Sukarelawan politik bisa tumbuh subur karena peran parpol melemah dalam proses pemilihan langsung. Parpol cenderung hanya berperan memberikan tiket karena mesin partai dalam pemenangan sering kali tidak maksimal.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Pilkada DKI Jakarta 2012 menjadi awal tonggak kehadiran sukarelawan politik. Salah satu kandidat saat itu, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, mendapat dukungan dari Jokowi Ahok Social Media Volunteers atau dikenal dengan sebutan Jasmev. Setahun berselang, gerakan sukarelawan kembali muncul pada Pilgub Jawa Tengah 2013. Pasangan calon gubernur Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko didukung oleh Relawan Garuda.
Kehadiran sukarelawan pun berlanjut pada kontestasi Pemilihan Presiden 2014. Dua kandidat saat itu, Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa masing-masing mendapat dukungan dari kelompok sukarelawan. Sejak saat itu, sukarelawan politik hampir tak pernah absen dalam pilkada dan pilpres, termasuk sukarelawan pada Pilpres 2019 yang mendukung pasangan calon Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.
Keberhasilan sukarelawan mengantarkan kemenangan kandidat yang didukung selama hampir satu dekade terakhir itu akhirnya juga diduplikasi pada Pilpres 2024. Kelompok sukarelawan mulai mendeklarasikan diri mendukung sejumlah tokoh yang selalu muncul dalam berbagai survei. Beberapa sukarelawan telah mendeklarasikan dukungan, antara lain, kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Ketua DPR Puan Maharani, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Wakil Ketua Umum Sahabat Ganjar Mawing Goso mengatakan, Sahabat Ganjar menangkap keinginan dari arus bawah agar Ganjar menjadi calon presiden dalam Pilpres 2024. Dorongan itu kemudian disuarakan melalui kelompok sukarelawan agar kemudian disuarakan kepada parpol. ”Berbicara soal apakah nanti Ganjar bisa menjadi calon presiden yang diusung oleh partai politik atau tidak, itu domain dari parpol,” ujarnya dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Relawan, Suara Publik atau Strategi Politi?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (3/11/2021) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo tersebut dihadiri secara langsung oleh Ketua Umum Gema Puan Ridwan dan Koordinator Anies Laode Basir. Sementara Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi hadir secara virtual.
Lebih lanjut Mawing menuturkan, Sahabat Ganjar yang berisi orang-orang pendukung Ganjar akan menyebarluaskan prestasi Gubernur Jateng dua periode itu kepada publik. Mereka juga akan memberikan pandangan kepada pimpinan parpol terhadap permintaan publik agar PDI-P mencalonkan Ganjar sebagai capres.
Sebaliknya Ridwan meyakini PDI-P akan memilih Puan sebagai capres 2024. Gema Puan pun akan mendeklarasikan dukungan dan menyosialisaikan Puan di setiap tingkatan daerah. ”Puan tidak akan mengkhianati Pancasila karena dia cucu dari penggali ideologi Pancasila,” ucapnya.
Menurut Burhanuddin, sukarelawan politik merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia. Kemunculannya mulai marak terutama sejak Pilkada DKI Jakarta 2012.
Menurut Laode, deklarasi sukarelawan Anies dilakukan tanpa sepengetahuan Gubernur DKI Jakarta tersebut karena saat melakukan deklarasi mereka tidak memberitahukan dan mengundang Anies. Meskipun Anies tidak menjadi bagian dari kader parpol, tak menutup kemungkinan bisa dicalonkan oleh parpol. Sebab, dalam menentukan dukungan kepada capres, parpol biasanya merujuk pada popularitas dan elektabilitas. Anies pun dalam berbagai survei selalu menempati urutan tiga besar bersama Ganjar dan Prabowo.
Oleh sebab itu, sukarelawan Anies akan mengambil peran untuk menyosialisasikan kinerja-kinerja Anies kepada masyarakat. Sukarelawan Anies ingin publik dari Aceh hingga Papua menguji kapasitas dan kompetensi Anies sehingga masyarakat mengetahui rekam jejak mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. ”Anies bukan satu-satunya sukarelawan pendukung Anies. Bisa jadi kami hanya bagian kecil dari masyarakat yang menginginkan Anies menjadi presiden,” tutur Laode.
Menurut Burhanuddin, sukarelawan politik merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia. Kemunculannya mulai marak terutama sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Eksperimen yang berhasil itu kemudian dilanjutkan pada Pilpres 2014 dan diduplikasi oleh sukarelawan lain dalam pilkada dan pilpres berikutnya.
”Saya tidak ingin mengatakan bahwa mereka murni dari bawah, pasti ada tarik-menarik antara aspirasi elite dan bawah, tetapi sepertinya sukarelawan yang muncul ingin memberi kesan kepada publik bahwa tokoh-tokoh itu didukung dari arus bawah meskipun koneksi dengan elite tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Keberadaan sukarelawan politik ada yang muncul secara alamiah dan rekayasa politik. Jika alamiah, sukarelawan akan melakukan kerja-kerja konkret dan tidak berhenti pada deklarasi. Sebaliknya, sukarelawan hasil rekayasa politik sering kali tidak berlanjut seusai deklarasi sehingga tak mampu menarik dukungan massa lebih luas. ”Sepanjang yang saya ikuti, kebanyakan sukarelawan politik berhenti di deklarasi,” ucap Burhanuddin.
Menurut dia, kelompok sukarelawan politik bisa tumbuh subur karena peran parpol melemah dalam proses pemilihan langsung. Parpol cenderung hanya berperan memberikan tiket karena mesin partai dalam pemenangan sering kali tidak maksimal. Dalam proses pemenangan, mobilisasi pemilih sering kali dipercayakan kepada tim sukarelawan nonpartai. Perilaku pemilih semakin lama semakin personal.
Agar keberadaan sukarelawan bisa berdampak pada pilihan parpol, sukarelawan tidak boleh berhenti pada deklarasi. Terlebih jika telah muncul passion politik, kerja-kerja sukarelawan dalam jangka panjang bisa lebih murah karena ada unsur sukarela.
”Sering kali sukarelawan hanya indah di atas kertas, tidak ada unsur sukarelawan. Yang terjadi rekayasa politik, ada elite yang menghidupkan sukarelawan dan sukarelawan menjadi pion dari kepentingan besar yang ada di belakangnya,” tutur Burhanuddin.