Hukuman Joko Tjandra Jadi Lebih Berat daripada Hukuman Pinangki
MAKI menilai tidak adil vonis terbaru atas Joko Tjandra. Joko sebagai pemberi suap justru dihukum lebih berat dari penerima suap, bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Padahal, ancaman hukuman penerima suap lebih besar.
Terpidana kasus hak tagih Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra menunggu kehadiran Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menolak kasasi Joko Tjandra ataupun penuntut umum dan mengembalikan hukuman penjara Joko menjadi 4,5 tahun. Dengan demikian, hukuman bagi Joko Tjandra selaku pemberi suap dalam perkara pengurusan fatwa MA untuk membebaskan Joko dari hukuman penjara kasus Bank Bali Tahun 2009, menjadi lebih tinggi daripada penerima suap, yakni bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Dalam putusan banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Joko dari hukuman penjara selama 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Salah satu pertimbangan majelis hakim banding yang diketuai Muhammad Yusuf dengan anggota Reny Halida dan Rusydi, Joko telah menjalani pidana penjara dan sudah menyerahkan uang terkait perkara pengalihan hak tagih utang Bank Bali sebesar Rp 546 miliar.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, menyampaikan, Rabu (17/11/2021), pertimbangan hukum tentang pembuktian unsur-unsur dakwaan oleh majelis hakim di pengadilan tingkat pertama yang kemudian dikuatkan pengadilan tinggi sudah tepat dan benar. Adapun alasan kasasi terdakwa tidak dapat melemahkan atau menghapus pidana terdakwa, yakni perbuatan suap.
Perbuatan terdakwa tetap sebagai delik tindak pidana yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, meskipun Joko berkewarganegaraan Papua Niugini dan terakhir di Malaysia, kepadanya dapat diterapkan hukum yang berlaku di Indonesia. ”Putusan kasasi, tolak perbaikan kasasi terdakwa dan penuntut umum dengan perbaikan pidana menjadi pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan Rp 100 juta atau 6 bulan kurungan,” kata Andi mengutip petikan putusan.
Terkait alasan kasasi penuntut umum, dinyatakan bahwa putusan pengadilan tinggi yang mengurangi pidana penjara Joko Tjandra kurang dalam pertimbangannya (onvoldoende gemotiveerd). Demikian pula dinyatakan bahwa penyerahan dana sebesar Rp 546,4 miliar atas rekening Bank Bali dilakukan melalui mekanisme eksekusi oleh jaksa penuntut umum.
Hal tersebut tidak berkorelasi dengan perbuatan suap yang dilakukan Joko Tjandra.
Selain itu, dalam pertimbangan majelis hakim kasasi disebutkan bahwa perbuatan Joko Tjandra adalah menyuap untuk mengurus fatwa MA melalui adik iparnya kepada Pinangki Sirna Malasari sebesar 500.000 dollar AS. Selain itu, Joko menyuap untuk pengurusan penghapusan daftar pencarian orang sebesar 370.000 dollar AS, 200.000 dollar Singapura kepada Napoleon Bonaparte dan sebesar 100.000 dollar AS kepada Prasetijo Utomo.
MA juga menimbang bahwa Joko Tjandra telah melarikan diri untuk menghindari pidana yang dijatuhkan MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kuasa hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, ketika dikonfirmasi, mengatakan, dirinya belum mengetahui informasi mengenai putusan MA yang menolak kasasi Joko Tjandra beserta perubahan hukuman pidana menjadi 4 tahun 6 bulan penjara. ”Saya belum dengar,” kata Soesilo.
KOMPAS/WAWAN HADI PRABOWO
Joko Soegiarto Tjandra saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (5/4/2021).
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, putusan MA tersebut tidak adil. Sebab, Joko Tjandra sebagai pemberi suap dihukum lebih berat dari penerima suap, yakni Pinangki yang dalam putusan banding, hukumannya dikurangi dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Padahal, ancaman hukuman maksimal kepada penyuap adalah 5 tahun, sementara penerima suap mencapai 20 tahun.
”Joko Tjandra hanya dikenakan pasal pemberi suap sedangkan terhadap Pinangki, selain dikenakan pasal penerima suap yang hukumannya sampai 20 tahun, dia juga dikenakan pasal pencucian uang dan pasal permufakatan jahat,” kata Boyamin.
Hal lain yang dinilai tidak adil, dalam perkara dengan terdakwa Pinangki, jaksa penuntut umum tidak mengajukan kasasi ke MA meskipun di tingkat banding hukuman Pinangki dikurangi. Sebaliknya, untuk perkara dengan terdakwa Joko Tjandra, penuntut umum mengajukan kasasi.
Oleh karena itu, menurut Boyamin, agar rasa keadilan dapat terpenuhi, maka jaksa dapat mengajukan kasasi demi hukum sebagaimana diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kasasi demi hukum berbeda dari kasasi biasa dan dapat diajukan kapan pun sebagai bentuk keadilan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (5/3/2021).
Oleh karena itu, Boyamin mendorong agar Kejaksaan Agung mengajukan kasasi demi hukum terhadap perkara Pinangki untuk memberikan rasa keadilan kepada Joko Tjandra dan kepada masyarakat. Dengan demikian, nantinya diharapkan hukuman bagi penerima suap, yakni Pinangki, dapat lebih tinggi daripada hukuman pemberi suap.
”Jadi, demi rasa keadilan, saya meminta Kejaksaan Agung untuk mengajukan kasasi demi hukum atas dasar putusan yang diterima oleh Joko Tjandra sehingga nanti MA akan memberikan rasa keadilan dalam bentuk memberikan hukuman kepada Pinangki yang lebih tinggi dari Joko Tjandra,” tutur Boyamin.
Putusan Napoleon dieksekusi
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11/2021), mengatakan, jaksa eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan melaksanakan eksekusi pidana badan terhadap Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte pada Selasa (16/11) sore. Eksekusi tersebut sesuai dengan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan Nomor Prin-1128/M.1.14/Fu.1/11/2021 tanggal 15 November 2021 dan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan tanggal 16 November.
”Dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Bareskrim Polri dan memasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang Jakarta Timur,” kata Leonard.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ekspresi mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte seusai persidangan dugaan gratifikasi terkait penghapusan red notice Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (23/11/2020).
Napoleon merupakan salah satu terpidana pada perkara suap penghapusan Joko dari daftar pencarian orang (DPO). Pada pengadilan tingkat pertama, Napoleon divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan pada pengadilan tingkat pertama.
Majelis hakim menilai Napoleon terbukti menerima uang sebesar 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi. Vonis itu tertuang dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst tanggal 10 Maret 2021.
Terhadap putusan tersebut, Napoleon melakukan upaya hukum banding. Namun, upaya banding tersebut ditolak Pengadilan Tinggi. Demikian pula terhadap permohonan kasasi. MA berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4356 K/Pid.Sus/2021 tanggal 03 November 2021 menolak permohonan kasasi dari Napoleon. Dengan demikian putusan MA tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta.
Menurut Leonard, sebelum dilakukan eksekusi pidana badan, dilakukan pemeriksaan kesehatan dan tes usap antigen dengan hasil negatif. Pelaksanaan eksekusi juga dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Sebelumnya, kuasa hukum Napoleon, Ahmad Yani, mengatakan, penolakan permohonan kasasi kliennya oleh MA tersebut telah diperkirakan. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan nantinya Napoleon akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus tersebut.
”Kita berharap akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan peninjauan kembali. Sebab, Pak Napoleon sejak awal tidak menerima hukuman seberapa pun besar atau kecilnya hukuman itu,” ujar Ahmad.