Jalan Berliku Tokoh Potensial Calon Presiden
Sebagian besar tokoh potensial calon presiden bukan berasal dari kalangan elite partai politik. Mereka masih perlu berjuang untuk mendapatkan tiket pilpres dari partai politik.
Mayoritas tokoh calon presiden potensial di Pemilihan Presiden 2024 bukan berasal dari elite partai politik. Alhasil, negosiasi mereka diprediksi akan lebih alot untuk bisa dicalonkan oleh partai. Di sisi lain, jika partai “meninggalkan” para tokoh potensial itu, maka elektabilitas partai pun justru menjadi taruhannya.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 masih sekitar dua setengah tahun lagi. Sampai saat ini, tanggal pemungutan suara belum juga ditetatpkan. Namun, bursa calon presiden mulai ramai. Ironisnya, mayoritas tokoh potensial calon presiden justru bukan berasal dari kalangan elite partai, bahkan tak sedikit yang bukan anggota partai politik.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada Oktober ini, ada tiga nama yang tetap berada di posisi tiga teratas tingkat keterpilihan. Mereka adalah Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Prabowo dan Ganjar sama-sama memiliki elektabilitas 13,9 persen. Adapun, elektabilitas Anies sebesar 9,6 persen. Tokoh lain yang membayangi adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (5,1 persen), Menteri Sosial Tri Rismaharini (4,9 persen), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (4,6 persen), dan mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (4,5 persen). Disusul Agus Harimurti Yudhoyono (1,9 persen), Mahfud MD (1,2 persen), dan Gatot Nurmantyo (1,1 persen).
Dari sepuluh nama potensial capres itu sebagian besar bukan tokoh sentral parpol. Ganjar, misalnya, tak masuk dalam kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Bahkan, Anies dan Ridwan Kamil sampai saat ini belum terdaftar sebagai anggota parpol mana pun.
Baca juga : Prabowo, Ganjar, Anies Bersaing Ketat Menuju 2024
Seiring dengan mulai menghangatnya bursa bakal capres, dukungan untuk sejumlah tokoh terus bermunculan. Tak hanya dari sukarelawan, dukungan juga datang dari kader dan pengurus parpol.
Wakil Ketua DPC PDI-P Purworejo, Jawa Tengah, Albertus Sumbogo, misalnya, mendeklarasikan dukungan terhadap Ganjar. Sebelumnya sukarelawan pendukung Presiden Joko Widodo mendeklarasikan Ganjar Pranowo (GP) Mania untuk mendukung perjuangan fungsionaris PDI-P itu.
Langkah politik Sumbogo itu tak pelak membuat sebagian pengurus dan kader PDI-P meradang. Dukungan itu dianggap telah mendahului arahan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Sampai-sampai Ketua DPD PDI-P Jateng Bambang Wuryanto menyebut kelompok Sumbogo dengan sebutan Celeng.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Jagoan Survei Vs Pilihan Rakyat” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/10/2021) malam, relawan Ganjar Pranowo (GP) Mania, Immanuel Ebenezer mengatakan, sosok Ganjar kini telah dilirik oleh kelompok milenial dan pendukung senyap (silent majority). Jika PDI-P tidak memperhitungkan itu, ia meyakini parpol berlambang kepala banteng itu akan mendapatkan dampak elektoral yang negatif.
“Dia (PDI-P) akan melawan arus besar. Rakyat punya cara tersendiri untuk memberi sanksi terhadap partai. Nah, itu yang harus dipertimbangkan (partai),” ujar Eben.
Bincang-bincang yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu turut menghadirkan Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah; Ketua DPP Nasdem, Zulfan Lindan; serta Ketua DPP PDI-P, Hendrawan Supratikno yang tersambung melalui telekonferensi video.
Jadi, semua berhitung, semua bertukar pikiran mengenai tantangan ke depan, narasi apa yang perlu dibangun di masa depan, dan tentu terjadi konvergensi juga. Karena, lobi-lobi itu, kan, sebenarnya mencari titik temu, mencari kesamaan pandangan. Jadi tidak perlu dipaksakan untuk lahir hari ini
Menurut Eben, situasi yang dialami Ganjar saat ini lebih kurang sama dengan Jokowi pada awal kemunculannya. Saat itu sebagian besar elite PDI-P menolak Jokowi saat akan maju pada Pilpres 2014. Namun ternyata pada detik-detik terakhir menjelang pendaftaran peserta pilpres, Megawati dengan jiwa besar menetapkan Jokowi sebagai capres dari PDI-P. ”Saya yakin sekali, partai akan tunduk terhadap yang namanya suara publik,” kata Eben.
Efek “Jokowi”
Hendrawan Supratikno menilai, dukungan terhadap Ganjar masih terlalu dini. Sebab, hingga saat ini, Megawati juga belum memberikan keputusan apa pun terkait pengusungan capres oleh partai.
