Tanpa Kepastian Jadwal, Persiapan Pemilu 2024 Berpotensi Terganggu
Komisi II DPR berencana menggelar kembali rapat membahas jadwal Pemilu dan Pilkada 2024, awal Desember mendatang. KPU dituntut berani memutuskan jadwal karena kian lama ditetapkan, bisa berimbas ke persiapan pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Belum adanya kepastian jadwal Pemilu 2024 berpotensi mengganggu persiapan tahapan Pemilu 2024. Apalagi, pada saat ini juga sedang berlangsung seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu periode 2022-2027. KPU didorong berani memutuskan jadwal itu secara independen sebagaimana amanat undang-undang.
Situasi saat ini dipandang berbeda dengan tahun 2017. Ketika itu, tahapan pemilu terlambat ditetapkan oleh KPU karena menunggu proses revisi Undang-Undang (UU) Pemilu yang sedang berjalan. Kondisi itu tidak terjadi saat ini, karena tidak ada revisi UU Pemilu yang sedang dilakukan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Artinya, KPU tidak harus menunggu hal lainnya untuk menetapkan jadwal pemilu. Di sisi lain, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat juga diharapkan memberikan dukungan bersifat konsultatif terhadap pertimbangan teknis yang dipaparkan oleh KPU.
”KPU harus membuktikan kemandirian lembaganya yang dilindungi oleh konstitusi dalam penentuan jadwal ini. Tidak boleh ragu-ragu. Sebab, semakin ragu KPU dalam hal ini, itu akan membuat publik semakin bertanya ini ada muatan politis apa sehingga berlama-lama,” ujar Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat dihubungi, Jumat (19/11/2021) dari Jakarta.
Baca juga : Anomali Penentuan Jadwal Pemilu 2024
Menurut Fadli, sikap cepat KPU, dan dukungan dari pemerintah dan DPR terkait dengan penetapan jadwal Pemilu 2024, sangat dibutuhkan. Sebab, jika KPU tidak segera memutuskannya, itu akan berdampak pada persiapan dan pelaksanaan pemilu.
Apa yang diputuskan oleh KPU mengenai tahapan dan jadwal pemilu itu pun bukan hanya jadwal pemungutan suara, melainkan juga desain tahapan pemilu secara keseluruhan. Hal itu akan berdampak pada beban kerja atau bobot tugas dari setiap penyelenggara pemilu terhadap suatu tahapan tertentu dan di momen tertentu.
Selain itu, jika waktu penetapannya mepet, berpotensi memengaruhi pula kesiapan peserta pemilu. Partai politik (parpol), misalnya, membutuhkan kepastian jadwal pemilu untuk mempersiapkan diri mereka dalam tahapan pendafataran verifikasi parpol. Parpol harus menyiapkan struktur kepengurusannya di daerah-daerah.
Lebih dari itu, menurut Fadli, KPU memiliki kewajiban menjelaskan desain tahapan pemilu kepada calon peserta pemilu dan publik. Sosialisasi ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jika semakin tertunda penetapannya, semakin mundur juga jadwalnya, dan ini akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu.
”Jadi berantakan semua nanti, dampaknya panjang. Nah, hal-hal itu yang lebih penting dipikirkan sehingga penentuan tahapan pemilu perlu dari jauh-jauh hari,” ucap Fadli.
Fadli juga mengkhawatirkan penetapan jadwal dan tahapan Pemilu 2024 ini akan beririsan dengan kepentingan proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu yang saat ini berjalan.
Terkait perbedaan usulan waktu dan jadwal pemilu antara pemerintah dan KPU, menurut Fadli, KPU seharusnya melihat itu sebatas usulan. Semua dikembalikan kepada KPU yang paling mengetahui situasinya.
Dalam rapat konsinyering terakhir, 5 Oktober 2021, KPU mengusulkan agar Pemilu 2024 digelar pada 21 Februari 2024, sedangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 27 November 2024. Dalam kesempatan itu, opsi lain diajukan, yakni hari H Pemilu 2024 pada 15 Mei 2024, dan pilkada diundur menjadi 19 Februari 2025.
Kedua usulan itu diajukan dengan menghitung kecukupan waktu bagi setiap tahapan sehingga pencalonan pilkada tidak terganjal oleh proses sengketa di Mahkamah Konstitusi yang belum selesai, dan tidak ada irisan tahapan yang berat antara pemilu dan pilkada sehingga secara teknis bisa dilaksanakan serta tidak membebani jajaran KPU di bawah (Kompas, 7/10/2021).
Adapun pemerintah mengusulkan agar hari H pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024, sedangkan pilkada tetap 27 November 2024.
