Tuntaskan RUU Perlindungan Data Pribadi pada Masa Sidang II DPR
Hingga dua bulan menjelang berakhirnya tahun 2021, DPR baru menyelesaikan pembahasan tiga dari 37 RUU prioritas tahunan. DPR diharapkan serius menunjukkan komitmen untuk menuntaskan pembahasan RUU prioritas tahun ini.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat diminta serius menuntaskan sejumlah rancangan undang-undang yang tergolong krusial pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, termasuk RUU tentang Perlindungan Data Pribadi. Sebab, DPR hanya memiliki sisa waktu lebih kurang satu bulan untuk menuntaskan RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Komitmen penuntasan legislasi diharapkan bukan menjadi seremoni dan formalitas belaka saat pembukaan masa sidang.
DPR menggelar rapat paripurna pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (1/11/2021). Dalam pidatonya, Ketua DPR Puan Maharani mengungkapkan komitmen parlemen untuk menuntaskan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Dari catatan Kompas, saat ini ada 37 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Namun, baru dua yang disahkan pada 2021, yakni RUU Otonomi Khusus Papua dan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Puan mengatakan, DPR akan melanjutkan penyelesaian Prolegnas Prioritas 2021. Saat ini sejumlah RUU sudah masuk pembahasan tingkat I dan terdapat juga peraturan pelaksanaan undang-undang yang membutuhkan pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah.
”Penyelesaian pembahasan RUU prioritas Prolegnas 2021 agar dapat menjadi perhatian bersama antara DPR dan pemerintah karena hal tersebut akan menjadi salah satu tolok ukur rakyat dalam menilai kinerja Program Legislasi Nasional,” katanya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga menyebut sebuah RUU merupakan upaya dalam pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional untuk dapat menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia. Selain itu, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
”DPR RI dan pemerintah dituntut agar dapat membuat norma hukum di dalam undang-undang yang dapat memenuhi kebutuhan hukum nasional, melindungi seluruh rakyat, memenuhi rasa keadilan, menjamin ketertiban dan kepastian hukum, serta mewujudkan kesejahteraan rakyat,” katanya.
Saya kira waktu yang sangat terbatas dan beban Prolegnas yang sangat banyak itu membuat target dan rencana yang disampaikan oleh Ketua DPR terlihat sebagai formalitas saja.
Puan juga memberikan catatan mengenai penyusunan Prolegnas Prioritas 2022. Penyusunan itu harus dilakukan secara cermat dan memiliki dasar pertimbangan dan tingkat kebutuhan hukum yang tinggi. Pembahasan RUU perlu juga mempertimbangkan mekanisme dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih menjadi tantangan bagi DPR dan pemerintah.
”Dalam menjalankan fungsi legislasi untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum nasional, DPR tetap memiliki komitmen yang tinggi untuk membahas RUU secara transparan, terbuka terhadap masukan publik, menyerap aspirasi masyarakat, serta dilaksanakan dengan memenuhi tata kelola pembahasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Tidak realistis
Dengan masa sidang yang pendek, DPR dipandang akan kesulitan menuntaskan sisa 35 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021. Kemungkinan yang paling realistis ialah DPR fokus menuntaskan satu atau dua RUU yang sangat krusial. Salah satunya yang perlu disegerakan ialah RUU PDP.
”Saya kira waktu yang sangat terbatas dan beban Prolegnas yang sangat banyak itu membuat target dan rencana yang disampaikan oleh Ketua DPR terlihat sebagai formalitas saja. Artinya, yang penting bisa sampaikan pesan di awal masa sidang, tanpa mempertimbangkan realistis ataukah tidak waktu yang tersedia untuk menyelesaikan beban Prolegnas yang masih sangat banyak,” kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.
Pesan untuk menuntaskan RUU dalam Prolegnas prioritas tahunan itu pun selalu diulang-ulang pimpinan DPR setiap awal masa sidang. Tetapi, menurut Lucius, belum terlihat upaya DPR untuk mencari solusi terbaik guna memastikan pencapaian kinerja legislasi itu bisa lebih meningkat.
Dengan sisa waktu yang ada, praktis hanya satu atau dua RUU yang mungkin dapat dikejar penyelesaiannya oleh DPR. Selain RUU PDP yang tinggal menemukan titik temu antara pemerintah dan DPR mengenai otoritas perlindungan data pribadi, ada pula RUU Penanggulangan Bencana yang telah berproses cukup lama di DPR.
Dengan fokus pada penyelesaian dua RUU krusial itu, menurut Lucius, akan membuat target kinerja DPR lebih realistis. ”Sisanya, sekitar 33 RUU lainnya, mau tidak mau harus dituntaskan pada 2022,” ujarnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Nasdem Willy Aditya menyadari banyaknya kritikan dialamatkan kepada DPR karena masih banyaknya RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 yang belum tuntas disahkan. Namun, ia menilai, hal itu tidak bisa sepenuhnya dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai kinerja DPR.
Ia menilai, tugas pembentukan legislasi DPR ini juga harus bergeser. Dulu, penyusunan RUU menjadi tuntutan besar dari publik di era Reformasi karena banyaknya persoalan payung hukum di era demokratisasi. Namun, kini sudah banyak UU yang dibuat sehingga perlu ada semacam perubahan paradigma dalam pembentukan RUU.
”Kami mencoba untuk membuat lebih banyak lagi omnibus law, yang bisa menyinkronisasi banyak UU itu dalam satu tujuan kebijakan tertentu. Dengan demikian, tidak ada banyak UU yang dibuat dan rentan saling tumpang tindih,” katanya.
Untuk memperbaiki kinerja legislasi DPR, Willy mengatakan, sejumlah pembatasan telah dilakukan DPR sehingga penyusunan legislasi itu lebih realistis. Pertama, pembahasan suatu RUU hanya dibatasi dalam tiga kali masa sidang. Jika dalam tiga kali masa sidang tidak selesai, RUU itu dibawa kembali kepada Badan Musyawarah dan dapat diusulkan agar ditunjuk alat kelengkapan dewan (AKD) lainnya yang membahas RUU tersebut, atau RUU itu dikeluarkan dari Prolegnas prioritas.
”Kedua, kami juga membatasi agar satu komisi hanya membahas satu RUU dulu sampai selesai. Kalau sudah selesai membahas, barulah mereka dapat mengusulkan untuk membahas RUU lainnya,” ujar Willy.