Kapolri Ingatkan Keteladanan Pimpinan untuk Cegah Kekerasan Berlebihan
Kapolri meminta agar pimpinan di Polri turun langsung ke lapangan agar mengetahui apa yang dirasakan masyarakat dan anak buah. Anggota Polri juga diminta mengendalikan emosi untuk menghindari perbuatan tidak terukur.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merespons sejumlah kekerasan yang dilakukan anggota Polri selama tiga pekan terakhir, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengingatkan pentingnya keteladanan pimpinan dalam bertugas. Reformasi kultural juga perlu terus dilakukan agar budaya kekerasan bisa benar-benar hilang dari kepolisian.
Hal itu disampaikan Listyo saat menutup pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri Dikreg ke-30, Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimen) Polri Dikreg ke-61, dan Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama (Sespimma) Polri Angkatan ke-66 di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021).
Pada kesempatan itu, ia pun meminta agar perwira lulusan harus bisa menjadi pemimpin yang mengayomi dan melayani, baik bagi warga maupun anggotanya. Masyarakat dan anggota merupakan prioritas pimpinan Polri dalam bertugas. ”Jangan hanya memerintah, tetapi tidak tahu kesulitan. Ini menjadi masalah,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Kamis (28/10/2021).
Oleh kerena itu, lanjutnya, pimpinan Polri hendaknya memiliki sifat dan sikap yang kuat, menguasai lapangan, dan mampu bergerak cepat. Pimpinan juga harus peka terhadap perubahan, berani keluar dari zona nyaman, serta senantiasa menyerap aspirasi masyarakat dan anggota secara langsung.
”Turun langsung ke lapangan, agar tahu apa yang dirasakan masyarakat dan anak buah. Jaga emosi, jangan terpancing. Emosi mudah meledak akan mengakibatkan perbuatan yang tidak terukur. Apalagi diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka tindakan tersebut akan berpotensi menjadi masalah,” kata Listyo.
Ia menambahkan, pemimpin yang mampu menjadi teladan sebenarnya sudah terkandung dalam konsep Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang ia usung sejak diangkat menjadi Kapolri awal tahun 2021. Jika diimplementasikan dengan baik, Polri diyakini bisa menjadi institusi yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap kepolisian beberapa bulan lalu. Namun, penurunan kembali terjadi pada Oktober.
Listyo menekankan bahwa permasalahan yang ada di internal Polri terjadi karena pimpinan yang bermasalah atau tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya. Untuk itu, para pimpinan perlu memulai bersikap profesional.
Salah satu penurunan itu terlihat dari survei Litbang Kompas pada awal Oktober 2021. Dari 1.200 responden yang menjawab pertanyaan secara terbuka, 77 persen menyatakan citra baik kepolisian. Persentase ini turun dibandingkan survei serupa pada April 2021, citra baik Polri mencapai 78,7 persen.
”Survei di awal Oktober kita turun, karena adanya penyimpangan anggota yang viral dengan cepat, dengan didukung perkembangan teknologi informasi. Ketika banyak anggota yang viral, maka menjadi koreksi bagi kita,” ucap Listyo.
Mengutip peribahasa ”ikan busuk mulai dari kepala”, Listyo menekankan bahwa permasalahan di internal Polri terjadi karena pimpinan yang bermasalah atau tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya. Untuk itu, para pimpinan perlu memulai bersikap profesional.
Ia juga memastikan untuk melaksanakan mekanisme reward and punishment secara optimal. Polisi yang telah bertugas secara baik akan diberikan reward, sedangkan sanksi tegas akan diberikan kepada personel yang melanggar peraturan, termasuk mereka yang duduk di posisi pimpinan.
”Terhadap anggota yang melakukan kesalahan dan berdampak kepada organisasi, maka jangan ragu melakukan tindakan. Kalau tak mampu membersihkan ekor, kepalanya akan saya potong. Ini semua untuk kebaikan organisasi yang susah payah berjuang. Menjadi teladan, pelayan, dan pahami setiap masalah dan suara masyarakat agar kita bisa ambil kebijakan yang sesuai,” paparnya.
