Pergantian Panglima TNI, Profesionalisme atau Kepentingan Politik?
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan pensiun pada November ini. Nama KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Yudo Margono, dan Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman disebut-sebut calon kuat Panglima TNI baru.
Isu pergantian Panglima TNI mulai ramai diperbincangkan sejak awal tahun 2021. Padahal, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto baru pensiun pada akhir November ini. Berbagai spekulasi muncul karena Presiden Joko Widodo belum mengajukan nama calon panglima baru ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebenarnya sejak menjabat sebagai Presiden pada 2014, Jokowi sudah dua kali menetapkan calon Panglima TNI untuk disetujui DPR. Namun, kali ini penentuan calon Panglima TNI untuk menggantikan Hadi relatif alot.
Pada 2015, Presiden menunjuk Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon Panglima TNI menggantikan Jenderal Moeldoko. Usulan penggantian diajukan pada bulan yang sama Moeldoko pensiun, yakni Juli. Sempat terjadi pertentangan, kala itu, tetapi tidak sampai mengganggu karena posisi politik Presiden Jokowi masih sangat kuat.
Usulan calon Panglima TNI pada 2017, bahkan dilakukan jauh-jauh hari sebelum Gatot memasuki masa pensiun. Presiden Jokowi menetapkan Marsekal Hadi Tjahjanto yang kala itu menjabat Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sebagai calon Panglima TNI pada Desember, empat bulan sebelum Gatot pensiun.
Penggantian Panglima TNI itu pun sempat menimbulkan riak di internal TNI. Apalagi baru beberapa hari menjabat sebagai Panglima TNI, Hadi menganulir keputusan mutasi dan promosi perwira yang dilakukan Gatot. Namun riak itu akhirnya bisa diredam. Gerak langkah Hadi selalu mendapatkan dukungan politisi DPR.
Menurut informasi yang diterima Kompas, sebenarnya Presiden sudah mengantongi nama calon Panglima TNI. Menurut rencana, surat Presiden akan dikirim ke DPR pada 1 November saat pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022. Surat pengajuan calon Panglima TNI baru itu kemungkinan baru dibahas pekan kedua November karena biasanya pada pekan pertama masa persidangan baru DPR sibuk menggelar rapat-rapat internal untuk menyusun jadwal dan agenda.
Baca juga: Kepercayaan Presiden dan Jeda Waktu Penggantian Panglima TNI
Walaupun isi surat Presiden belum diketahui publik, kehadiran KSAD Jenderal Andika Perkasa di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (29/10/2021), untuk melepas Presiden Joko Widodo yang akan melawat ke luar negeri menimbulkan spekulasi baru. Sebelumnya, nama KSAL Laksamana Yudo Margono yang disebut Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai Panglima TNI dalam pidato 16 September dalam sebuah acara di Tanara, Banten, juga memicu spekulasi.
Seorang perwira tinggi yang dekat dengan Presiden mengakui, pemilihan calon Panglima TNI kali ini berlangsung alot. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian. Walaupun penunjukan Panglima TNI adalah hak prerogatif presiden, kata ”bergantian” kerap menimbulkan berbagai interpretasi. Perlu diingat, Pasal 13 Ayat (5) UU TNI ini dibuat dengan latar sejarah, pada masa Orde Baru, Panglima TNI hanya dipegang Jenderal TNI AD. Namun, istilah ”bergantian” dalam praktik tidak kemudian bergantian antar-matra, AD-AL-AU-AD-AL-AU dan seterusnya.
Namun, sedikit banyak hal ini tentu berpengaruh pada persepsi para prajurit TNI, termasuk TNI AL. Setelah perwira TNI AL Laksamana Agus Suhartono menjadi panglima 2010-2013, berturut-turut posisi itu dijabat dua kali oleh perwira tinggi TNI AD, yakni Jenderal Moeldoko dan Jenderal Gatot Nurmantyo. Dilanjutkan oleh perwira tinggi TNI AU, Marsekal Hadi Tjahjanto, selama empat tahun.
Sekarang para prajurit TNI AD memiliki persepsi bahwa kali ini adalah saatnya perwira tinggi AD yang menjadi panglima TNI. Bukan hanya karena secara proporsi jumlah prajurit TNI AD empat kali lipat TNI AL dan sepuluh kali lipat TNI AU, melainkan juga karena ada beberapa isu, seperti Papua. Kali ini, prajurit TNI AU berada di pinggir pertarungan sambil menonton saja.
