Keterbukaan Informasi Badan Publik Baru Mencapai 24 Persen
Komisi Informasi masih menemukan banyak badan publik yang belum mengumumkan rencana kerja tahunan dan laporan keuangan. Seharusnya dua hal tersebut bisa diakses di ”website”.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·4 menit baca
DOKUMENTASI KOMISI INFORMASI PUSAT
Tingkat kepatuhan badan publik dalam keterbukaan informasi publik tahun 2020. Lebih dari 50 persen badan publik masuk kategori tidak dan kurang informatif.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Informasi Pusat atau KIP mencatat selama 2021 terdapat kenaikan keterbukaan informasi dari badan publik dibandingkan dengan tahun lalu. Meskipun demikian, masih banyak badan publik yang belum terbuka.
Data KIP menunjukkan, capaian informatif pada 2021 meningkat jadi 24,63 persen dari sebelumnya 17 persen pada 2020. Monitoring dan evaluasi pada tahun ini dilakukan pada 337 badan publik.
Kementerian memiliki persentase tertinggi dalam kepatuhan pelaksanaan Undang-Undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebanyak 70,59 persen kementerian mencapai informatif. Sementara itu, badan usaha milik negara (BUMN) menjadi badan publik yang paling rendah, yakni hanya 5,94 persen informatif.
Penanggung Jawab Monitoring dan Evaluasi (Monev) KIP Cecep Suryadi mengakui, ada banyak badan publik yang masih masuk kualifikasi tidak informatif dan kurang informatif. ”Di tahun lalu, kalau kita jumlahkan semua ada sekitar 50-an persen (badan publik) yang masih kurang dan tidak informatif,” kata Cecep dalam jumpa pers Penganugerahan Monev KIP Tahun 2021, Senin (25/10/2021), secara daring.
Penanggung Jawab Monitoring dan Evaluasi Komisi Informasi Pusat Cecep Suryadi
Cecep menjelaskan, ada empat indikator dalam penilaian monev keterbukaan informasi, yaitu pengembangan website dan digitalisasi, pengumuman informasi publik, pelayanan informasi publik, serta penyediaan informasi publik. Penyediaan informasi pada website harus memuat, antara lain, daftar informasi publik, seperti perjanjian dengan beberapa kebijakan, alasan diterbitkan kebijakan, dan profil.
Ia mengungkapkan, Komisi Informasi masih menemukan banyak badan publik yang belum mengumumkan rencana kerja tahunan dan laporan keuangan. Seharusnya, dua hal tersebut bisa diakses di website. Banyak indikator yang dipersyaratkan oleh Komisi Informasi juga belum terpenuhi sehingga badan publik tersebut masuk pada kualifikasi tidak atau kurang informatif.
Pasal 7 UU Keterbukaan Informasi Publik juga mewajibkan badan publik mengembangkan dan membangun sistem layanan informasinya sehingga inovasi dan kolaborasi menjadi penting untuk dinilai.
Belum lagi aspek inovasi dan kolaborasi yang belum terpenuhi. Cecep menegaskan, aspek tersebut harus dikembangkan dan dijaga konsistensinya untuk menjamin prinsip bahwa informasi itu harus bisa diakses dengan cara yang cepat, sederhana, berbiaya ringan, dan tepat waktu.
Ia menegaskan, Pasal 7 UU Keterbukaan Informasi Publik juga mewajibkan badan publik mengembangkan dan membangun sistem layanan informasinya sehingga inovasi dan kolaborasi menjadi penting untuk dinilai.
Instrumen dalam monitoring dan evaluasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat untuk penilaian keterbukaan informasi terhadap badan publik. Pengembangan website dan digitalisasi menjadi salah satu instrumen yang dinilai KIP.
Menurut Cecep, persoalan mental atau kultural dalam pengelolaan badan publik masih ada. Ia mencontohkan, UU Keterbukaan Informasi Publik sudah diterbitkan pada 2008 dan berlaku efektif pada 2010. Namun, hingga saat ini masih ada badan publik yang belum menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Pada 2020 lalu ada lebih dari 30 persen badan publik yang belum menunjuk PPID. Cecep menuturkan, hal tersebut menunjukkan bahwa mental atau budaya keterbukaan masih belum dipahami secara utuh oleh pimpinan badan publik. ”Ada yang menganggap bahwa keterbukaan ini dianggap akan merecoki,” kata Cecep.
Selain itu, kata Cecep, ada 60 persen badan publik pada 2020 yang juga belum menyusun daftar informasi publik yang diperbarui setiap tahun. Ia menegaskan, keterbukaan informasi akan menumbuhkan kepercayaan publik yang bermuara pada munculnya partisipasi dan kolaborasi masyarakat.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, keterbukaan informasi adalah prasyarat fundamental dalam perbaikan pelayanan publik. ”Kita tidak bisa membayangkan kepuasan yang dirasakan masyarakat, kalau kita tidak punya akses untuk menilai kualitas perencanaannya,” kata Robert.
DOKUMENTASI ORI
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng
Ia mengungkapkan, dalam UU Keterbukaan Informasi Publik sudah dijelaskan bahwa pelayanan publik wajib membuka informasi, kecuali yang dianggap khusus tidak bisa dibuka. Robert menyoroti badan publik khususnya di tingkat pemerintah daerah yang masih sedikit menggunakan website untuk menyampaikan informasi.
”Kami mendorong KIP memantau dan mengawasi website khususnya di pemerintah daerah. Pemda wajib punya website. Tingkat daerah itu hal sederhana yang belum terpenuhi,” kata Robert.
Persoalan keterbukaan informasi masih terjadi karena ada masalah kepemimpinan. Pemimpin yang tidak mendukung perubahan, dan lebih menyukai ruang gelap kekuasaan.
Selain itu, persoalan ketersediaan infrastruktur juga menjadi kendala dalam keterbukaan informasi khususnya di pemda. Ia mengungkapkan, pemda masih terkendala infrastruktur dan sumber daya manusia aparatur yang belum mencukupi.
Robert mengatakan, persoalan keterbukaan informasi masih terjadi karena ada masalah kepemimpinan. Pemimpin yang tidak mendukung perubahan, dan lebih menyukai ruang gelap kekuasaan. Sebab, keterbukaan merupakan bagian dari penegakan akuntabilitas dan transparansi pemerintahan.
Ekosistem birokrasi juga masih jauh dari program reformasi birokrasi. Kultur dan mental birokrasi yang ada saat ini belum berubah. Istilah seperti ASN berakhlak dan reformasi birokrasi hanya ada di permukan dan belum meresonansi budaya birokrasi, kerja, serta mental.
”Reformasi birokrasi tidak sekadar proses bisnis, tetapi prasyarat fundamental di kultur birokrasi itu. Kalau tidak mengubah dari kultur kekuasaan menjadi pelayan rakyat, akan sulit mengubah dirinya. Sekarang bagaimana kemudian revolusi mental diuji di birokrasi yang menjadi pintu masuk pada revolusi mental,” tutur Robert.