Penggunaan ”E-voting” di Pemilu Berpotensi Hilangkan Pengawasan Partisipatif
Format pungut hitung pada pemilu selama ini dinilai demokratis dan menjadi rujukan negara lain. ”E-voting” belum mendesak diterapkan pada pemilu karena justru berpotensi menghilangkan pengawasan partisipatif pemilih.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemungutan suara secara elektronik atau e-voting yang sudah diterapkan dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah dinilai belum perlu diimplementasikan pada Pemilihan Umum 2024. Selain tidak ada masalah dalam pemungutan suara secara manual, penggunaan e-voting justru dikhawatirkan menghilangkan pengawasan partisipatif dari pemilih dalam proses penghitungan suara.
Dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah di Indonesia, penggunaan teknologi e-voting sudah muali digunakan. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dalam kurun waktu 2013 hingga 2020, terdapat 1.572 desa di 23 kabupaten yang melaksanakan pilkades menggunakan e-voting. Beberapa daerah yang menerapkan e-voting antara lain Sleman, DI Yogyakarta; Mojosongo, Jawa Tengah; Barito Kuala, Kalimantan Selatan; dan Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Adapun alur pelaksanaan pilkades melalui e-voting di Sleman dimulai dengan verifikasi pemilih menggunakan kartu tanda penduduk-elektronik (KTP-el). Setiap pemilih yang telah diverifikasi akan mendapatkan kartu pintar. Petugas akan memasukkan kartu pintar ke alat yang sudah disiapkan. Setelah itu, di layar monitor di bilik suara akan muncul foto dan nomor calon lurah.
Pemilih memberikan suara untuk salah satu calon dengan menyentuh foto atau nomor calon di layar yang berada di bilik suara. Setelah proses itu berlangsung, akan muncul pertanyaan di layar untuk mengonfirmasi pilihan dari pemilih. Pada tahap ini, pemilih masih bisa mengganti calon yang dipilihnya.
Sesudah proses memilih selesai, mesin pencetak akan mencetak kartu audit yang berisi catatan calon yang dipilih oleh setiap pemilih. Setelah selesai memilih, pemilih diminta mengambil kartu audit tersebut lalu memasukkannya ke kotak audit yang telah disiapkan.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, sebelum menerapkan e-voting atau teknologi lain dalam pemilu, pastikan terlebih dahulu permasalahan yang dihadapi agar bisa menemukan teknologi yang tepat untuk digunakan. Jangan sampai penggunaan teknologi tidak berangkat dari permasalahan yang ada sehingga tidak menyelesaikan masalah atau justru menimbulkan persoalan yang baru.
”Jangan sampai hanya untuk kelihatan keren, kita memutuskan penggunaan teknologi yang maju agar tidak kalah dengan negara lain,” ujarnya di Jakarta, Senin (1/11/2021).
Menurut dia, permasalahan yang dihadapi dalam pemilu saat ini bukanlah pada tahap pemungutan dan penghitungan suara. Justru model pemungutan dan penghitungan suara secara manual di Indonesia mendapat banyak apresiasi dari negara lain karena prosesnya yang terbuka, transparan, dan partisipatif lantaran banyak orang yang ikut mengawasi sehingga hasilnya dipercaya publik.
Pilkades adalah sistem pemilihan yang sangat sederhana dan skalanya sangat kecil. Itu pun banyak yang memerlukan bantuan dari petugas saat memberikan suaranya saat e-voting. Sementara pemilu skalanya nasional dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi.
Jika tahap pemungutan dan penghitungan suara itu diubah ke e-voting, dikhawatirkan mengurangi nilai-nilai yang sudah terbangun sebelumnya dan dikhawatirkan mengurangi kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Masyarakat tidak bisa lagi mengikuti penghitungan suara secara langsung karena prosesnya dilakukan menggunakan teknologi. Sebab, dalam e-voting, suara dari pemilih langsung dihitung dan direkapitulasi melalui teknologi.