Sebelum reses
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang mengatakan, sebelum DPR memasuki masa reses, yakni 16 Desember 2021, Komisi II akan melaksanakan rapat kerja kembali dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menetapkan tahapan dan jadwal Pemilu 2024. Ia memperkirakan raker itu dapat digelar pada awal Desember.
”Kita lihat dan dengar saja nanti dalam raker di Komisi II DPR jadwal Pemilu yang ditetapkan KPU,” kata Junimart, dalam keterangan tertulisnya.
Fraksi PDI-P, kata Junimart, akan mematuhi peraturan perundang-undangan dalam penetapan pelaksanaan Pemilu 2024. KPU dan penyelenggara pemilu lainnya harus independen, tidak bisa diintervensi sebagaimana amanat konstitusi. Hal itu sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 22 E UUD 1945, Pasal 167 UU Pemilu, dan Putusan MK Tahun 2016 yang menentukan pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
”Otoritas penentuan jadwal pemilu mutlak berada di tangan KPU. Pasal 167 UU Pemilu secara tegas menyebutkan bahwa penentuan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara ditentukan oleh KPU dengan keputusan KPU,” kata Junimart.
Kendati demikian, penentuan jadwal dari KPU tersebut akan tetap dibawa dan dikonsultasikan di Komisi II DPR bersama Kemendagri, Bawaslu, dan DKPP dalam bentuk raker untuk diambil keputusan.
”Artinya, jadwal pemilu yang sudah ditentukan oleh KPU sifatnya hanya sebatas konsultasi saja di DPR, yang selanjutnya ditindaklanjuti KPU dengan pemaparan pratahapan, tahapan, dan seterusnya hingga pemungutan, penghitungan kertas suara hasil coblosan, dan pengumuman hasil pemungutan, hingga penetapan,” katanya.
Junimart juga menegaskan, konsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan KPU (PKPU) tidak mengikat. Artinya, apa yang diusulkan Komisi II DPR atau pemerintah sifatnya hanya sebatas usulan.
”Komisi II DPR wajib fokus mengkritisi dasar penentuan jadwal hingga tahapan hasil akhir pemilu sesuai dengan tujuan dari pemilu itu sendiri. KPU dan penyelenggara pemilu harus independen, tidak bisa diintervensi,” katanya.
Terkait waktu tahapan Pemilu 2024, menurut Junimart, dapat saja dipersingkat tanpa mengurangi proses dan nilai pemilu itu sendiri. Hal itu diperlukan mengingat situasi dan kondisi pandemi saat ini.
Dukung KPU
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat, Anwar Hafid, mengatakan, fraksinya sejak awal mendukung kewenangan KPU menetapkan jadwal pemilu karena pihaknya memahami KPU lebih paham secara teknis mengenai pengaturan jadwal itu. Demokrat menyetujui penyelenggaraan pemilu pada 21 Februari 2021.
”Namun, kemudian Demokrat mulai curiga. Karena, harusnya ini sudah disiapkan dari sekarang, ditetapkan di masa sidang yang lalu, karena kita butuh waktu yang cepat. Tetapi kemudian pemerintah memunculkan jadwal yang baru sehingga sampai hari ini terkatung-katung belum jelas. Sementara KPU yang periode ini sudah mau berakhir, sementara KPU yang baru masih dalam proses seleksi,” ujarnya.
Baca juga : Seusai Bertemu Presiden, KPU Meyakini Pemilu 2024 Bisa Digelar Februari
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Yanuar Prihatin, mengatakan, fraksinya pun mendukung agar Pemilu 2024 tetap dilakukan pada 21 Februari dan bukan 15 Mei. Salah satu pertimbangannya ialah agar Maret-April yang merupakan bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2024 tidak dijadikan ajang kampanye dan pertarungan elektoral.
”Biarkan bulan Ramadhan itu menjadi momen spiritual bagi umat beragama, dan tidak dikotori dengan pertarungan elektoral,” katanya.
Ketika pemilu dilakukan Februari, akan ada momentum rekonsiliasi bangsa yang dapat dilakukan saat Ramadhan dan Idul Fitri. Momen spiriual itu diharapkan dapat meredam gejolak seusai pemilu.
Sementara itu, anggota KPU I Dewa Wiarsa Raka Sandi mengatakan, sampai saat ini hasil kajian dan usulan KPU tentang tanggal Pemilu 2024 ialah 21 Februari 2024.
Mengingat agenda Pemilu dan Pilkada 2024 adalah agenda nasional yang sangat strategis, kompleks, dan baru, yakni semua dilakukan pada tahun yang sama, menurut Raka, masukan dan kajian dari semua pemangku kepentingan mesti didengarkan.
”Jika semua proses mulai dari kajian, komunikasi, dan koordinasi dilakukan, pada saatnya tentu jadwal itu perlu ditetapkan. Hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum terkait penyelenggaraan tahapan,” katanya.