Mahfud MD: Proses Hukum Tersangka Terorisme Akan Terbuka
Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, penindakan yang dilakukan Densus 88 adalah bagian dari proses penegakan hukum. Akan ada proses hukum dan pembuktian secara terbuka.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah penangkapan tiga tersangka tindak pidana terorisme yang berlatar belakang partai politik dan Majelis Ulama Indonesia, kepolisian diharapkan membuka secara terang benderang peran mereka dalam gerakan terorisme di Tanah Air. Klarifikasi perlu dilakukan untuk membendung polarisasi di masyarakat yang mendesak MUI dibubarkan, maupun pandangan bahwa penegakan hukum yang menyasar kelompok tertentu.
Pada Selasa (16/11/2021), Densus 88 Antiteror Polri menangkap tiga tersangka di daerah Bekasi, Jawa Barat, yakni FAO, AZA, dan AA. Dua dari tiga tersangka ditangkap karena merupakan pengurus lembaga amil zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf, yaitu tersangka AZA sebagai Ketua Dewan Syariah dan tersangkat FAO sebagai anggota Dewan Syariah.
AZA merupakan anggota Komisi Fatwa MUI yang merupakan perangkat organisasi di MUI. Adapun, FAO adalah Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), dan AA sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro PDRI. AA juga merupakan pendiri Perisai, sebuah badan yang berfungsi memberikan bantuan hukum kepada anggota keluarga teroris Jamaah Islamiah (JI).
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menegaskan, penangkapan tersangka terorisme didasarkan pada alat bukti, bukan kriminalisasi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, tindakan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri merupakan bagian dari proses panjang berupa profiling dan pemantauan yang cukup lama. (Kompas.id, 17/11/2021).
Pasca-penangkapan itu, sebagian masyarakat terpolarisasi, seperti tergambar dalam keriuhan di media sosial. Ada yang mendesak MUI dibubarkan. Ada pula yang berpandangan bahwa penegakan hukum tindak pidana terorisme menyasar kelompok tertentu.
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Sabtu (20/11/2021), melalui cuitan Twitter di akun @mohmahfudmd mengimbau masyarakat agar tidak terjebak pada dialektika tersebut. Menurut dia, opini bahwa MUI perlu dibubarkan, serta pemerintah melalui Densus 88 menyerang MUI adalah spekulasi liar semata. Argumen itu tidak didasarkan pada pemahaman atas suatu peristiwa.
”Penangkapan oknum MUI sebagai terduga teroris jangan diartikan aparat menyerang wibawa MUI. Teroris bisa ditangkap di mana pun: di hutan, mal, rumah, gereja, masjid, dan lain-lain,” ujar Mahfud.
Mahfud menjelaskan, penindakan yang dilakukan oleh Densus 88 adalah bagian dari proses penegakan hukum. Akan ada proses hukum dan pembuktian secara terbuka. Masyarakat diminta mengikuti proses hukum tersebut.
”Memberantas terorisme itu tidak perlu menunggu momentum, tetapi harus dilakukan terus-menerus. Aparat harus antisipatif dan waspada. Sasaran pembersihan harus semua sudut, bukan hanya MUI dan parpol. Semua harus sadar untuk membersihkan lingkungan dan institusinya,” tambah Mahfud saat dihubungi terkait cuitan Twitter-nya.
Terkait dgn penangkapan 3 terduga teroris yg melibatkan oknum MUI mari ”Jangan Bepikir bhw MUI Perlu Dibubarkan” dan ”Jangan memprovokasi memgatakan bhw Pemerintah via Densus 88 Menyerang MUI”. Itu semua provokasi yang bersumber dari khayalan, bkn dari pemahaman atas petistiwa. pic.twitter.com/GfJyVlmrOj— Mahfud MD (@mohmahfudmd) November 20, 2021
Selain itu, Mahfud juga berpandangan kedudukan MUI sudah sangat kokoh karena disebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Sebut saja UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Ada pula di UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan kedudukan hukum itu, posisi MUI kuat dan tidak bisa sembarang dibubarkan.
