MK: Pemutusan Akses Internet oleh Pemerintah Legal dan Konstitusional
Menurut pertimbangan hakim konstitusi, pemutusan akses internet merupakan peran pemerintah mencegah penyebarluasan informasi yang dilarang UU. Namun, dalam putusan ini dua hakim menyatakan pendapat berbeda.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi memutuskan pemblokiran akses internet oleh pemerintah merupakan tindakan konstitusional. Putusan ini dikhawatirkan akan melegalisasi pemutusan akses internet sepihak dari pemerintah tanpa penjelasan transparan kepada publik.
Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 itu dibacakan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/10/2021). Pemohon, yaitu Aliansi Jurnalis Independen dan wartawan situs berita suarapapua.com, Arnoldus Belau, meminta MK menguji konstitusionalitas Pasal 40 Ayat 2b UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemohon meminta agar MK membatalkan pasal tesebut sepanjang tidak dimaknai bahwa pemutusan akses internet dilakukan setelah pemerintah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara (KTUN) secara tertulis.
”Pemutusan akses internet merupakan wujud dari peran pemerintah dalam melakukan pencegahan atas penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang UU,” ujar hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.
Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 40 Ayat (2b) UU No 19/2016, tidak menjelaskan secara rinci kategori dan klasifikasi informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum. Tidak jelasnya rumusan norma itu membuat kebijakan pemutusan akses internet tidak transparan dan akuntabel. Pemerintah dianggap menerapkan kebijakan sepihak yang melanggar hak masyarakat atas informasi. Sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Rights, hak atas informasi masuk dalam instrumen hak asasi manusia (HAM).
Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 40 Ayat (2b) UU No 19/2016, tidak menjelaskan secara rinci kategori dan klasifikasi informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum. Tidak jelasnya rumusan norma itu membuat kebijakan pemutusan akses internet tidak transparan dan akuntabel.
Namun, dalam pertimbangannya, mahkamah berpandangan kategori dan klasifikasi mengenai informasi elektronik atau dokumen elektronik itu sudah diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Tata cara normalisasi terhadap pemutusan akses internet yang bermuatan konten ilegal juga diatur di Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.
”Pemerintah telah menyediakan dasar hukum beserta produk hukum dalam tata cara pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum serta tata cara normalisasinya,” kata Hakim Enny Nurbaningsih.
Pemohon juga berpandangan dalam melakukan kebijakan pemadaman internet, pemerintah seharusnya berkewajiban menerbitkan KTUN secara tertulis sebelum memutus akses. Pemutusan akses hanya dapat dilakukan dengan restu putusan pengadilan agar dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya. Tanpa KTUN, pemohon menilai pemerintah bisa bersikap berwenang-wenang memutus akses internet atau situs berita tertentu. Ini bertentangan dengan jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Mahkamah berpandangan, tindakan pemerintah adalah bentuk kewajiban administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Masyarakat yang merasa dirugikan dengan tindakan pemerintah dapat mengajukan upaya hukum keberatan di pengadilan. Internet dinilai hakim merupakan wadah komunikasi digital dengan karakteristik penyebaran informasi yang sangat cepat, luas, dan masif.
Apabila informasi yang bermuatan melanggar hukum telah diakses sebelum pemblokiran, dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif. Ini dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan, keresahan, dan mengganggu ketertiban umum. Virtualitas internet dikhawatirkan memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan masif tersebar dengan cepat di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Oleh karena itu, tidak mungkin pemerintah menerbitkan KTUN secara tertulis sebagaimana petitum pemohon.
”Untuk itu diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh pemerintah untuk sesegera mungkin mencegah dengan pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum,” terang Enny.
Meskipun MK menolak permohonan AJI dan kawan-kawan, dua hakim konstitusi yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra menyatakan pendapat berbeda. Saldi Isra menyatakan, pemutusan akses internet merupakan sebuah prosedur yang berhak ditempuh pemerintah dalam melakukan pencegahan terhadap penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.
