Mengejar Tuah Elektoral Para Tokoh Potensial Capres
Saat ini para tokoh potensial capres dengan elektabilitas tinggi jadi magnet bagi parpol. Ada kemungkinan parpol beranggapan, dengan mengundang para tokoh berelektabilitas itu, popularitas parpol bisa ikut terkerek.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Antonius Ponco Anggoro
·7 menit baca
Partai politik kian sering mengundang dan berjumpa dengan tokoh-tokoh yang kerap dipilih oleh publik dalam beragam survei calon presiden. Meski dibungkus beraneka cara, di balik itu ditengarai ada kepentingan partai politik untuk meningkatkan elektabilitasnya guna menghadapi Pemilu 2024. Akankah menuai hasil?
Awal pekan lalu, Minggu-Senin (17-18/10/2021), empat gubernur diundang dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar di Pondok Pesantren Fadhlun Fadhlan, Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Dari keempat gubernur yang diundang, hanya Ganjar yang tidak hadir. Ganjar seperti diketahui merupakan kader partai dari PDI Perjuangan, berbeda dengan tiga gubernur lainnya yang tak tergabung dalam partai politik apa pun.
Di hadapan ratusan alim ulama dan kader PPP yang hadir, ketiga gubernur mempresentasikan program-program membangun di daerahnya, termasuk langkah mengatasi problem yang ada, sesuai dengan tema acara, ”Membangun dari Daerah”. Namun, tak sebatas itu, banyak pula pujian dan masukan bagi PPP diselipkan dalam pemaparan mereka agar PPP ke depan lebih dipercaya publik.
Kehadiran para gubernur itu tak pelak menjadi perhatian publik. Media massa pun tak surut memberitakannya. Pasalnya, para gubernur merupakan tokoh yang paling sering dipilih publik dalam berbagai survei calon presiden. Elektabilitas beberapa di antaranya terbilang tinggi. Hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2021, misalnya, menempatkan Ganjar Pranowo di posisi teratas bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan elektabilitas 13,9 persen, diikuti Anies Baswedan dengan elektabilitas 9,6 persen dan selanjutnya Ridwan Kamil (5,1 persen).
Terlebih muncul spekulasi bahwa diundangnya para gubernur sebagai bagian dari penjajakan PPP untuk calon presiden-calon wakil presiden yang akan diusung PPP pada Pemilu Presiden 2024. Spekulasi yang membuat gelaran munas alim ulama itu semakin menarik untuk disimak.
Kehadiran para gubernur itu tak pelak menjadi perhatian publik. Media massa pun tak surut memberitakannya. Pasalnya, para gubernur merupakan tokoh yang paling sering dipilih publik dalam berbagai survei calon presiden.
Munas alim ulama merupakan salah satu elemen penting dalam PPP. Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PPP, munas alim ulama digelar salah satunya untuk membicarakan dan memutuskan nasihat dan arahan yang bersifat keagamaan untuk Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP, pemerintah, dan umat Islam secara keseluruhan. Munas alim ulama diselenggarakan oleh DPP PPP dan diadakan paling sedikit satu kali dalam satu periode kepengurusan.
Sorotan publik dan media pada kehadiran para gubernur, disertai ”bumbu” spekulasi, otomatis ”mengalir” pula pada PPP. Partai yang pada Pemilu 2019 menempati posisi terbawah dari sisi raihan suara ataupun kursi di DPR, di antara sembilan partai politik yang lolos ambang batas parlemen, ikut-ikutan tenar. Popularitas PPP ikut terangkat selama gelaran dua hari munas alim ulama.
Namun, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani saat dihubungi, Selasa (19/10/2021), mengatakan, diundangnya para gubernur karena para alim ulama PPP ingin mengetahui bagaimana mereka menjalankan amanat sebagai kepala daerah. Para alim ulama disebutnya mengikuti dinamika politik yang menyangkut keempat gubernur, juga sejumlah menteri, yang sudah mulai disebut-sebut sebagai tokoh potensial capres-cawapres pada 2024.
”Maka, tidak terhindarkan banyak di antara alim ulama memanfaatkan momen munas untuk melihat kapasitas dan kepribadian mereka,” tambahnya.
Bisa jadi, lanjut Arsul, tindak-tanduk mereka selama munas direkam oleh alim ulama. ”Nanti kalau sudah mendekati pilpres baru dikeluarkan (rekomendasi),” ujarnya.
Salah satu dari lima rekomendasi yang dihasilkan dari munas alim ulama adalah pencalonan presiden-wapres yang diusung PPP harus memperhatikan aspirasi semua pemangku kepentingan di PPP, termasuk masukan dari para alim ulama.
Berselang dua pekan sebelum Munas Alim Ulama PPP, persisnya pada 3-6 Oktober 2021, Partai Amanat Nasional (PAN) telah lebih dulu mengundang sejumlah tokoh potensial capres untuk hadir dalam Workshop Nasional PAN di Nusa Dua, Bali. Sama seperti PPP, tokoh yang diundang adalah Anies, Ganjar, Kamil, dan Khofifah. Selain keempatnya, diundang pula Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir yang namanya juga kerap dipilih responden dalam berbagai survei capres.
