Kita biasa melihat aksi tentara penerjun payung yang berakrobatik secara lincah di udara. Terlihat simpel dan begitu cepat. Namun, di baliknya, banyak hal perlu diperhatikan, salah satunya: jangan gugup!
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·6 menit baca
Senyum masih mengembang di wajah Sersan Dua (K) Imelda saat melipat payung udara di tengah Lapangan Terbang Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (13/11/2021) pagi. Kepuasan dan kebanggaan tidak bisa disembunyikan oleh satu-satunya siswa perempuan dalam latihan Accelerated Freefall (AFF) Brigade Infanteri Para Raider 18/Trisula Divisi Infanteri 2/Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) 2021. Hari itu, ia berhasil melakukan penerjunan bebas yang ke-12 kalinya dari ketinggian 10.000 kaki atau sekitar 3.000 meter.
Untuk penerjunan yang berlangsung tidak lebih dari 5 menit, Imelda menghabiskan waktu latihan ribuan kali lebih lama. Sejak 25 Oktober-13 November 2021, ia dan 17 siswa lain yang juga tergabung dalam Divif 2/Kostrad mengikuti latihan yang dibimbing sejumlah instruktur dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) serta Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (Pusdiklatpassus), Kopassus. Termin pertama latihan dimulai dengan pelatihan darat dan simulasi angin menggunakan wind tunnel yang diselenggarakan di Markas Komando Divif 2/Kostrad Malang, Jawa Timur. Selanjutnya, mereka melakukan pelatihan udara di Lapangan Terbang Pondok Cabe.
Dalam pelatihan selama 20 hari, kata Imelda, semua siswa mendapatkan materi seputar alat perlengkapan terjun bebas, teknik melipat payung udara, dan teknik keluar dari pesawat. Teknik melayang, kemudi, mendarat, dan aplikasi terjun juga diajarkan.
Tidak ada pembedaan materi latihan karena saya perempuan, sedangkan siswa lainnya laki-laki. Semuanya disamaratakan.
Selain itu, mereka juga harus menguasai sembilan tingkat kompetensi sebagai syarat kelulusan. Mulai dari penerjunan yang didampingi dua pelatih, penerjunan didampingi satu pelatih, dan penerjunan mandiri. Selanjutnya, siswa diminta terjun dengan manuver maju mundur dan berbelok, kemudian berbelok dan jungkir ke depan dan belakang untuk mengatasi situasi tidak stabil. Pada tingkat akhir, siswa juga harus menguasai penerjunan dengan menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) serta membawa perlengkapan.
”Tidak ada pembedaan materi latihan karena saya perempuan, sedangkan siswa lainnya laki-laki. Semuanya disamaratakan,” ujar Imelda.
Itu membuat kebanggaannya semakin bertambah karena jenis kelamin bukan hambatan untuk meningkatkan profesionalitas sebagai prajurit. Divif 2/Kostrad juga tidak menutup kesempatan bagi perempuan prajurit untuk mengikuti berbagai pelatihan yang sama dengan rekannya yang laki-laki.
Sejauh ini, kata Imelda, baru satu bintara perempuan angkatan 2019 yang menjadi penerjun. Ia tertarik menekuni bidang ini karena ingin berpartisipasi dalam infiltrasi ke daerah musuh melalui udara ketika negara memerlukan.
Sekalipun demikian, latihan yang diikuti Imelda tak serta-merta berjalan mulus. Pada penerjunan pertama, ia terpaku cukup lama di pintu (ramp door) pesawat Cassa yang membawa para siswa ke titik penerjunan. ”Kaki saya gemetar, tidak bisa bergerak mundur untuk exit, sampai saya harus dipegangi pelatih,” katanya sambil tertawa.
Ketegangannya sirna seketika ketika akhirnya telah menerjunkan diri. Di udara, ia berhasil mengaplikasikan semua teknik dan kompetensi yang disyaratkan. Ia mampu melakukan penerjunan mandiri, juga menerapkan berbagai manuver. ”Jungkir ke depan, belakang, akrobat, alhamdulillah semua sudah saya lakukan,” tutur Imelda.
Tantangan dari dalam diri ketika pertama kali terjun juga dirasakan Letnan Satu (Cba) Firman Budi Hartawan. Ia tak memungkiri itu merupakan fase terberat yang harus dilewati seorang siswa penerjun.
Sebab, mereka harus bisa menerapkan semua teknik yang sudah diajarkan pada ketinggian 10.000 kaki. Hampir 10 kali lipat lebih tinggi daripada penerjunan di latihan para dasar yang pernah dilakukan sebelumnya, yakni dari ketinggian 1.200 kaki atau 365 meter. ”Kalau terjun pertama kita sudah berani melompat, berikutnya sampai terakhir akan rileks tidak ada beban,” ungkap Firman.
