TNI AL Bantah Minta 300.000 Dollar AS untuk Lepaskan Kapal
Tudingan TNI AL menerima sejumlah uang saat menegakkan hukum terhadap kapal yang melanggar hukum sudah sering terjadi. Tudingan sengaja dilontarkan untuk mendiskreditkan TNI AL.
JAKARTA, KOMPAS — TNI AL membantah tudingan bahwa pihaknya meminta uang 300.000 dollar AS untuk melepaskan kapal komersial yang melego jangkar di wilayah Kepulauan Riau dalam tiga bulan terakhir.
Hal tersebut disampaikan oleh Panglima Komando Armada I Laksamana Muda Arsyad Abdullah, Jumat (12/11/2021). Arsyad sebelumnya dimintai konfirmasi lewat Dinas Penerangan TNI AL terkait pemberitaan media Lloyd’s List, 9 November 2021, yang menyebutkan TNI AL meminta pembayaran 250.000-300.000 dollar AS atau sekitar Rp 3,6 miliar hingga Rp 4,3 miliar untuk melepaskan kapal-kapal komersial yang secara ilegal melego jangkar di sekitar Bintan dan Batam.
Lloyd’s List menggunakan beberapa sumber anonim yang di antaranya menyebutka tidak ada tanda terima dari TNI AL. Sumber itu mengatakan, angka ini lebih besar dari 150.000 dollar AS yang berlaku pada 2019. Sebagian dari 25 kapal yang mengalami hal ini telah menghubungi kedutaan besar masing-masing, tetapi lalu dijawab oleh TNI AL sedang dalam proses hukum.
”Tuduhan TNI AL menerima atau meminta sejumlah uang dalam melakukan proses hukum terhadap kapal-kapal yang melanggar sudah sering terjadi. Tuduhan ini sengaja dilontarkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dengan maksud mendiskreditkan TNI AL,” kata Arsyad. Ia menggarisbawahi, TNI AL akan terus melakukan tugasnya sesuai dengan undang-undang dalam menegakkan kedaulatan dan hukum di laut perairan Indonesia.
Baca juga: Dua Senjata dan 600 Amunisi Terkirim dari Ambon ke Papua, Polisi dan Tentara Diduga Terlibat
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA) Batam Osman Hasyim, Kamis (11/11/2021), mengatakan belum pernah mendapat laporan mengenai kapal niaga asing yang dikenai pungli dalam jumlah sebesar itu. Namun, telah menjadi rahasia umum bahwa kapal-kapal niaga enggan singgah di perairan Kepri karena identik dengan pungli.
”Yang sering terjadi itu petugas berpatroli, lalu naik dan memeriksa ini dan itu di kapal-kapal asing. Di Batam, hal seperti itu sudah menjadi masalah klasik,” kata Osman yang juga merupakan Ketua Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam (AGKIMB).
Selain membantah tuduhan bahwa TNI AL meminta uang, Arsyad juga menganggap ini tuduhan serius. Tuduhan ini berdampak pada pencemaran nama baik institusi TNI AL. Sangat disayangkan, informasi tersebut beredar tanpa memberikan kesempatan waktu yang cukup bagi pihak TNI AL untuk mengklarifikasi.
Dalam artikel Lloyd’s List yang berjudul Indonesian navy in shipping ”shakedown” off Singapore Strait, penulis Michelle Bockman menyatakan telah berusaha meminta keterangan TNI AL lewat situs web TNI AL. Ia juga mengontak atase transportasi di KBRI London, Andy Soetomo Panjaitan via surat elektronik, tetapi tidak direspons. Di sisi lain, Michelle Bockmann tidak merespons pertanyaan lewat surat elektronik yang dikirimkan Kompas pada 10 November lalu.
Arsyad mengatakan, memang dalam tiga bulan terakhir TNI AL telah memeriksa beberapa kapal yang diduga melanggar hukum di perairan teritorial Indonesia, khususnya di perairan Kepulauan Riau. Menurut dia, beberapa kapal berperilaku tidak wajar dengan melego jangkar tanpa izin dari otoritas pelabuhan di laut teritorial Indonesia. Lego jangkar juga tidak dilakukan di daerah yang ditentukan Pemerintah RI.
Arsyad mengatakan, Pemerintah RI melalui Menteri Perhubungan memang baru menata kembali tiga area lego jangkar yang diterbitkan pada 2020. Tiga daerah itu telah disosialisasikan secara nasional dan internasional oleh Pusat Hidro dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal). Kapal-kapal ini juga berhenti atau mengapung dalam waktu yang tidak wajar yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan pelayaran. Beberapa kapal juga tidak mengibarkan bendera identitas dan menyimpang dari rutenya.