Sementara dalam keterangan tertulis, Wakil Menteri Agama KH Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan, isu pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) amat berlebihan. ”Saya kira hal itu terlalu berlebihan. Ibarat rumah ada tikusnya, masak rumahnya mau dibakar,” tutur Zainut.
Transparansi proses
Pengamat terorisme Al Chaidar berpandangan, aparat harus berpegang pada prinsip asas praduga tak bersalah dalam menangani kasus dugaan tindak pidana terorisme. Untuk menjawab berbagai spekulasi liar di masyarakat, proses hukum harus dilakukan secara terbuka. Kepolisian juga harus mampu menjelaskan secara terang benderang peran dari setiap tersangka dalam kegiatan terorisme.
”Sejak tahun 2013 sampai saat ini, Jamaah Islamiyah (JI) sudah berubah menjadi organisasi humanitarian atau organisasi kemanusiaan. Mereka mengumpulkan dana untuk tugas kemanusian di Timur Tengah seperti Suriah. Tetapi ada juga kegiatan klandestin yang terkoneksi dengan jaringan Al Qaeda,” terang Al Chaidar.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Al Chaidar menyebut setelah bertransformasi menjadi organisasi kemanusiaan, JI berfokus mengumpulkan dana amal dan jaringan pengumpulan dana (crowd funding) melalui tujuh organisasi termasuk Syam Organizer dan One Care. Dana itu tidak digunakan untuk membeli senjata maupun bahan peledak.
Para pengikut JI sudah tidak lagi merepresentasikan diri sebagai martir. Namun, Indonesia digunakan sebagai tempat mencari uang untuk kegiatan kemanusiaan di negara-negara Timur Tengah yang berkonflik. Jumlah dana yang dikumpulkan cukup besar, mencapai Rp 28 miliar per bulan.
”Sejak 2013, JI sudah menjadi organisasi dakwah dan kemanusiaan. Polisi harus mampu membuktikan keterlibatan mereka dalam aksi terorisme jika memang mereka menyatakan memiliki alat bukti,” kata Chaidar.
Peneliti terorisme Centre for Strategic and International Studies Alif Satria mengatakan, penangkapan Ahmad Zain sebagai anggota MUI tidak tepat jika berujung pada wacana pembubaran MUI. Alasannya, tidak semua anggota MUI adalah teroris. Namun, pelajaran berharga dari penangkapan itu adalah perlunya pengetatan seleksi anggota MUI.
MUI harus bisa memastikan bahwa anggotanya adalah tokoh agama yang mengedepankan persatuan dan toleransi antarumat beragama. Bukan anggota teroris. Terlebih MUI memiliki kewenangan otoritatif, yaitu membuat fatwa yang dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia.
Alif juga tidak sepakat dengan pandangan bahwa Densus 88 menyasar kelompok tertentu dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme. Selama ini, Densus 88 selalu menyasar mereka yang terkait kelompok teroris entah mereka bekerja di MUI, BUMN, bahkan perusahaan swasta. Semua tuduhan tindak kejahatan itu harus mampu dibuktikan di pengadilan yang putusannya dapat dibaca secara terbuka oleh publik.
”Jangan sampai ada pengecualian hanya karena seseorang merupakan bagian dari organisasi tertentu, maka mereka tidak diinvestigasi atas tuduhan terorisme,” kata Alif.
Alif juga sepakat bahwa Densus 88 maupun kepolisian perlu mengklarifikasi segala tudingan dari masyarakat tersebut dengan memberikan informasi yang jelas. Sebab, jika dibiarkan, tudingan itu bisa mempolarisasi opini masyarakat bahwa operasi antiterorisme itu melawan umat Islam.
”Hal itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan strategis kelompok teroris, yaitu untuk memecah belah antara masyarakat dan pemerintah,” pungkas Alif.