Perbaiki Kebebasan Berpendapat untuk Hadapi Masa Datang
Kualitas kebebasan berpendapat menjadi salah satu titik lemah saat ini untuk menghadapi masa depan. Untuk itu, kualitas kebebasan berpendapat harus diperbaiki, di antaranya dengan tak samakan kebebasan dengan algoritma.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menurunnya kualitas kebebasan berpendapat menjadi salah satu titik lemah Indonesia saat ini untuk menghadapi masa depan. Kualitas kebebasan berpendapat harus diperbaiki, di antaranya dengan tidak menyamakan kebebasan berpendapat dengan algoritma.
”Kita tidak bisa menyamakan kebebasan berpendapat dengan amplifikasi algoritma internet,” kata Gita Wirjawan dalam Jakarta Geopolitical Forum ke-5 tahun 2021 ”Culture And Civilization: Humanity at the Crossroads”, yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional, Jumat (22/10/2021). Gita menyoroti kebutuhan akan internet yang sehat yang tidak mengikuti algoritma yang mengamplifikasi narasi-narasi yang substansinya memecah belah karena penuh kemarahan dan kebencian.
Gita mengatakan, salah satu hal yang perlu ditentang adalah narasi tentang monopoli. Justru kompetisi harus perlu diadakan. Saat ini yang dikhawatirkan adanya pemikiran bahwa untuk sukses harus monopoli. ”Yang terakhir, perlu ditekankan perlunya kita menekankan pemikiran di atas teknologi, fakta di atas opini,” kata Gita yang saat ini menjadi Dewan Penasihat School of Government and Public Policy (SGPP).
Ronald K Emmerson dari Freeman Spogli Institute for International Studies menyoroti tentang dorongan kondisi darurat global yang mengubah pemerintah menjadi ”persoalan kokpit”. Persoalan kokpit diilustrasikan Ronald sebagai situasi di mana seorang pilot menghadapi masalah darurat dan tidak sempat mendiskusikannya. Situasi ini yang kemudian cukup mendominasi.
Ronald menyoroti masalah kebebasan berpendapat yang menurun. Ia mengutip riset Sjaiful Mujani dan William Liddle di sebuah jurnal yang menyebutkan 17 persen responden takut bicara politik pada 2009. Sementara dalam riset terbaru tahun 2020, ada 39 responden yang takut bicara politik. Ronald mengatakan, realitanya Joko Widodo memang menjadikan ekonomi sebagai prioritas. Akibatnya, elemen demokrasi liberal dikompromikan.
Persoalan kokpit diilustrasikan Ronald sebagai situasi di mana seorang pilot menghadapi masalah darurat dan tidak sempat mendiskusikannya. Situasi ini yang kemudian cukup mendominasi.
Ronald juga mengatakan, Indonesia harus waspada dengan dominasi TNI dalam penanganan Covid-19 walau penanganan itu dinilai berhasil bagi banyak pihak dan ia juga tidak yakin Indonesia akan kembali mengusung Dwifungsi ABRI. Namun, menurut dia, hal ini harus diperhatikan karena akan berakibat buruk pada perkembangan masyarakat sipil.
Mendalami kearifan lokal
Sejarawan sosial-politik Indonesia Baskara Tulus Wardaya merekomendasikan perlunya mendalami tentang kearifan lokal dan tradisi untuk memperlakukan bumi dengan peduli dan respek. Dari segi pendidikan, anak-anak muda harus diperkenalkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan demikian, mereka bisa mengantisipasi pengaruh teknologi dan pemanasan global. Ia juga mengusulkan agar Lemhannas membuka pintu-pintu kolaborasi di tingkat lokal, nasional, hingga internasional.
Dimas Oky Nugroho yang juga ahli sosial politik menyoroti adanya generasi muda yang akan menjadi angin baru dalam politik dan membangun negara bangsa. Mereka menjadi peluang untuk meningkatkan demokrasi dan politik agar bisa membangun sosial dan ekonomi. ”Saya juga harapkan negara dan masyarakat sipil bisa saling percaya agar bisa bersatu,” katanya.