Stephen Askins, pengacara maritim dari Tatham & Co dalam artikel Lloyd’s List tersebut mengatakan, dasar dari penahanan kapal-kapal itu adalah artikel 19 di UNCLOS. Namun, menurut dia, dasar itu tidak kuat karena melego jangkar dalam rangka proses masuk ke pelabuhan Singapura tidak bisa dikategorikan melanggar ”lintas damai” sebagaimana hak dalam pasal UNCLOS tersebut.
Ia mengatakan, para pemilik kapal memilih untuk membayar sejumlah uang kepada TNI AL daripada harus menunggu 6-8 bulan pengadilan atau lebih lama lagi di International Tribunal for the Law of the Sea. Padahal, menurut dia, sekiranya para pemilik kapal ini membawa kasus tersebut ke International Tribunal, besar kemungkinan Indonesia akan kalah.
Stephen juga menggarisbawahi kalau tindakan TNI AL yang menahan kapal dan melepaskan setelah menerima uang tidak ada dasar hukumnya. Ia malah melihat hal ini bisa dikategorikan sebagai ”uang tebusan”. Menurut informasi yang diterima Kompas, Stephen menjadi pengacara beberapa pemilik kapal tersebut. Namun, Stephen belum menjawab pertanyaan Kompas saat dikontak lewat akun media sosialnya, Jumat pagi.
”Kapal-kapal dikawal ke Pangkalan TNI AL Batam untuk proses penyelidikan lebih lanjut, bukan negosiasi,” kata Arsyad lewat keterangan tertulis.
Ia mengatakan, sebelumnya KRI telah mengimbau dan melakukan pengusiran beberapa pelanggar ketentuan area lego jangkar. Namun, kejadian terus berulang sehingga dilakukan tindakan tegas dengan memeriksa dan memproses secara hukum terhadap kapal-kapal yang diduga melanggar ketentuan sehingga terjadi peningkatan jumlah kapal yang ditahan.
Bagi TNI AL, penahanan kapal-kapal ini memiliki dasar hukum, yaitu pelanggaran Pasal 317 jo Pasal 193 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Baca juga: TNI Menjaga NKRI di Perbatasan
Arsyad menegaskan, TNI AL tidak pernah menerima uang dari kapal-kapal tersebut. Adanya keluhan soal uang sebesar 250.000-300.000 dollar AS diduga Arsyad diberikan kepada agen. Agen ini ditunjuk para pemilik kapal untuk keperluan atau kebutuhan sejumlah jasa, antara lain untuk pengurusan surat/administrasi lego jangkar, port clearance, biaya pandu, sewa sekoci, logistik kapal (BBM), serta kebutuhan hidup awak kapal selama proses hukum. ”Uang ini mungkin dibayarkan agen ke pihak ketiga. Bukan kepada TNI AL,” katanya.
Dalam proses hukum, TNI AL tidak pernah menunjuk mediator atau agen perantara penyelesaian proses perkara. Selama proses penyelidikan dan penyidikan di Pangkalan TNI AL, tidak dilakukan penahanan terhadap awak kapal, termasuk nakhoda atau kapten kapal. Pada saat proses hukum seluruh awak kapal tetap berada di atas kapalnya, kecuali dalam rangka pemeriksaan di pangkalan untuk dimintai keterangan dan setelah selesai dikembalikan ke kapal.
Sengkarut pungli di perairan Kepri mengemuka ke publik pada pertengahan 2021. Saat itu, AGKIMB memprotes Badan Pengusahaan (BP) Batam karena mengharuskan kapal niaga untuk membayar jasa kapal pandu yang harganya dua kali lipat. Saat meluncurkan proyek percontohan Batam Logistic Ecosystem pada 18 Maret 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta penegak hukum di Batam memahami ekosistem di pelabuhan sehingga tidak merancukan antara yang legal dan ilegal. Ia meminta kegiatan legal untuk dipermudah, sedangkan yang ilegal harus segera diberantas.
”Kalau Indonesia masih mikirnya kalau kapal datang (harus) diperiksa-periksa, habis diperiksa masih buka-buka dilamain karena sebetulnya (petugas) minta sesuatu, itu enggak lucu. Bahkan, sebelum merapat pun sudah ditempel-tempel oleh berbagai instansi, ini juga enggak lucu,” kata Sri Mulyani.