Bedah buku karya Todung Mulya Lubis, "Mencari Hak Asasi Manusia: Dilema Politik Hukum Indonesia Masa Orde Baru 1966-1990" yang digelar Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM, sebutkan penerapan HAM adalah dinamis.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Nilai mengenai hak asasi manusia beserta penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia merupakan perjalanan yang dinamis. Tidak hanya karena masih banyak persoalan terkait hak asasi manusia, namun konsep mengenai hak asasi manusia pun juga mengalami perkembangan.
Hal itu terungkap di dalam bedah buku berjudul "Mencari Hak Asasi Manusia: Dilema Politik Hukum Indonesia Masa Orde Baru 1966-1990" yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) Universitas Gadjah Mada (UGM) secara daring, Jumat (22/10/2021). Buku tersebut merupakan terjemahan dari disertasi Todung Mulya Lubis dalam studi program doktoral di Amerika Serikat pada tahun 1989. Saat ini Todung Mulya Lubis yang pernah menjadi advokat senior adalah Duta besar RI untuk Norwegia dan Islandia.
Todung mengatakan, buku tersebut dapat ditempatkan sebagai sebuah jembatan antara masa lalu dengan masa kini, khususnya dalam konteks hak asasi manusia di Indonesia. Dibanding masa Orde Baru, saat ini sudah ada banyak kemajuan, khususnya pasca-reformasi, antara lain dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, serta banyaknya kovenan tentang HAM internasional yang diratifikasi ke hukum di Indonesia. Selain itu, saat ini banyak institusi maupun lembaga swadaya masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung ikut menegakkan HAM di Indonesia.
"Itu membuat kita sebagai negara yang paling dinamis dalam penegakan HAM di ASEAN. Dan ini membuat kita sebetulnya tidak perlu berkecil hati walaupun kita tetap harus mempersoalkan dengan kritis kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum diselesaikan. Kita juga melihat kecenderungan demokrasi yang tidak liberal (illiberal democracy) yang sedang mewabah di banyak tempat karena strong state muncul atau kembali," tutur Todung.
"Dibanding masa Orde Baru, saat ini sudah ada banyak kemajuan, khususnya pasca-reformasi, antara lain dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, serta banyaknya kovenan tentang HAM internasional yang diratifikasi ke hukum di Indonesia. Selain itu, saat ini banyak institusi maupun lembaga swadaya masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung ikut menegakkan HAM di Indonesia"
Menurut Todung, pada dasarnya Indonesia memiliki akar budaya hak asasi manusia. Hal itu tampak dari banyak masyarakat adat di Indonesia yang menghidupinya. Sebaliknya, Todung juga melihat ada pula budaya anti-HAM yang dianut masyarakat adat untuk hal-hal tertentu, seperti adanya feodalisme, kemudian diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan. Namun demikian, hak untuk bermusyawarah, hak untuk berkumpul juga dihidupi oleh masyarakat di Indonesia.
Ketika membahas penyusunan UUD 1945, lanjut Todung, terjadi perdebatan mengenai HAM yang sangat tajam. Dengan pemahaman dan perspektif HAM para pendiri negara ini, terjadi kompromi politik, yakni mengenai kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat yang akan diatur melalui UU selanjutnya. Yang pasti, Indonesia dibentuk bukan sebagai negara kekuasaan, melainkan sebagai negara hukum dengan batasan yang dimiliki.
"Itu membuat akhirnya baik pada zaman sebelum Orba dan zaman Orbamengalami banyak sekali kendala untuk mensosialisasikan hak asasi manusia. Saya tidak mengatakan hak asasi manusia dibunuh, tetapi hak asasi manusia sangat terbatas dan penekanannya pada kewajiban hak asasi manusia," kata Todung.
Menurut Todung, hal yang tidak secara eksplisit dituliskan dalam buku tersebut adalah mengenai munculnya nilai-nilai Asia sebagaimana terjadi di negara-negara seperti Jepang, China, dan Korea Selatan yang tidak sama dengan nilai-nilai yang ada dalam Deklarasi Universal HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tidak semua nilai-nilai Asia tersebut bersifat anti-HAM, namun di nilai-nilai tersebut terdapat pula hak kolektif atau hak komunal meski di kemudian hari, batas antara hak individu dengan hak komunal tersebut semakin tidak jelas.