Berselang dua pekan sebelum Munas Alim Ulama PPP, persisnya pada 3-6 Oktober 2021, Partai Amanat Nasional (PAN) telah lebih dulu mengundang sejumlah tokoh potensial capres untuk hadir dalam Workshop Nasional PAN di Nusa Dua, Bali.
Terkecuali Ganjar, para tokoh lainnya hadir memenuhi undangan. Setiap figur pun diberi kesempatan untuk berbicara di hadapan kader PAN yang hadir dari berbagai penjuru Nusantara. Program masing-masing sebagai pejabat publik dipaparkan. Tak lupa puja-puji dan masukan bagi PAN.
Sama seperti Munas Alim Ulama PPP, sorotan publik dan media terhadap kehadiran para figur dengan elektabilitas tinggi itu turut ”mengalir” pada PAN. Pada Pemilu 2019, raihan suara ataupun kursi di DPR untuk PAN hanya satu tingkat lebih baik dari PPP. PAN berada di peringkat ke-8 dengan raihan suara 9,5 juta pemilih dan 44 kursi di DPR atau merosot dari peringkat ke-5 pada Pemilu 2014.
Namun, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menepis diundangnya para figur itu sebagai bagian dari strategi untuk mendongkrak elektabilitas partai, apalagi bagian dari penjajakan calon untuk Pilpres 2024. Menurut Viva, mereka diundang untuk memaparkan pengalaman, hambatan, tantangan, dan keberhasilan saat menjadi pejabat publik. Tak ada kaitannya dengan Pilpres 2024 (Kompas.id, 10/10/2021).
Jauh sebelum dua agenda partai tersebut, publik lebih dulu melihat perjumpaan-perjumpaan elite parpol dengan tokoh-tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi. Perjumpaan pun dibungkus dengan beragam cara, yang jelas bukan acara politik. Akhir September lalu, misalnya, Kamil bertemu elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS), antara lain Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al’Jufrie, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan Sekretaris Jenderal PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi. Mereka bertemu dalam acara panen raya dan sarasehan dengan petani di Karawang, Jawa Barat.
Pertengahan Mei lalu, Anies juga bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan beserta elite PAN lainnya. Pertemuan disebutkan hanya membicarakan seputar isu-isu nasional, salah satunya soal menghadapi pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya melihat, saat ini para tokoh potensial capres dengan modal elektabilitas tinggi yang dimilikinya menjadi magnet bagi parpol. Bisa jadi parpol beranggapan, dengan mengundang atau bertemu para tokoh berelektabilitas itu, parpol akan ikut-ikutan populer. Terungkitnya popularitas dianggap sebagai jalan untuk menjaring lebih banyak calon pemilih memilih parpol tersebut. Dengan kata lain, bisa meningkatkan elektabilitas parpol.
Apalagi dengan kondisi kebanyakan parpol defisit kader berelektabilitas tinggi. Ditambah lagi, hasil survei sejumlah lembaga yang menunjukkan banyak parpol masih di bawah ambang batas parlemen. PAN beserta PPP di antaranya. Maka, kehadiran atau pertemuan dengan para tokoh potensial capres jadi peluang emas bagi parpol untuk menggenjot elektabilitas.
Selain itu, bisa jadi upaya parpol itu merupakan upaya pendekatan parpol ke para tokoh potensial capres. Seperti diketahui, banyak tokoh tak tergabung dengan parpol apa pun. Dengan kondisi ini, jadi kesempatan parpol untuk ”meminang” mereka dan menjadikan mereka kader parpol. Jika berhasil, keuntungan besar bagi parpol. Kehadiran mereka bisa mengungkit elektabilitas parpol. Terlebih jika parpol berhasil meyakinkan parpol lain untuk mengusung figur itu menjadi capres-cawapres.
”Di titik itulah efek ekor jas (hubungan positif antara kekuatan elektoral capres atau cawapres dan parpol pengusungnya) akan menghasilkan. Efek ekor jas akan terasa kepada partai ketika sosok tersebut menjadi kader partai-partai tersebut. Tidak bisa hanya dengan melalui satu atau dua acara kedatangan atau bertemu tokoh potensial capres menaikkan elektabilitas partai,” tuturnya.
Apa pun itu, Yunarto mengingatkan adanya risiko dari strategi parpol bertemu atau mengundang tokoh potensial capres. ”Harus hati-hati. Kalau mereka yang diundang dianggap konstituennya tak sesuai karakter parpol, tak sesuai ideologi partai, malah bisa blunder,” ujarnya.
Begitu pula pada para tokoh potensial capres. ”Jangan sampai dinilai sebagai job seeker untuk menjadi capres. Itu bisa menurunkan kredibilitas mereka. Yang tadinya dilihat sebagai kepala daerah atau menteri berprestasi, tetapi ketika lebih banyak melakukan aktivitas politik, apalagi dianggap sebagai job seeker, itu bisa menurunkan kredibilitas,” jelasnya.
Pemilu masih jauh. Akan lebih baik, menurut Yunarto, jika para tokoh potensial capres tersebut fokus dengan pekerjaan masing-masing sehingga meninggalkan legacy sebagai menteri atau kepala daerah berprestasi. Jika hal itu yang ditempuh, kesempatan menjadi capres diyakini akan terbuka dengan sendirinya. ”Partai-partai pasti akan melirik,” kata Yunarto.