Mencari Keseimbangan antara Tokoh Populer dan Pilihan Parpol
Ungkapan Nurdin Halid bahwa kalau Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng, tak memperoleh tempat di partainya, ada Partai Golkar yang terbuka. Pernyataan itu membuat wacana pencalonan presiden kembali menghangat diperbincangkan.
Partai-partai di Tanah Air mulai mewacanakan kandidasi para calon presiden, baik yang berasal dari internal maupun eksternal partai. Namun, semua perdebatan itu bermuara kepada pertanyaan kunci, apakah Pemilu 2024 jadi digelar?
Wacana pencalonan presiden kembali menghangat setelah Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid melontarkan jawabannya atas diskusi di Media Center Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pekan lalu. Ketika itu, Nurdin diundang hadir dalam diskusi rutin dengan wartawan di DPR, bersama dengan narasumber lainnya, yakni Yanuar Prihatin (Partai Kebangkitan Bangsa), Andreas Hugo Pereira (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, dan Ketua Umum Koordinator Nasional (Kornas) Ganjarist Mazdjo Pray.
Dalam diskusi itu dibahas mengenai fenomena maraknya sukarelawan pendukung tokoh tertentu untuk menjadi capres dalam Pemilu 2024. Semua pembicara sepakat bahwa munculnya sukarelawan adalah suatu fenomena yang positif. Dukungan terhadap tokoh-tokoh tertentu juga wajar saja muncul sebagai bagian dari diskusi publik. Selain ada Ganjarist, muncul pula sukarelawan-sukarelawan lain, seperti sukarelawan Muhaimin Iskandar dan sukarelawan Prabowo-Puan (Kompas.id, 11/11/2021).
Ada kekhawatiran, tokoh yang diusung sukarelawan itu belum tentu didukung parpol. Sebab, kadang kala apa yang menjadi suara publik tidak serta-merta diakomodasi oleh parpol. Di sisi lain, konstitusi mengatur parpol dan gabungan parpol yang dapat mengajukan capres-cawapres. Pertanyaannya, bagaimana nantinya kalau ternyata Ganjar Pranowo tidak dicalonkan oleh partainya?
Baca juga : Siapa Calon Presiden Pilihan Milenial?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Nurdin mengatakan, itu bisa saja terjadi. ”Nanti, misalnya, kalau Ganjar tidak mendapatkan tempat di partainya, ada Golkar terbuka. Apakah nomor satu atau nomor dua, itu soal nanti,” katanya.
Nurdin juga menegaskan partainya menetapkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon presiden. Namun, untuk menjadi capres, Airlangga tidak bisa sendirian, harus ada wakilnya. Andai kata Ganjar tidak diterima di ”rumahnya”, Nurdin mengatakan, ada rumah baru, yaitu Partai Golkar. Namun, sebagai orang baru, Ganjar tidak bisa langsung menjadi ”pemilik” rumah, harus bersama-sama dulu bekerja, baru bisa menjadi ”pemilik”.
Dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Manuver Gaet Tokoh Populer” yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (17/11/2021), Nurdin menegaskan lagi maksud perkataannya itu. Nurdin bersama dua narasumber lainnya, yaitu politisi Nasdem yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya, dan politisi PDI-P yang juga anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, hadir secara virtual. Satu lagi narasumber, yaitu Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, hadir secara fisik. Acara dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Sekiranya Pak Ganjar tidak mendapatkan tempat di PDI-P dan dia ingin membantu bangsa ini, Golkar siap menerima untuk berpasangan dengan Airlangga secara resmi sebagai calon presiden dan wakil presiden. (Nurdin Halid)
Terkait dengan pernyataannya ketika itu, Nurdin menjelaskan tiga aspek yang dikemukakan dalam diskusi tersebut. Pertama, aspek substansi, yakni Partai Golkar telah menetapkan Airlangga sebagai capres. Kedua, aspek kiasan, yakni apabila Ganjar tidak mendapatkan tempat di ”rumahnya”, ada rumah baru, yaitu Partai Golkar. Aspek ketiga ialah aspek motivasi, karena ketika itu hadir pula Ganjarist yang mendukung Ganjar, supaya mereka tidak berputus asa kalau Ganjar tidak diterima partainya, sebab ada Partai Golkar yang terbuka.
”Itu salah satu harapan saya, sekiranya Pak Ganjar tidak mendapatkan tempat di PDI-P dan dia ingin membantu bangsa ini, Partai Golkar siap menerima untuk berpasangan dengan Airlangga secara resmi sebagai calon presiden dan wakil presiden,” katanya.
Sebelumnya, pernyataan Nurdin ini juga mendapatkan tanggapan dari Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, yang menggunakan kata istilah ”membajak”. Hasto mengatakan, kepemimpinan itu lahir dari proses kaderisasi secara sistemik, bukan dengan membajak kader partai lain sebagai jalan pragmatis kekuasaan.
Terkait pernyataan ini, Nurdin membantahnya. Pernyataan Hasto itu disebutnya bernalar pendek. Sebab, menurut dia, tidak ada lagi istilah bajak-membajak dalam sistem multipartai. Dalam sistem multipartai, komunikasi politik dan kerja sama atau koalisi politik dibutuhkan.
Baca juga : Jalan Berliku Tokoh Potensial Calon Presiden
”Seingat saya, belum ada capres dan cawapres dari satu partai. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat di mana capres dan cawapres berasal dari satu partai. Di Indonesia tidak dikenal ’bajak-membajak’. Contohnya, dulu pada Pemilu 2004, Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri) dan Prabowo. Pada 2014 ada Jokowi dengan Jusuf Kalla. Jusuf Kalla itu kader Golkar dan mantan Ketua Umum Golkar,” ucapnya.
