Usut Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli
Dewas KPK diminta tak terburu-buru menolak laporan terbaru terkait dugaan pelanggaran etik oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli. Laporan seharusnya dicek dulu sebab jika tidak, Dewas bisa dianggap melakukan pembiaran.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan dugaan pelanggaran etik terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar dalam perkara bekas Bupati Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, hendaknya disikapi sesuai prosedur standar operasi oleh Dewan Pengawas KPK. Jika laporan tersebut sudah dimentahkan sebelum pemeriksaan awal, Dewan Pengawas bisa dinilai telah melakukan pembiaran.
Berdasarkan surat pengaduan dugaan pelanggaran etik dan perilaku terhadap Lili Pintauli yang dikirim oleh eks penyidik senior KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata, kepada Dewas KPK, Kamis (21/10/2021), Lili disebut berkomunikasi dengan salah satu kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Labuhanbatu Utara 2020, bernama Darno.
Dalam laporan tersebut tertulis, Darno meminta Lili untuk mempercepat eksekusi penahanan bekas Bupati Labuhanbatu Utara Khairuddin Syah Sitorus, yang saat itu menjadi tersangka KPK. Percepatan penahanan diharapkan dapat menjatuhkan suara calon lain di pilkada, yaitu Hendri Yanto Sitorus, anak Khairuddin.
Sehari setelah laporan itu dilayangkan, anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, mengatakan Dewas telah menerimanya. Namun, materi laporan dianggap sumir karena perbuatan Lili yang diduga melanggar etik tidak dijelaskan. Isi komunikasi Lili dengan kontestan Pilkada Labuhanbatu Utara 2020 pun dinilai kurang jelas.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto saat dihubungi di Jakarta, Minggu (24/10/2021), menyayangkan sikap Dewas yang telah mementahkan laporan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran etik Lili. Seharusnya, sesuai tugas dan fungsi Dewas, dugaan pelanggaran etik itu dilakukan proses pra-pemeriksaan dan diverifikasi terlebih dahulu berdasarkan alat bukti yang telah disampaikan pelapor.
”Lha, kalau laporan tidak pernah diperiksa, tidak pernah diproses, lalu serta-merta dikomentari atau bahkan ditolak, itu, kan, sesuatu yang sangat terburu-buru dan menunjukkan tidak imparsialitas dari Dewas,” ujar Aan.
Selain itu, Dewas bisa dinilai melakukan pembiaran dan menyalahi prosedur. Sebab, mengacu pada Pasal 37B Undang-Undang KPK, Dewas memiliki tugas dan fungsi menerima, menindaklanjuti, dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan atau pegawai KPK.
Kalaupun substansi laporan dianggap lemah, beban pembuktian ada di Dewas melalui proses pemeriksaan lanjutan, bukan malah mementahkan laporan masyarakat di awal. ”Jadi, masyarakat jangan dibebani pembuktian. Ada informasi sedikit, apa pun itu, ya, didalami. Dewas harus fair. Ini, kan, tentu semangatnya ingin agar marwah KPK terjaga. Jika belum-belum sudah ditolak, rakyat tidak akan percaya lagi kepada Dewas karena akan dianggap tebang pilih dalam menindaklanjuti laporan,” katanya.
Tidak bersikap reaktif
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, pun menilai Dewas seharusnya memeriksa terlebih dulu setiap pengaduan dari masyarakat yang masuk sebelum menyatakan laporan sumir atau tidak. Laporan dianggap sumir atau tidak, atau dapat ditindaklanjuti atau tidak, harus berbasiskan pemeriksaan awal dan diputuskan bersama dalam Dewas KPK.
Sebelum keputusan diambil, lebih baik anggota Dewas KPK tak merespons berlebihan pengaduan yang masuk.
”Hemat saya, Dewas harus bersikap seperti majelis hakim lembaga peradilan. Para hakim itu tidak akan memberikan komentar di ruang publik atau media apakah sebuah perkara akan ditolak atau dikabulkan selain dalam bentuk putusan dalam sidang terbuka,” ucap Arsul.
Jika cara kerja anggota Dewas dengan memberikan pernyataan publik atas suatu aduan yang belum diputus oleh Dewas secara resmi, akan membuat anggota Dewas tak ubahnya seperti politisi yang kapan saja dituntut untuk merespons langsung di ruang publik atas satu persoalan.
Tidak terburu-buru
Sebagai pelapor, Rizka Anungnata pun berpandangan, Dewas seharusnya tidak terburu-buru menanggapi. Lagi pula, pelapor, dalam hal ini dirinya dan Novel Baswedan, belum diperiksa atau diklarifikasi atas pelaporan dimaksud.
”Sementara materi ini sudah pernah ditanyakan dalam persidangan saat saya sebagai saksi persidangan dan saya diminta melengkapi bukti-bukti terkait itu oleh majelis hakim,” ujar Rizka.
Persidangan dimaksud adalah sidang Dewas KPK yang menangani kasus dugaan pelanggaran kode etik Lili dalam perkara Wali Kota Tanjungbalai (nonaktif) M Syahrial. Bukti-bukti yang diminta pun telah diserahkannya ke sekretariat Dewas pada 12 Agustus. Dalam perkara Syahrial itu, Lili terbukti berhubungan dengan pihak yang beperkara dengan KPK, yakni Syahrial. Lili dihukum sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Secara terpisah, anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengaku belum mengetahui laporan mengenai dugaan pelanggaran etik Lili di dalam perkara Labuhanbatu Utara. ”Saya juga tahu ada surat itu dari pemberitaan di media,” ujarnya.
Ia pun berjanji, setiap laporan yang masuk akan melalui pemeriksaan awal terlebih dahulu untuk kemudian ditetapkan apakah laporan tersebut bisa dilanjutkan atau tidak. ”Ya, semuanya akan sesuai dengan SOP dan perdewas (peraturan dewas) yang ada,” ucapnya.
Kompas telah mencoba menghubungi Lili untuk meminta klarifikasi terkait laporan tersebut. Namun, telepon genggamnya mati. Pesan singkat yang dikirim pun tak berbalas.