Memaknai Kembali Gerakan Intelektual Mahasiswa Saat Ini
Gerakan intelektual mahasiswa tidak melulu harus dilakukan dengan turun ke jalan. Intelektualitas mahasiswa dapat diwujudkan dengan melakukan penelitian yang dapat menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mahasiswa mengangkat tangan untuk menunjukkan kepada polisi bahwa mereka tidak membawa batu atau kayu saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/9/2021). Salah satu tuntutan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan Gerakan Selamatkan KPK ini ialah pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK pada 30 September 2021.
Alih-alih dipahami sempit sebagai demonstrasi atau turun ke jalan, perwujudan gerakan intelektual mahasiswa bisa beragam, termasuk melalui penelitian. Sebab, gerakan intelektual mahasiswa merupakan buah dari dialog antara teori dengan realita, sehingga menghasilkan aksi nyata sebagai jawaban kebutuhan masyarakat.
Pandangan tersebut terungkap dalam diskusi daring ”Apa Kabar Gerakan Intelektual Mahasiswa” yang diselenggarakan LP3ES, Rabu (10/11/2021). Peneliti dari Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities Universitas Indonesia Sarah Monica mengingatkan bahwa sebuah pemahaman yang tidak tepat ketika mengartikan gerakan intelektual mahasiswa hanya terbatas sebagai dalam bentuk demonstrasi.
Dibandingkan ketika terjadi reformasi tahun 1998 yang mana pada saat itu terdapat musuh bersama, yakni Orde Baru, situasi saat ini sangat banyak isu yang terjadi. Meski demikian, bukan berarti mahasiswa saat ini tidak bisa berkontribusi bagi masyarakat.
”Ada yang bilang bahwa jangan jadi intelektual di menara gading. Tetapi, ada pemikir, filsuf, yang melakukan kajian intelektual tanpa membuat gerakan. Meski demikian, tulisan-tulisan mereka memicu individu atau komunitas untuk membuat gerakan,” kata Sarah.
Tangkapan layar Peneliti dari Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI) Sarah Monica dalam diskusi daring ”Apa Kabar Gerakan Intelektual Mahasiswa” yang diselenggarakan LP3ES, Rabu (10/11/2021).
Menurut Sarah, gerakan intelektual mahasiswa tidak melulu harus dilakukan dengan turun ke jalan. Intelektualitas seorang mahasiswa dapat diwujudkan dengan melakukan penelitian yang dapat menghasilkan suatu hal yang merupakan kebutuhan masyarakat atau mengatasi permasalahan masyarakat.
Untuk itu, lanjut Sarah, yang lebih diperlukan adalah semangat untuk terus mengasah gagasan yang didapat sebagai seorang intelektual mahasiswa. Salah satu syarat mutlak untuk mendapatkan ilmu dan mengasah gagasan adalah banyak membaca untuk kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Sebab, dengan menulis, suatu pemikiran menjadi lebih terstruktur.
”Ada yang melakukan gerakan tanpa melakukan kajian yang lebih menyeluruh untuk suatu isu karena bacaannya kurang dalam atau cara membacanya keliru. Tetap, karena mahasiswa itu sebagai kaum intelektual, basic-nya adalah membaca,” kata Sarah.
Selain membaca, lanjut Sarah, salah satu cara mengasah gagasan atau pemikiran adalah dengan mendiskusikan pemikiran atau teori dengan orang lain. Hal itu berguna untuk mempertajam pemikiran sekaligus mengoreksinya. Namun, suasana diskusi semacam itu dinilai sudah semakin berkurang. Sebab, saat ini banyak mahasiswa yang lebih senang untuk bermain gawai.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Renie Aryandani dalam diskusi daring ”Apa Kabar Gerakan Intelektual Mahasiswa” yang diselenggarakan LP3ES, Rabu (10/11/2021).
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Renie Aryandani mengaku terpukul ketika mendengar asumsi publik bahwa gerakan mahasiswa hari ini hanya mengikuti tren. Ia melihat bahwa corak kaum intelektual ada beberapa macam, seperti corak intelektual menara gading, intelektual tukang, intelektual resi, intelektual transformatif, dan intelektual integratif.
”Kalau bicara gerakan intelektual, kita harus punya dasar. Sebelum membuat pernyataan, harus punya dasar, harus punya analisis yang tajam. Tapi, bagaimana bisa mengetahui kalau mahasiswa tidak membaca. Jangankan minat baca, bagaimana memastikan mahasiswa hari ini tidak menggunakan jasa joki. Itu lebih parah dan mencederai intelektualitas,” kata Renie.
Menurut Renie, gerakan intelektualitas mahasiswa mengalami beberapa hambatan. Hal itu, antara lain, karena alergi pembaruan, kemudian adanya relasi timpang antara senior dan yunior, dan toksik maskulinitas. Disebut toksik karena ada persepsi bahwa gerakan mahasiswa itu harus dilakukan melalui kekerasan agar diperhatikan. Hambatan lain adalah masih adanya watak primordial dan seksis.
Bagi Renie, tidak ada jawaban yang final untuk arah dan tantangan gerakan mahasiswa saat ini. Jika di masa lalu gerakan intelektual mahasiswa berorientasi politis, yakni untuk menumbangkan rezim, orientasi gerakan intelektual mahasiswa saat ini adalah menjawab masalah yang ada saat ini.
”Mahasiswa mesti menerjemahkan kebijakan pemerintah agar rakyat paham dan sebaliknya menerjemahkan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dan, mahasiswa mesti berkumpul dan berserikat untuk merawat posisi etisnya, punya kawan untuk melakukan kajian, berdiskusi, dan berwacana,” kata Renie.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Penggagas Forum Indramayu Studi (FIS) Arif Rofiuddin dalam diskusi daring ”Apa Kabar Gerakan Intelektual Mahasiswa” yang diselenggarakan LP3ES, Rabu (10/11/2021).
Penggagas Forum Indramayu Studi (FIS) Arif Rofiuddin menceritakan FIS ialah gerakan yang muncul dari keprihatinan terhadap situasi dan kondisi pendidikan di wilayah Indramayu. Kemudian, diinisiasilah jaringan pelajar dan mahasiswa Indramayu yang belajar di berbagai kota di Indonesia untuk membangun kesadaran soal pentingnya pendidikan dan membangun akses pendidikan.
Menurut Arif, forum tersebut merupakan wadah dari berbagai teori atau pemahaman yang didapatkan di bangku kuliah ke kehidupan nyata. Sebab, gerakan intelektual mahasiswa mesti turun dari menara gading, dan harus berdampak pada lingkungan sosial.
Di sisi lain, lanjut Arif, banyak gerakan mahasiswa yang bersifat seremonial dan eksistensial atau hanya untuk memperkenalkan dirinya sendiri, tetapi solusi yang ditawarkan belum mengakar. Meski demikian, hal itu tetap positif karena di era digital, banyak hal bisa dilakukan hanya melalui telepon genggam.
”Kalau menurut saya, kalau kita kurang bergerak, kurang ada revolusi. Kaum muda, kaum milenial, sebagai bagian dari bonus demografi itu harus banyak ’bergerak’,” ujar Arif.