Pemilu 2024?
Nurdin menilai, saat ini masih terlalu dini untuk menentukan elektabilitas seorang tokoh. Airlangga juga belum bekerja sebagai capres, melainkan konsentrasi mengurus ekonomi. ”Elektabilitas pun belum tentu menjadi penentu. Itu memang salah satu unsur untuk memetakan tokoh yang kita sandingkan,” katanya.
Sementara itu, Effendi menilai pernyataan Hasto itu menafsirkan secara umum pernyataan Nurdin. PDI-P juga memiliki pengalaman yang menjadi catatan internal tentang ”bajak-membajak” itu di level eksekutif ataupun legislatif. Menurut dia, ”bajak-membajak” itu melintasi garis-garis etika. Effendi pun membantah jika partainya mengabaikan Ganjar.
Ia menyoroti maraknya pencitraan sebagai salah satu faktor yang bermain penting dalam pemilu dan pilkada dalam satu dekade ini. Menurut Effendi, seharusnya kontestasi itu dilakukan dengan menentukan siapa yang paling kuat dan hebat. ”Jualan pencitraan itu menjadi sesuatu yang mujarab. Bagaimana orang dikesankan dari A menjadi B,” katanya.
Effendi juga melihat kemungkinan pemilu tidak digelar pada 2024. Bahkan, ia melihat kecenderungan untuk menambah periodisasi pemerintahan saat ini. ”Ya, kita bisa mengerti dan memberikan pertimbangan untuk sidang MPR. Atas persetujuan rakyat bisa amendemen untuk mewadahi 2-3 tahun periodisasi pemerintahan sekarang, dan itu berlaku untuk pemerintahan berikutnya,” ujarnya.
Yunarto mengatakan, fenomena Pemilu 2014 yang mendudukkan Jokowi menunjukkan mesin politik bukan menjadi faktor tunggal dalam mengusung capres. Suara mesin politik yang diklaim akan memenangkan seseorang itu tidak selalu linear dengan suara masyarakat di bawah dalam pemilu demokratis. Ada egalitarianisme yang terbangun dalam proses itu sehingga muncullah fenomena Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, dan Anies Baswedan.
Pada Pemilu 2014, misalnya, Megawati mengalahkan dirinya sendiri sebagai ketua umum partai, yang biasanya mendapat jatah capres. Megawati lebih memilih Jokowi. Dari gambaran itu, menurut Yunarto, parpol bagaimanapun ingin menikmati kue kekuasaan. Ketika kekuatan mesin politik digabungkan dengan orang populer, PDI-P terbukti bisa menjadi partai berkuasa selama dua kali berturut-turut. Perdebatan yang juga mengemuka, salah satunya apakah PDI-P akan mengajukan Puan Maharani ataukah Ganjar, itu juga menunjukkan dialektika yang serupa.
Menurut Yunarto, parpol bagaimanapun harus menghadapi realitas elektoral. Elektabilitas calon yang tinggi, baik dari kader maupun nonkader, pasti akan menjadi titik kompromi bagi parpol dalam menentukan siapa capres yang diusung pada 2024.
Parpol bagaimanapun harus menghadapi realitas elektoral. Elektabilitas calon yang tinggi, baik dari kader maupun nonkader, pasti akan menjadi titik kompromi bagi parpol dalam menentukan siapa capres yang diusung pada 2024. (Yunarto Wijaya)
Kader nonparpol
Kader nonparpol ternyata juga memiliki potensi besar. Dari beberapa survei, sejumlah nama yang elektabilitasnya tinggi berasal dari nonparpol, seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.
Menanggapi kemungkinan tokoh nonparpol menjadi capres, Willy mengatakan, hal itu dimungkinkan di Nasdem. Melalui konvensi, partainya terbuka untuk semua tokoh, baik kader parpol maupun bukan, untuk berkontestasi.
”Nasdem sadar diri tidak mungkin mengajukan calon sendiri. Semua bergantung pada blok politik yang terbangun. Andai kata tidak terbangun blok politik, suka tidak suka, partai akan condong mata yang cantik dan selera yang enak. Kan, itu dicari yang memiliki kencenderungan untuk menang,” katanya.
Dalam perayaan ulang tahun Partai Nasdem, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh sempat pula mengajak Presiden Jokowi untuk mencari keseimbangan dalam kepemimpinan nasional. Surya juga menyampaikan kesiapannya apabila diperlukan untuk duduk berbicara, bertukar pikiran, guna mencari calon-calon pemimpin bangsa. Menurut Willy, itu adalah ajakan Surya untuk berdiskusi dengan Jokowi, karena sebagai presiden, Jokowi tentu memiliki preferensi mengenai capres.
Mengenai kader nonparpol, Nurdin mengatakan partainya merupakan partai terbuka. Ia juga menyambut baik usulan Surya Paloh. Bahkan, Nurdin mengusulkan para pimpinan parpol duduk bersama merumuskan siapa yang akan diusung di dalam Pemilu 2024. Sebanyak tiga atau empat calon dapat saja diajukan dalam pemilu, dan rakyat yang menentukan.
Adapun di PDI-P, menurut Effendi, semua akan berpulang kepada keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam penentuan capres. Sebab, Kongres PDI-P telah mengamanatkan penentuan capres itu menjadi hak prerogatif ketua umum. Penentuan capres PDI-P dilakukan melalui perenungan dan pertimbangan mendalam.