Selama tiga pekan terakhir, publik terus menyorot kepolisian, terutama di media sosial. Hal ini bermula dengan kemunculan tagar #PercumaLaporPolisi, yang dipicu oleh pemberitaan penanganan kasus kekerasan seksual pada tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, oleh kepolisian yang diduga tidak dilakukan secara profesional. Keriuhan di jagat maya semakin besar seiring dengan viralnya video kekerasan yang dilakukan polisi saat menertibkan demonstrasi mahasiswa di Kabupaten Tangerang, Banten, serta penganiayaan oleh polisi lalu lintas terhadap pengendara motor di Deli Serdang, Sumatera Utara. Viral pula persoalan penanganan kasus kekerasan di Polsek Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, yang tidak dilakukan secara profesional.
Merespons tiga peristiwa kekerasan itu, Kapolri mengirimkan Surat Telegram Nomor: ST/2162/X/HUK.2.8/2021 kepada seluruh kapolda pada 18 Oktober 2021. Isi surat itu meminta seluruh kapolda memitigasi kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh anggota Polri. Para kapolda diminta mengambil alih kasus kekerasan berlebihan dan memastikan penanganannya secara transparan. Selain itu juga, kapolda diminta memberi sanksi tegas kepada personel yang melanggar peraturan.
Namun, kontroversi kekerasan oleh aparat belum berhenti. Pada Kamis (21/10/2021), kembali viral video kekerasan yang dilakukan Kapolres Nunukan terhadap bawahannya karena kesalahan teknis saat mengikuti acara daring. Polisi di Polsek Kutalimbaru, Sumatera Utara, juga diduga memerkosa istri seorang tersangka kasus narkoba yang tengah ditangani.
Reformasi kultural
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan, Polri merupakan instansi publik yang memiliki jumlah personel, kewenangan, anggaran, dan kiprah yang juga besar. Konsekuensinya, seluruh tindakan polisi akan terus diawasi masyarakat. Bukan hal yang aneh, jika perilaku buruk mereka pun dikompilasi kemudian disebarkan di dunia maya.
Dengan populasi Polri yang besar dan peran yang luas, kata Adrianus, potensi adanya anggota yang bertindak tidak sesuai aturan juga semakin besar. Dalam konteks itu, pengawasan terhadap perilaku anggota harus diperkuat.
Selain itu, ia menduga kekerasan berlebihan yang terjadi merupakan buah dari modelling, hasil dari mencontoh perbuatan senior atau atasan yang tidak ditindak tegas. ”Saya menduga, ada elemen kultur kepolisian yang belum berubah sejak reformasi Polri dimulai tahun 2002,” ujar Adrianus.
Oleh karena itu, lanjutnya, keberlanjutan reformasi kultural di internal kepolisian penting untuk diteruskan agar budaya kekerasan benar-benar hilang.
Saya menduga, ada elemen kultur kepolisian yang belum berubah sejak reformasi Polri dimulai tahun 2002. (Adrianus Meliala)
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti menambahkan, reformasi kultural Polri memang harus terus digelorakan agar setiap polisi melaksanakan tugas secara profesional, mandiri, humanis, dan menghormati hak asasi manusia. Hal itu perlu diiringi dengan keteladanan pemimpin, serta mekanisme reward and punishment yang proporsional.
”Polisi tunduk pada sanksi pidana, etik, dan disiplin. Jika diduga ada pelanggaran pidana, misalnya melakukan kekerasan berlebihan, harus diproses pidana dan etik. Jangan hanya diproses etiknya dan hukumannya ringan. Hal itu akan menyebabkan pengulangan karena tidak ada efek jera,” kata Poengky.
Selain itu, penekanan perspektif HAM pada pendidikan dan latihan Polri perlu terus diulang. Hal ini sebenarnya sudah tertera dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Namun, edukasi, sosialisasi, dan praktiknya masih perlu dioptimalkan.
Terkait pengawasan internal, kata Poengky, Kompolnas pernah mengusulkan penguatan dengan cara menaikkan pangkat satu tingkat pada posisi Inspektur Pengawasan Daerah, menjadi bintang satu dan bertanggung jawab langsung di bawah Inspektur Pengawasan Umum Polri. Penggunaan teknologi seperti kamera tubuh (body camera) juga penting untuk memantau kepatuhan polisi saat bertugas di lapangan.