Interpretasi UU yang ambigu ini juga diwarnai dengan faktor non-teknis. Bukan rahasia umum lagi, Yudo dekat dengan Panglima TNI. Hal itu setidaknya terlihat dari karier Yudo yang melesat dalam empat tahun terakhir. Beberapa bulan belakangan, Yudo juga sering mewakili Hadi dalam berbagai acara, seperti pemberangkatan Satgas Covid-19 ke Papua pada 8 September dan meninjau vaksinasi di Kalimantan pada 18 September. Sementara Andika kerap absen dalam berbagai acara yang dihadiri Hadi. Terakhir, Andika absen dalam upacara tabur bunga di TMP Kalibata menjelang HUT TNI pada awal Oktober.
Baik Andika maupun Yudo sama-sama punya kekuatan sekaligus kelemahan. Prestasi Andika ketika mengadakan latihan bersama besar-besaran dengan AS memberikan nilai tambah, bukan hanya dari sisi profesionalisme TNI, melainkan juga keseimbangan posisi Indonesia di kawasan. Namun, jika dipilih menjadi panglima, Andika hanya punya waktu satu tahun bekerja karena akan pensiun pada Desember 2022. Sementara Yudo baru pensiun pada November 2023. Namun, sebagai KSAL, Yudo memikul tanggung jawab besar akibat tenggelamnya KRI Nanggala-402 yang menelan korban 53 jiwa prajurit dan melemahkan kekuatan TNI AL.
Secara formal, beberapa kriteria bisa menyisir kandidat mana yang paling tepat. Pengamat Lab 45 yang juga mantan Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengutarakan beberapa hal. Pertama, stabilitas menjelang pemilu 2O24 menjadikan Andika sebagai kandidat terkuat. Sementara kebutuhan rotasi antar matra yang menjadikan Yudo sebagai calon paling kuat.
Lepas dari spekulasi Yudo dijagokan Hadi serta Andika mendapatkan dukungan dari PDI-P, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan ayah mertuanya, mantan Kepala BIN Hendropriyono, ada satu sosok yang juga penting. Ia adalah Panglima Kostrad Letjen Dudung Abdurachman. Sepak terjang Dudung yang akan pensiun pada November 2023 sering mendapatkan dukungan dari anggota Fraksi PDI-P DPR, seperti Tubagus Hasanuddin dan Effendi Simbolon. Dudung merupakan menantu Mayjen (Purn) Cholid Ghozali yang pernah menjadi Ketua Dewan Pembina PP Baitul Muslimin Indonesia, organisasi sayap PDI-P.
Tindakan Dudung beberapa kali menjadi sorotan, salah satunya pembuatan patung Presiden Soekarno di Akademi Militer, Magelang, saat ia menjadi Gubernur Akmil. Selain itu, saat menjabat sebagai Pangdam Jaya, Dudung juga pernah menurunkan spanduk Front Pembela Islam.
Terlepas dari panjangnya waktu yang diperlukan Presiden memutuskan calon panglima, ada garis merah terkait hubungan TNI dan politik. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin, menggarisbawahi, sistem presidensial saat ini harus berhadapan dengan multipartai di parlemen. Kondisi itulah yang membuat TNI, walau sudah 20 tahun melepas Dwi Fungsi ABRI, tetap menjadi pengungkit politik. TNI tetap menjadi alat politik presiden.
Akibatnya, kepentingan politik kerap kali, atau selalu ada di atas kepentingan profesional TNI. Apalagi, elite-elite politik di Indonesia memang sibuk dengan urusan domestik sehingga tidak memandang ada ancaman dari luar yang perlu dihadapi dengan mempersiapkan militer yang tangguh. Hal ini ditulis dengan menarik oleh Yohanes Sulaiman dalam ”What Threat? Leadership, Strategic Culture, and Indonesian Foreign Policy in the South China Sea” di jurnal Asian Politics and Policy, Oktober 2019.
Haripin mengatakan, dalam konteks politik yang ada saat ini, sulit memang untuk menjadikan TNI murni profesional. Keterlibatan militer yang masif dalam penanggulangan pandemi Covid 19 walaupun diapresiasi menjadi bukti bahwa TNI tetapi menjadi pengungkit siapa pun presidennya. Proses fit and proper test di mana calon Panglima TNI akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan anggota partai politik di DPR juga menambah nuansa politis.
Baca juga: 108 Pati Mutasi dan Promosi, Komisi I DPR : Biasa Jelang Pergantian Panglima TNI
Bagaimanapun TNI dan rakyat selalu dipandang sebagai ikan yang hidup di air. Bagaimana ikan bisa sehat kalau airnya keruh. Para perwira muda menjadi kesasar mencari gantungan politik daripada membangun profesionalisme.
Namun perlu diingat, keinginan rakyat sama dengan pesan Jenderal Soedirman. ”Pelihara TNI, pelihara angkatan perang kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik mana pun juga. Ingatlah bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk dalam tentara karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara.”