Prosedur itu berhubungan dengan hak atas informasi yang dimiliki warga negara sebagaimana diatur di Pasal 28F UUD 1945. Oleh karena itu, prosedur pemblokiran akses internet harus memperhatikan hak-hak atas informasi warga negara sebagai salah satu hak asasi manusia.
”Meski memiliki wewenang, prosedur yang harus ditempuh pemerintah dalam melakukan akses informasi dan/atau dokumen elektronik harus pula diatur secara pasti agar peluang penyalahgunaan wewenang dalam pemutusan akses internet tidak terjadi, atau setidak-tidaknya dapat dikurangi,” kata Saldi.
Saldi juga menjelaskan, penjelasan secara tertulis kepada publik terkait pemutusan akses internet adalah bagian dari etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas proses dapat menjadi mekanisme checks and balances agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Seiring dengan semakin menguatnya negara dalam menjalankan kewenangan, potensi penyalahgunaan kekuasaan juga akan meningkat. Penjelasan secara tertulis dalam memutus akses internet dianggap cukup untuk mempertanggungjawabkan akuntabilitas pemerintah kepada publik.
Meski memiliki wewenang, prosedur yang harus ditempuh pemerintah dalam melakukan akses informasi dan/atau dokumen elektronik harus pula diatur secara pasti agar peluang penyalahgunaan wewenang dalam pemutusan akses internet tidak terjadi, atau setidak-tidaknya dapat dikurangi. (Saldi Isra)
”Kewajiban pemerintah tidaklah harus sama dengan yang dimohonkan pemohon berupa penerbitan keputusan administrasi pemerintah atau keputusan tata usaha negara secara tertulis. Tetapi cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik,” terang Saldi.
Terhadap putusan tersebut kuasa hukum pemohon, M Busyrol Fuad, kecewa. Menurut dia, pertimbangan yang dibuat oleh KM dangkal. Padahal, MK terdiri dari sembilan negarawan yang seharusnya lebih peka, dan bisa mengelaborasi pengaturan tata kelola internet di Indonesia. Jika MK lebih serius, pertimbangan bisa menjadi rujukan pembaruan kebijakan tata kelola internet nasional.
”Kami kecewa karena MK tidak menggunakan perbandingan praktik hukum di negara lain untuk membuat pertimbangan. Walaupun permohonan kami ditolak oleh MK, kami berharap ada pertimbangan filosofis yang bisa menjadi rujukan atau rekomendasi kebijakan tata kelola internet. Nyatanya, hal itu tidak terjadi,” terang Busyrol.
Busyrol juga menyayangkan argumentasi MK soal tidak diperlukannya KTUN sebelum pemutusan akses internet. MK hanya mempertimbangkan aspek kecepatan penyebaran informasi elektronik yang bermuatan hukum. Artinya, MK hanya melihat internet sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan semata. Padahal, sisi positif internet juga bisa memberdayakan masyarakat. Internet telah menjadi media bagi masyarakat untuk menyuarakan kebebasan berekspresi, berpendapat, berkarya, hingga berbisnis.
”MK tidak konsisten dalam putusannya, di satu sisi hakim yang dissenting opinion menyebut internet adalah hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka menilai internet adalah media untuk menyebarkan informasi dan dokumen elektronik yang melanggar hukum,” kata Busyrol.
Sementara itu, Ketua AJI Sasmito Madrim mengatakan, pasca-putusan ini, pemutusan akses internet sepihak oleh pemerintah menjadi legal. Pemerintah bisa membuat kriteria sendiri terkait situs, konten, yang dapat diblokir karena dianggap bermuatan melanggar hukum. Pemerintah dapat secara subyektif menyatakan bahwa konten tersebut melanggar hukum. Tahun 2019, situs berita suarapapua.com diblokir karena dianggap bermuatan separatisme. Selanjutnya, situs lainnya pun dapat diblokir secara sepihak. Ini dinilai sebagai ancaman serius bagi demokrasi karena pemerintah gagal melindungi hak-hak digital warga negara.
”Norma di pasal UU ITE ini sangat buram. Bisa dipastikan nanti pelaksanaan di lapangan juga akan multitafsir dan subyektif. Ini bisa mengancam pers dan demokrasi secara umum,” kata Sasmito.