Untuk menghilangkan kegugupan, para penerjun mengatasinya dengan berbagai cara. Di dalam penerbangan sampai titik penerjunan yang berlangsung sekitar 20 menit, misalnya, beberapa orang mengambil posisi santai sambil menyandarkan punggung ke dinding pesawat. Ada pula yang sengaja merebahkan diri di lantai pesawat Cassa meski terasa begitu bergetar.
Di dalam pesawat yang suara mesinnya memekakkan telinga itu, para penerjun juga masih bisa bercanda dan saling menyemangati satu sama lain. Berfoto juga merupakan aktivitas yang hampir tak ketinggalan di antara mereka.
Disiplin
Setelah mengatasi kegugupan, tantangan lain yang dihadapi para penerjun ialah kedisiplinan dalam menerapkan seluruh teknik yang dipelajari. Situasi di udara dengan pemandangan yang indah, kata Firman, bisa membuat penerjun terlena sehingga lupa membuka payung udaranya. Padahal, waktu yang tersedia sangat singkat. Jika terlambat membuka payung, tentu akan berbahaya bagi penerjun.
Oleh karena itu, para prajurit harus disiplin memerhatikan altimeter yang digunakan untuk memantau posisi ketinggian. Pembukaan payung, maksimal dilakukan pada ketinggian 5.500 kaki (1.670 meter). Untuk membantu mengingatkan, terdapat alarm yang dipasang pada helm tiap prajurit. Alarm itu juga akan berbunyi di ketinggian 5.500 kaki.
Kita tidak boleh panik, dan harus disiplin menjadikan prosedur keamanan yang sudah diajarkan sebagai refleks, tidak hanya dihapal.
Di udara, penerjun juga kerap berhadapan dengan situasi sulit yang mengharuskan mereka bertindak cepat dan tepat.
Firman mengungkapkan, pada penerbangan keempat, ketujuh, dan kesepuluh, ia sempat mengalami kondisi payung yang terlambat keluar. Untuk itu, ia berusaha menggoyangkan badan untuk mempercepat keluarnya payung dari dalam tas. Namun, hal itu berdampak pada berputarnya riser atau sabuk yang menghubungkan antara sabuk badan dan tali payung.
Jika tidak segera diatasi, perputaran akan menguncupkan payung udara. Firman kemudian memutar badan ke arah sebaliknya dari putaran riser. ”Kita tidak boleh panik dan harus disiplin menjadikan prosedur keamanan yang sudah diajarkan sebagai refleks, tidak hanya dihapal,” katanya.
Prosedur keamanan dalam situasi sulit, tambahnya, merupakan hal yang terus-menerus ditekankan para pelatih. Meski latihan sudah usai di siang atau sore hari, mereka terus mengajarkan dan mengingatkannya di malam hari.
”Setiap malam, dari hari pertama sampai terakhir, pelatih selalu mengingatkan soal prosedur keamanan ketika menghadapi kesulitan,” ujar Firman.
Pertama kali
Panglima Divif 2/Kostrad Mayor Jenderal Andi Muhammad seusai menutup Latihan AFF 2021 menyatakan kebanggaannya terhadap para prajurit. Seluruh siswa telah melewati sembilan tingkat kompetensi yang menjadi syarat kelulusan. Ke-18 peserta pun ia nyatakan lulus dalam pelatihan.
Tahun ini, kami diberikan kesempatan oleh pimpinan TNI AD untuk melaksanakan latihan sendiri. Meski demikian, ini tetap terintegrasi dengan Kopassus karena kami juga menyertakan rekan-rekan dari Pusdiklatpassus untuk asistensi, pelatih juga dari mereka.
Meski latihan terjun bebas rutin dilakukan setiap tahun untuk prajurit di Brigif Para Raider 18/Trisula, kata Andi, agenda ini merupakan latihan yang pertama kali diselenggarakan secara mandiri oleh Divif 2/Kostrad. Sebelumnya, para prajurit diikutsertakan dalam latihan di Pusdiklatpassus.
”Tahun ini, kami diberikan kesempatan oleh pimpinan TNI AD untuk melaksanakan latihan sendiri. Meski demikian, ini tetap terintegrasi dengan Kopassus karena kami juga menyertakan rekan-rekan dari Pusdiklatpassus untuk asistensi, pelatih juga dari mereka,” tuturnya.
Latihan penerjunan yang lebih intens juga dibutuhkan oleh Brigif Para Raider 18/Trisula. Sebab, keterampilan ini wajib dimiliki setiap prajuritnya untuk menjalankan tugas pokok, yakni operasi lintas udara yang dilakukan menggunakan pesawat, kemudian menerjunkan prajurit ke kamp atau ekstraksi. Selama ini, latihan terkendala ketersediaan pesawat.
Andi menambahkan, latihan ini juga penting untuk terus mempersiapkan personel dalam menghadapi tantangan TNI ke depan yang semakin kompleks. Tidak tertutup kemungkinan dalam waktu dekat diperlukan pengerahan pasukan dari satuan lintas udara untuk menghadapi perkembangan situasi nasional.