Perkembangan teknologi selalu membawa perubahan bagi peradaban. Namun, manusia sering kali tertatih-tatih karena gagap dalam beradaptasi.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Penggemar film Ironman tentu familier dengan pelayan Tony Stark yang bernama Jarvis. Jarvis, yang merupakan kependekan dari Just A Rather Very Intelligent System, adalah kecerdasan buatan alias artificial intelligence yang dibuat oleh Tony Stark. Jarvis kerap memberikan perhitungan, nasihat, dan peringatan atas aksi-aksi Tony Stark yang berisiko tinggi. Jarvis memiliki kemampuan perhitungan yang luar biasa sehingga bisa mengalkulasi berbagai kemungkinan. Namun, keputusan terakhir selalu di tangan Tony.
Jakarta Geopolitical Forum Ke-5 yang diadakan 21-22 Oktober lalu oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengambil tema ”Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”. Dunia tengah menghadapi perkembangan teknologi yang sangat cepat di mana internet of things (IoT), big data, dan artificial intelligence (AI) diprediksi akan mendominasi kehidupan manusia.
Gubernur Lemhannas Agus Widjojo mengatakan, baru kali ini Lemhannas tidak membahas isu-isu tentang hardpower, tetapi tentang peradaban dan kemanusiaan. Pasalnya, hasil analisis Lemhannas menunjukkan perlu ada pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi masa depan ketika teknologi makin mendominasi kehidupan. ”Menjadi kepentingan kita untuk mengidentifikasi masa depan dan mengeksplorasi untuk mendapat jawaban tentang pilihan-pilihan yang kita punya,” kata Agus.
Agus mencatat, walau banyak ketidakpastian, ada beberapa hal yang jelas harus dipersiapkan, misalnya literasi digital dan persiapan-persiapan keterampilan di masa depan ketika manusia harus bersaing dengan mesin. Justru keterampilan yang paling dibutuhkan terkait dengan hubungan antarmanusia.
Mantan Menteri Riset dan Teknologi yang kini menjabat Komisaris Utama PT Telkom, Bambang PS Brodjonegoro, mengatakan, pada 2045, Indonesia ditargetkan menjadi negara maju. Untuk itu, perlu ada kemajuan teknologi yang dikuasai sendiri oleh bangsa Indonesia. Teknologi ini adalah IoT, AI, robot, dan big data. ”Pendidikan ke depan harus bisa secara langsung membuat generasi muda Indonesia menguasai empat hal ini,” kata Bambang.
Perkembangan teknologi selalu membawa perubahan bagi peradaban. Namun, manusia sering kali tertatih-tatih karena gagap dalam beradaptasi.
Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia, misalnya, menyoroti bagaimana demokrasi yang sejatinya mengedepankan harkat setiap individu kini tereduksi. Algoritma di dunia maya membuat amplifikasi narasi yang disamakan dengan kebebasan berpikir dan berpendapat. Padahal, esensinya, justru memecah belah manusia.
Rudy Breighton dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston, AS, mengingatkan bahwa prinsip ”GIGO = Garbage in Garbage Out” tetap berlaku pada kecerdasan buatan. Proses dan hasil dari kecerdasan buatan ini tergantung dari sistem yang dibuat manusia dan data yang dimasukkan. Tidak serta-merta teknologi kecerdasan buatan menjadi solusi.
”Intinya adalah investasi di infrastruktur yang mendukung perkembangan ini, dan yang paling penting adalah investasi di sumber daya manusianya,” ujar Rudy.
”Kita jangan dulu bicarakan Ironman, tetapi arah ke situ sudah ada,” tambahnya.
Ia lalu bercerita tentang penelitian di AS tentang ekstraskeleton. Tren pasukan di AS kini mengarah pada robot, tidak lagi manusia yang dikirim ke medan perang. Sementara ekstraskeleton adalah semacam kerangka luar yang menyelubungi manusia yang dipakai sebagai tentara dengan memberikan kekuatan lebih. Seorang prajurit yang biasanya hanya bisa membawa 22-23 kilogram beban kini bisa membawa sampai 50 kilogram, sambil berlari dengan kecepatan 16 kilometer per jam.
Di dunia sipil, seperti kesehatan, teknologi kecerdasan buatan juga sudah mulai diadopsi. Dengan demikian, orang yang kehilangan pendengaran bisa mendapatkan kembali kemampuannya dengan menanamkan cip yang bisa menstimulasi otak. Demikian juga orang yang matanya rusak bisa mendapatkan mata yang baru.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengatakan, investasi secara spesifik bukan hanya pada sumber daya manusia, melainkan pada kemampuan inovasi dari manusia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kemajuan yang dihasilkan teknologi ini cenderung timpang dan menguntungkan kalangan pemodal.
Pandemi Covid-19 bisa jadi contoh bagaimana intervensi teknologi yang berlebihan pada alam malah bisa memukul balik manusia. Pada akhirnya kemanusiaanlah yang harus menguasai teknologi. Robertus mencontohkan Sarah Gilbert, ilmuwan di balik vaksin AstraZeneca yang membebaskan hak ciptanya sehingga menjadikan vaksin tersebut hadiah untuk masyarakat dunia.
Sekadar kembali sejenak pada Ironman. Salah satu dialog Tony Stark dan Jarvis terjadi saat Tony ingin terbang setinggi-tingginya. Jarvis yang siap dengan segala perhitungan menentang bosnya yang memang suka nekat ini. Alasannya, ketinggian yang dituju belum pernah dicapai sehingga tidak cukup data untuk menghitungnya. Namun, Tony dengan kemanusiaannya membantah.
”Kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak mencobanya, kan,” katanya sebelum melesat ke angkasa.