan yang akan diterapkan (open legal policy).
Penggabungan empat pemilu legislatif sekaligus dengan pemilu presiden telah nyata memberi beban berat kepada penyelenggara pemilihan. Hal itu juga berdampak serius pada demokratisnya sebuah penyelenggaraan pemilu.
Hal tersebut tertuang di dalam putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2019. Dalam putusan itu, MK telah menawarkan enam opsi format keserentakan pemilu seperti tertuang di dalam putusan nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut, MK menawarkan sejumlah model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu
1. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD,
2. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota,
3. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota,
4. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak local untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota,
5. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati/Walikota,
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Meskipun menyatakan kewenangan pembentuk undang-undang, MK mengingatkan pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan sejumlah hal dalam menentukan model keserentakan pemilu. Hal itu, antara lain, pemilihan model yang berimplikasi pada perubahan undang-undang harus dilakukan dengan partisipasi semua kalangan pemerhati serta revisi UU Pemilu juga perlu dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk melakukan simulasi sebelum perubahan model itu betul-betul efektif dilakukan.
Selain itu, MK juga meminta agar pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilu berkualitas. Selanjutnya, pilihan model juga perlu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan pemilih dalam melaksanakan hak serta tidak acap kali mengubah model pemilu serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilu.
Meskipun para pemohon menyadari adanya putusan tersebut, mereka tetap mengajukan uji materi. Sebab, pemerintah dan DPR memutuskan tidak merevisi UU Pemilu. Dengan demikian, model keserentakan di dalam Pemilu 2024 mendatang masih sama dengan Pemilu 2019. Padahal, beratnya pelaksanaan Pemilu 2019 lalu telah menimbulkan sejumlah korban.
Terkati dengan hal tersebut, Eko Prasetyanto Purnomo Putro yang mewakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam sidang 7 September 2021 mengungkapkan, tidak ada pernyataan dalam putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2019 bahwa pembentuk undang-undang harus merevisi UU Pemilu yang ada. Dalam putusan tersebut, MK hanya menyampaikan beberapa opsi keserentakan yang dapat dipilih. Model keserentakan yang ada saat ini, menurut pemerintah, merupakan salah satu opsi pilihan model yang ditawarkan oleh MK.
Sementara itu, KPU, dalam keterangan yang disampaikan oleh anggota KPU, Hasyim Azhari, pada sidang yang sama, sepakat dengan pemisahan pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak lokal. Disebutkan, pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal jauh lebih menjamin demokrasi daripada pemilu serentak yang diberlakukan saat ini. KPU bahkan merekomendasikan pelaksanaan pemilu serentak lokal dilakukan dengan selang waktu sekitar 30 bulan atau setelah pemilu serentak nasional.
KPU menguraikan, ada 14 keuntungan dengan model pemisahan pemilu nasional dan lokal, di antaranya pemisahan pemilu nasional dengan lokal menjanjikan terpenuhinya pemerintah hasil pemilu yang lebih efektif karena presiden terpilih dan kekuatan mayoritas di DPR berasal dari parpol atau koalisi parpol yang sama. Popularitas calon presiden tidak hanya memengaruhi parpol pengusung dalam pemilu legislatif, tetapi juga memengaruhi hasil pemilu serentak lokal.