Oleh karena itu, menurut Todung, buku yang sebelumnya merupakan disertasinya tersebut menjadi jembatan untuk menghubungkan masa itu dengan saat ini, khususnya ketika hak asasi manusia sudah diterima menjadi nilai-nilai konstitusional. Namun, perkembangan terkini yang membuat nilai-nilai HAM terhambat untuk diterapkan lebih disebabkan perkembangan politik.
"HAM mulai agak ditekan untuk dan demi strong state, apalagi memakai alasan pandemi. Maka kita lihat apa yang terjadi di Hungaria, negara otoriter muncul kembali dan hak asasi manusia ditekan. Ini juga terjadi di tempat-tempat lain. Mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia," ujar Todung.
"HAM mulai agak ditekan untuk dan demi strong state, apalagi memakai alasan pandemi. Maka kita lihat apa yang terjadi di Hungaria, negara otoriter muncul kembali dan hak asasi manusia ditekan. Ini juga terjadi di tempat-tempat lain. Mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia"
Di sisi lain, lanjut Todung, isu tentang hak asasi manusia juga terus berkembang. Saat ini, HAM juga erat kaitannya dengan aspek keberlanjutan, tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), dan terkait perubahan iklim. Semisal, konsep HAM di Norwegia kini sangat terkait dengan isu perubahan iklim karena pemanasan global. Sementara, buku yang ditulisnya tersebut lebih menekankan pada penegakan kemerdekaan atas hak berserikat dan berpendapat.
Relevan dengan masa kini
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Mahaarum Kusuma Pertiwi selaku penanggap mengatakan, buku tersebut banyak berisi kritik. Meski ditulis sudah tiga dekade lalu, namun buku tersebut masih relevan dengan situasi HAM di Indonesia saat ini.
"Saya sendiri sebetulnya tidak bangga dengan pencapaian HAM saat ini karena saya melihat perkembangan HAM hanya ada di level formalitas. Jadi kita masih menghadapi persoalan HAM di samping ada hal-hal lain, seperti soal lingkungan, atau soal klasik seperti keyakinan beragama, soal peristiwa 65, peristiwa 98, dan seterusnya," kata Mahaarum.
Mahaarum memberikan beberapa catatan terkait buku tersebut, yakni mengenai kerangka hukum dengan hak asasi manusia di Indonesia yang terlalu mekanis. Hukum hanya fokus pada mekanisme, namun kurang menekankan pada sisi manusianya. Demikian pula, hukum di Indonesia lebih menggunakan perspektif pidana, sehingga pihak korban justru tidak mendapatkan apa-apa. Sebaliknya, dalam konsepsi HAM, yang diutamakan justru korban.
"Saya sendiri sebetulnya tidak bangga dengan pencapaian HAM saat ini karena saya melihat perkembangan HAM hanya ada di level formalitas. Jadi kita masih menghadapi persoalan HAM di samping ada hal-hal lain, seperti soal lingkungan, atau soal klasik seperti keyakinan beragama, soal peristiwa 65, peristiwa 98, dan seterusnya"
Peneliti Centra Initiative dan mahasiwa pascasarjana University of Turin, Italy, Erwin Natosmal Oemar selaku penanggap berpandangan, buku tersebut memberikan pemahaman mengenai situasi hak asasi manusia di Indonesia saat ini dan sebelumnya. Buku tersebut juga penting untuk memahami bahwa di Indonesia, berbicara mengenai konstitusi tidak sama dengan berbicara mengenai hak asasi manusia.
Hal ini berbeda dari negara-negara di Eropa maupun Skandinavia bahwa jika berbicara konstitusi, maka yang dibicarakan adalah mengenai hak asasi manusia. Dengan demikian, buku tersebut dapat menjadi referensi tentang HAM terkait dengan demokrasi yang masih belum selesai di Indonesia.
Menurut Erwin, tidak banyak orang yang menulis tentang konstitusi dengan pendekatan hak asasi manusia. Kebanyakan yang dilakukan adalah membicarakan dengan pendekatan struktur atau aturan, melihat kelemahan dari aturan, namun kurang melihat hukum dengan pendekatan manusia.
"Misalnya, sekarang di Eropa, seperti sungai, hutan, itu merupakan legal person yang diwakili pihak atau lembaga tertentu. Kalau di Indonesia, kita masih basic-lah, masih belum selesai bagi kita," ujar Erwin.