Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo pada kegiatan peluncuran dan ”review” buku ”Plan Bobcat, Transformasi Menuju Angkatan Udara yang Disegani”, menyatakan TNI AU butuh inovasi organisasi dan akuisisi teknologi.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi TNI Angkatan Udara agar menjadi kekuatan yang disegani di kawasan membutuhkan inovasi di bidang organisasi dan akuisisi teknologi persenjataan modern. Keduanya bersinergi untuk meningkatkan kesiapan operasi TNI AU.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo pada kegiatan peluncuran dan review buku Plan Bobcat, Transformasi Menuju Angkatan Udara yang Disegani, di kawasan di Grha Widya Dirgantara Seskoau, Lembang, Senin (25/10/2021), mengatakan, model transformasi Plan Bobcat diarahkan menjadi landasan konseptual tentang peran TNI AU di masa perang dan damai. Juga peranannya dalam konteks pertahanan, ekonomi, dan kehidupan sosial Indonesia dalam membangun postur TNI AU di masa depan.
”Plan Bobcat berfokus pada tiga pilar, yaitu perubahan pada sisi organisasi, termasuk sumber daya manusia, teknologi yang diusung serta kesiapan operasi,” ujar Fadjar.
Ia mengatakan, penguasaan teknologi diarahkan pada empat peran dasar kekuatan udara, yakni penguasaan udara, serangan udara, pengamatan dan pengintaian, serta mobilisasi udara. Terkait peranan serangan udara, TNI AU harus mengakuisisi pesawat tempur multirole, yaitu bisa untuk air superiority dan punya kemampuan air strike generasi 4.5 ke atas.
Plan Bobcat berfokus pada tiga pilar, yaitu perubahan pada sisi organisasi, termasuk sumber daya manusia, teknologi yang diusung serta kesiapan operasi.
Pesawat tempur ini harus punya kemampuan interoperabilitas dan dilengkapi persenjataan presisi. Kemampuan pertempuran udara juga mencakup sistem pertahanan udara berbasis darat baik jarak menengah, jauh, maupun dekat. ”Dengan sistem radar aktif maupun pasif,” kata Fadjar.
Dalam buku Plan Bobcat, Fadjar juga menggarisbawahi pentingnya persenjataan asimetrik matra udara dalam konteks perang berlarut yang tidak mudah terdeteksi, tapi dapat membuat kerusakan. Persenjataan ini, misalnya, swarm killer drones, kamikaze killer drones, senjata antidrone, dan senjata antipesawat yang portable. Dengan karakter geografi Indonesia, TNI AU membutuhkan sistem tangkal wilayah udara yang mengedepankan sensor strategis. Sensor ini mencakup kemampuan citra satelit, pesawat nirawak, airborne early warning and control, dan radar pada aerostat. Juga perlu pesawat pencegat yang dilengkapi senjata beyond visual range. ”Untuk mobilisasi udara kita perlu ada helikopter dan pesawat angkut berat,” kata Fadjar.
Pengamat pertahanan Kusnanto Anggoro mengatakan, masa kritis akan terjadi pada tahun 2025-2035. Perlu ada pendekatan afirmatif karena ada perbedaan antarmatra di mana TNI Angkatan Darat paling besar karena personel. Kalau hal ini terus dilakukan, modernisasi tidak akan terjadi. Oleh karena itu, ia membayangkan pengeluaran untuk tiap lima tahun ke depan diprioritaskan untuk masing-masing angkatan.
Misalnya, lima tahun pertama untuk TNI AU, dilanjutkan lima tahun berikutnya TNI AL, kemudian lima tahun TNI AD. ”Kalau begitu, kita mungkin catching up,” kata Kusnanto.
Kusnanto mengatakan, Indonesia dinilai lemah pada perang ke depan. Pertama, dari aspek komando dan pengendalian, pengalaman pertempuran, maupun latihan dan kesiapan. Demikian juga penguasaan teknologi yang khas, seperti siber dan intelijen, masih dinilai lemah.
Masa kritis akan terjadi pada tahun 2025-2035. Perlu ada pendekatan afirmatif karena ada perbedaan antar matra di mana TNI Angkatan Darat paling besar karena personel. Kalau hal ini terus dilakukan, modernisasi tidak akan terjadi.
Dosen Ekonomi Pertahanan Currie Maharani Savitri mengingatkan, kondisi geopolitik sudah berubah. Dinamika persenjataan di kawasan menunjukkan kompetisi teknologi. Selain itu, juga ada perang hibrida yang tidak mengenakan simbol militer. Menurut Currie, konflik masa depan akan terjadi di ranah maritim di mana Angkatan Laut dan Angkatan Udara akan dominan.
Meski demikian, Currie mengatakan, kalau Kementerian Pertahanan tidak kunjung mengeluarkan dokumen-dokumen strategis, seperti Buku Putih Pertahanan, sulit untuk menyusun rencana modernisasi TNI.
Sementara Andi Widjajanto menggarisbawahi kebijakan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat TNI.
Pangkoopsau III Marsda TNI Samsul Rizal, yang juga menjadi pembahas buku ini, mengatakan, perkembangan Air Power sangat pesat. Hal itu sejalan dengan perkembangan teknologi. Samsul mengatakan, generasi ketiga dari teori Air Power lebih bersifat strategis. Perang tidak lagi menghancurkan seluruh kekuatan, tetapi pada efek dari senjata presisi dan kemampuan stealth.