Menurut dia, hasil dari sejumlah survei tentu menjadi catatan bagi partai sebagai sebuah aspirasi masyarakat. Namun, itu bukan menjadi satu-satunya acuan untuk menentukan capres yang akan diusung. Lobi-lobi politik antar-parpol tentu diperlukan. Dalam negosiasi tersebut, setidaknya ada lima hal yang ditawarkan, yakni aspirasi, persepsi, narasi, ekpektasi, dan kalkulasi.
Baca juga : Menaikkan Elektabilitas Tak Cukup dengan Baliho
“Jadi, semua berhitung, semua bertukar pikiran mengenai tantangan ke depan, narasi apa yang perlu dibangun di masa depan, dan tentu terjadi konvergensi juga. Karena, lobi-lobi itu, kan, sebenarnya mencari titik temu, mencari kesamaan pandangan. Jadi tidak perlu dipaksakan untuk lahir hari ini,” ucap Hendrawan.
Terlepas dari itu, Hendrawan meyakini, faktor Presiden Jokowi tentu masih sangat menentukan siapa yang akan diusung di pilpres mendatang. Jokowi tentu ingin ada keberlanjutan pembangunan. Oleh sebab itu pula, menurutnya, hal yang wajar ketika saat ini sejumlah tokoh mulai berusaha mendekati Presiden.
“Karena pemilihan umum, kan, dilakukan ketika presidennya incumbent. Jadi paling tidak, sedikit banyak, bisa berpengaruh terhadap pilihan masyarakat,” ujar Hendrawan,
Zulfan Lindan sependapat dengan Hendrawan. Sosok Jokowi diyakini masih mampu mendongkrak elektabilitas tokoh tertentu. Karena itu wajar jika para tokoh mulai mendekati Jokowi. ”Dalam imajinasi mereka (bakal capres), bahwa ini kalau kita tidak dekat dengan Pak Jokowi, kita bisa bahaya nih. Akhirnya, mereka semuanya merapat ke Pak Jokowi,” katanya.
Konvensi capres
Berkaitan pengusungan capres mendatang, Zuldan mengungkapkan, Nasdem memiliki cara baru, yakni melalui konvensi. Seluruh perwakilan DPD dan DPW nantinya akan dikumpulkan untuk kemudian memilih calon yang ada. Dengan begitu, pilihan diharapkan bisa lebih objektif. Elite parpol pun tidak bisa ikut “cawe-cawe” dalam proses penentuan capres yang akan diusung.
“Bukan (Ketua Umum Nasdem) Surya Paloh yang menentukan, bukan elite partai, tetapi langsung DPD dan DPW,” ujar Zuldan.
Hurriyah menilai, konvensi capres yang akan dijalankan Nasdem merupakan salah satu opsi yang paling bisa dilakukan agar capres yang diusung berpotensi menang dalam kontestasi. Namun, ia menyarankan agar konvensi capres ini dibangun secara melembaga sehingga mekanisme demokratis tersebut tetap terjaga.
“Jadi, jangan hanya sifatnya pragmatis untuk kepentingan Pemilu 2024 saja. Malah saya berharap, mekanisme konvensi pencapresan ini, menjadi mekanisme yang dibangun oleh partai dalam rangka memunculkan figur-figur yang terbaik di partai,” ucap Hurriyah.
Meski punya popularitas dan elektabilitas tinggi, para tokoh potensial itu belum tentu bisa lolos menjadi capres atau cawapres. Menurut Hurriyah, pengalaman sejarah seperti Jokowi sulit terulang jika tokoh-tokoh capres non-kader parpol atau non-elite saat ini tidak membekali diri dengan tiga hal.
Pertama, kemampuan menggalang dukungan partai. “Kalau kita bicara misal konteksnya Ganjar hari ini, bagaimana dan seperti apa kemampuan Ganjar untuk meyakinkan Ibu Mega untuk mendukung dia,” ujarnya.
Setelah itu, dibutuhkan dua kemampuan lain. Calon yang potensial saja tak cukup jika tak mampu membangun koalisi dengan kekuatan-kekuatan politik lain. Untuk itu, kemampuan kedua yang dibutuhkan adalah membangun kekuatan politik relawan. Ketiga adalah kemampuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas.
“Jadi, kalau tiga (hal) ini bisa berjalan bebarengan, saya kira partai juga pasti akan realistis dan kalkulasi politik rasionalnya adalah kalau memang figur ini kemudian memiliki ketiga sumber daya tadi, kemampuan untuk berkoalisi, menggalang dukungan, dan juga popularitas, serta elektabilitas, maka itu akan menjadi pilihan partai pada akhirnya,” tutur Hurriyah.
Rupanya, popularitas dan elektabilitas tinggi saja tak menjadi jaminan seorang tokoh lolos menjadi peserta, apalagi memenangi pilpres. Kemampuan menggalang dukungan politik juga mutlak dibutuhkan.