Andika Berkomitmen Mengawal TNI agar Tidak Masuk ke Ranah Sipil
KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, calon tunggal Panglima TNI, berkomitmen membuat TNI memegang teguh peraturan perundangan. Sebagian pihak pun mengingatkan, agar Andika memiliki prioritas di masa jabatan hanya 1 tahun.
Oleh
IQBAL BASYARI/R RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai calon tunggal Panglima TNI, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa berkomitmen untuk mengawal TNI menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan. TNI hanya akan membantu pelaksanaan program dan mengedepankan kementerian atau lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan terkait. TNI tidak akan masuk ke ranah sipil.
”Prioritas pertama saya adalah bagaimana membuat TNI lebih memegang peraturan perundangan sebagai dasar kami yang melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang menurut kami perlu dilakukan,” ujar Andika seusai uji kelayakan dan kepatutan di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Sabtu (6/11/2021).
Andika berkomitmen, TNI tidak akan masuk ke ranah sipil. Setiap lembaga, termasuk TNI, harus disiplin terhadap tugas pokok dan fungsinya agar bisa menjadi satu kesatuan kerja tim yang baik.
Menurut dia, peraturan perudangan sangat penting bagi TNI dalam menjalankan tugasnya. TNI tidak bisa lagi seenaknya atau bertindak seolah memiliki kewenangan sehingga segala yang dilakukan mesti sesuai peraturan perundangan. ”Peraturan hukumnya gimana, kita harus begitu,” katanya.
Andika berkomitmen, TNI tidak akan masuk ke ranah sipil. Setiap lembaga, termasuk TNI, harus disiplin terhadap tugas pokok dan fungsinya agar bisa menjadi satu kesatuan kerja tim yang baik.
”Kita harus disiplin. TNI akan berpegang pada peraturan perundangan, tupoksi kita saja. Kalaupun ada tugas-tugas yang sifatnya membantu, kita akan kedepankan lembaga yang punya tupoksi itu,” ujarnya.
Ketua Inistiatif untuk Demokrasi dan Keamanan Al Araf mengatakan, banyak tugas tugas militer selain perang selama ini yang dilakukan secara berlebihan, tidak proporsional, dan tidak kontekstual. Ia mencatat, setidaknya ada 40 nota kesepahaman TNI dengan berbagai pihak dalam rangka tugas operasi militer selain perang yang harus di evaluasi terlebih dahulu. Beberapa di antaranya adalah pelibatan militer untuk program cetak sawah dan ketahanan pangan. ”Itu sesuatu yang berlebihan dan tidak sejalan dengan tugas TNI untuk perang,” tutur Araf.
Selain itu, lanjut ia, untuk peningkatan intelijen dalam hadapi konflik internal seperti konflik horizontal harus didetailkan. Sebab, untuk antisipasi konflik di dalam negeri merupakan tugas dari intelijen penegakan hukum dan penegak hukum sendiri yang mestinya melakukan antisipasi awal. Intelijen TNI harusnya banyak memainkan kerja-kerja eksternal ketimbang kerja internal.
Araf melanjutkan, ia belum melihat isu pengarusutamaan HAM dalam program calon Panglima TNI. Padahal, faktanya, beberapa oknum TNI diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM seperti kasus pembunuhan pendeta Jerrmia di Papua. ”Ketiadaan isu pengarusutamaan HAM ini akan menjadi tanda tanya besar bagi publik dalam konteks penghormatan HAM ke depan di bawah calon panglima TNI yang baru,” katanya.
Menurut Araf, Andika mesti memiliki prioritas di masa jabatannya yang hanya sekitar satu tahun. Isu pengarustaman HAM harusnya masuk karena terkait kepentingan publik, begitu pula soal kesejahteraan prajurit. Agenda reformasi peradilan militer juga membutuhkan komitmen Panglima TNI agar otoritas sipil dapat menjalankanya dengan dukungan TNI. ”Reformasi peradilan militer komitmen dan janji Presiden Joko Widodo di 2014 dalam program kerjanya yang sampai sekarang belum selesai,” ujarnya.
Dalam konteks penanganan ancaman siber sebagaimana disampaikan Andika, lanjut Araf, TNI memang perlu meningkatkan kapasitasnya. Dinamika ancaman yang asimetris menjadikan ancaman siber menjadikan banyak negara memperkuat kekuatan miiternya untuk menghadapi ancaman lewat siber itu, khusus terkait dengan pertahanan.
Negara-negara tersebut membuat unit khusus yang cukup besar untuk isu pertahanan siber. Namun, terkait dengan kesiapsiagaan dalam menghadapi operasi militer selain perang seharusnya calon panglima TNI bukan langsung meningkatkanya, tetapi perlu mengevaluasinya terlebih dahulu.
Andika mesti memiliki prioritas di masa jabatannya yang hanya sekitar satu tahun. Isu pengarustaman HAM harusnya masuk karena terkait kepentingan publik, begitu pula soal kesejahteraan prajurit.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengingatkan, visi seorang Panglima TNI harus bersifat ke depan, terkait tantangan geostrategis pertahanan di tingkat global dan regional. Visi juga mestinya dirumuskan dengan kalimat yang futuristik, bukan justru merujuk pada sejarah masa lalu yang kental nuansa politis, yaitu bahwa TNI adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
”TNI manunggal dengan rakyat. Itu adalah paradigma TNI yang sudah menjadi sejarah masa lalu,” ucapnya.
Menurut dia, misi Andika yang dipaparkan kepada Komisi I DPR sangat normatif. Fokus misi itu seharusnya pada strategi apa yang hendak diterapkan dan langkah apa yg mau dilakukan di internal TNI lintas matra untuk mencapai visi.
”Kalau visinya ke masa lalu atau ke belakang, itu bisa berarti jalan mundur, mempertahankan gelar kekuatan pertahanan yang mengikuti struktur pemerintahan. Artinya TNI akan kembali memimpin atau setidaknya memengaruhi langsung jalannya kehidupan pemerintahan sipil,” kata Usman.