Masih Ada Waktu Jokowi-Amin Tinggalkan Legasi yang Baik
Selama dua tahun terakhir, sejumlah catatan kurang menggembirakan disematkan kepada pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, salah satunya karena demokrasi dinilai mengalami regresi.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tersisa tiga tahun lagi, dan masih ada kesempatan bagi pemerintahan ini untuk meninggalkan legasi yang baik. Publik, antara lain, berharap agar ada perbaikan dalam demokratisasi di Tanah Air yang belakangan ini kualitasnya dinilai menurun.
Kepala Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, meninggalkan legasi yang baik mestinya menjadi konsen pemerintahan Jokowi-Amin. Selama dua tahun terakhir, sejumlah catatan kurang menggembirakan disematkan kepada pemerintahan Jokowi-Amin, salah satunya karena demokrasi dinilai mengalami regresi.
”Ada kecenderungan kebebasan berekspresi dan berpendapat mengalami penurunan. Bahkan, dalam kajian Freedom House, 2021, civil liberties (kebebasan sipil) Indonesia disamakan dengan Singapura, yang selama ini demokrasinya sebetulnya lebih rendah dari Indonesia, terrnyata dalam hal kebebasan sipil, Indonesia sama dengan Singapura,” kata Firman, dalam diskusi daring bertajuk ”Pandemi, Legasi, dan Tahun Politik,” yang diadakan oleh PARA Syndicate, Jumat (22/10/2021) di Jakarta.
Selain Firman, hadir pula peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, Manager Litbang Kompas Toto Suryaningtyas, dan dipandu Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
Firman mengatakan, situasi demokrasi di Indonesia yang stagnan bahkan mengalami regresi dapat diketahui dari beberapa hasil kajian lembaga dari dalam maupun luar negeri. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebelum berubah nama menjadi BRIN pernah membuat kajian dengan menanyai 119 ahli tentang demokrasi di Indonesia. Hasilnya, 42 persen ahli mengatakan kondisi demokrasi Indonesia lebih baik, 28 persen menilai sama saja, dan 30 persen menilai lebih buruk.
”Persentase yang rendah soal anggapan positif terhadap demokrasi Indonesia ini harus disikapi serius. Jika tidak ada perbaikan, kami khawatir, legasi yang ditinggalkan rasanya akan seperti Orde Baru,” katanya.
Dari catatan Freedom House juga, 2021, demokrasi Indonesia dikatakan partly free (belum sepenuhnya bebas). Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) juga cenderung stagnan, yakni 75,6 (2019) dan turun menjadi 74,3 (2020).
Adapun dari hasil survei Litbang Kompas, tingkat kepercayaan publik pada pemerintah Jokowi-Amin dalam dua tahun terakhir mengalami pasang surut. Pada Agustus 2020, kepercayaan publik 65,9 persen. Sempat naik menjadi 66,3 persen (Januari 2021) dan kembali naik menjadi 69,1 persen (April 2021). Namun, kemudian turun menjadi 66 persen (Oktober 2021). Begitu pula angka ketidakpuasan publik. Angka ketidakpuasan publik 33,7 persen (Januari 2021); 30,9 persen (April 2021); dan naik menjadi 34 persen (Oktober 2021).
Dari empat bidang kerja, yakni politik dan keamanan (polkam), penegakan hukum, ekonomi, dan kesejahteraan, hanya kepercayaan publik di sektor ekonomi yang terus naik. Dari 52,8 persen (Agustus 2020); 57,9 persen (Januari 2021); 57,8 persen (April 2021); menjadi 58,7 persen (Oktober 2021).
Toto mengatakan, secara umum survei ini menunjukkan basis dukungan publik terhadap pemerintah Jokowi-Amin ialah pada angka 65 persen. Sebab, jika dilihat dari survei-survei sebelumnya, angka basis dukungan publik ini tidak banyak bergeser.
”Survei ini juga menunjukkan pendukung Jokowi tetap percaya dan puas dengan kinerja pemerintah. Sebaliknya, yang bukan pendukung Jokowi makin kecewa dengan kinerja pemerintah. Dari sisi ini, sebenarnya ini menunjukkan keterpilahan yang makin dalam di dalam masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, J Kristiadi mengatakan, arah demokrasi Indonesia ke depan harus dicegah agar tidak menuju dua hal, yakni otoritarianisme atau anarkisme. Demokrasi yang anarkistis bisa terjadi jika demokrasi disamakan dengan kebebasan tanpa batas, sedangkan otoritarianisme akan terjadi jika fenomena belakangan ini di kehidupan sosial politik dibiarkan.
”Isu amendemen konstitusi, perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, jika ini dibiarkan ini akan menuju ke otoritarianisme. Sebab, perpanjangan presiden tiga periode ini menjadi pintu masuk bagi monopoli kebenaran,” ujarnya.
Di sisi lain, Kristiadi menilai Jokowi-Amin mampu menjaga keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal ini setidaknya tergambar dari survei kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi pemerintah. ”Jokowi-Amin mampu menjaga keseimbangan dualitas antara ekonomi dan kesehatan,” katanya.