”Partisipasi publik dalam proses pengawasan penghitungan suara bisa hilang kalau memutuskan penggunaan pemungutan suara elektronik,” ucap Hadar.
Selain itu, lanjut ia, penggunaan e-voting dalam pemilu lima kotak dipastikan akan rumit karena akan ada banyak halaman dan tombol yang dibuka dan dipilih oleh pemilih. Pemilih pun akan merasa kebingungan dengan model itu dibandingkan dengan menggunakan kertas suara manual yang sudah diterapkan selama bertahun-tahun. Biayanya yang dibutuhkan juga relatif tinggi karena alat e-voting harus tersedia di setiap tempat pemungutan suara.
”Pilkades adalah sistem pemilihan yang sangat sederhana dan skalanya sangat kecil. Itu pun banyak yang memerlukan bantuan dari petugas saat memberikan suaranya saat e-voting. Sementara pemilu skalanya nasional dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi,” ujar mantan komisioner KPU ini.
Alih-alih menggunakan teknologi dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, Hadar menilai penggunaan teknologi justru diperlukan di tahap rekapitulasi suara. Sebab, dalam tahap ini masih banyak permasalahan yang dihadapi, salah satunya perlu waktu lama untuk mendapatkan hasil rekapitulasi suara. Untuk pilkada, biasanya memerlukan waktu 10 hari hingga 12 hari, sedangkan pemilihan presiden hingga satu bulan.
Selain itu, pengalaman menunjukkan, model rekapitulasi bertingkat rentan terjadi manipulasi. Dalam beberapa kasus, terjadi perubahan suara yang dihitung dari tingkat TPS ke jenjang di atasnya. Bahkan bisa menimbulkan spekulasi dan berujung pada sengketa dan konflik.
”Semakin cepat mendapatkan hasil akan lebih baik, karena tidak ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk merusak hasil pemilu,” kata Hadar.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, menuturkan, kegagalan mengidentifikasi masalah dan memilih teknologi yang tepat dalam pemilu justru menjadi paradoks karena menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, penggunaan e-voting harus berdasarkan pada permasalahan yang muncul saat proses pemungutan dan penghitungan suara.
Namun, menurut dia, pada tahap ini pun cenderung tidak ada masalah. Bahkan tahap pemungutan dan penghitungan suara di Indonesia seringkali menjadi rujukan dunia internasional karena dianggap paling demokratis. Sebab, pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara, tetapi juga ikut menyaksikan proses penghitungan suara.
”Kehadiran pemilih di TPS saat tahap penghitungan suara secara tidak sadar terjadi proses pemantauan partisipatif yang dilakukan oleh pemilih sekaligus mengurangi potensi pelanggaran pemilu dalam tahap penghitungan suara,” ujar Heroik.
Penggunaan teknologi, menurut dia, sebaiknya dilakukan secara bertahap. Di Filipina, misalnya, penghitungan secara elektronik atau e-counting dimulai dari satu daerah terkecil untuk melihat kredibilitas, kualitas, dan akurasi hasil mesin dalam membaca suara pemilih.
Penggunaannya pun harus memiliki legitimasi yang kuat dari partai politik, peserta pemilu, legislatif, eksekutif, dan penyelenggara pemilu. Banyak pengalaman di beberapa negara yang menerapkan teknologi pemilu yang tidak didukung legitimasi yang kuat dari parpol cenderung mengambinghitamkan teknologi saat terjadi perselisihan hasil.
Anggota KPU, Arief Budiman, mengatakan, KPU telah menyiapkan peta jalan teknologi informasi dalam pemilu yang disusun hingga 2024. Ada delapan sistem yang disiapkan, yakni sistem informasi daftar pemilih (Sidalih), sistem informasi partai politik (Sipol), sistem informasi daerah pemilihan (Sidapil), sistem informasi pencalonan (Silon), sistem informasi logistik (Silog), sistem informasi dana kampanye (Sidakam), sistem informasi rekapitulasi (Sirekap), dan sistem informasi anggota KPU dan badan adhoc (Siakba).