Dua Tahun Jokowi-Amin, Oposisi Soroti Kondisi Demokrasi dan Hukum
Partai Demokrat menilai kondisi demokrasi memburuk dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-Amin. Adapun PKS mempersoalkan kinerja di bidang hukum yang melemah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua partai politik di luar partai pendukung pemerintah memberikan catatan di dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Partai Demokrat menyoroti perkembangan demokrasi, sedangkan Partai Keadilan Sejahtera memberikan catatan di bidang hukum.
Kepala Badan Komunikasi Strategis Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra di Jakarta, Jumat (22/10/2021), mengatakan, catatan terbesar bagi dua tahun awal periode kedua pemerintahan Joko Widodo adalah kondisi politik dan demokrasi Indonesia yang dinilai terus memburuk. Hal ini juga dikuatkan dengan penilaian dari sejumlah lembaga, seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit, dan survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting.
”Harapan kita, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin bisa turun dari jabatannya pada tahun 2024 dengan meninggalkan warisan iklim demokrasi yang lebih baik daripada situasi hari ini,” ujarnya.
Demokrat, lanjut Herzaky, mengingatkan agar pemerintahan Jokowi-Amin bekerja keras selama sisa waktu pemerintahan. Presiden juga mesti menghindari godaan absolutisme yang justru bisa memperburuk situasi demokrasi.
Dengan kekuatan politik partai pendukung pemerintah di parlemen mencapai 82 persen, kebijakan apa pun yang akan diambil pemerintah dengan mudah bisa disetujui parlemen. Bahkan, suara rakyat yang berbeda dengan apa yang dikehendaki pemerintah bisa dianggap angin lalu di kala pemerintah sudah punya kepentingan.
Ia mencontohkan, mulusnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 menunjukkan betapa kuatnya pemerintah. Saat RUU itu ditentang oleh berbagai elemen masyarakat dan di parlemen, Demokrat menjadi satu-satunya kekuatan yang menolak secara tegas dengan melakukan walk out saat sidang paripurna.
Herzaky melanjutkan, wacana jabatan presiden tiga periode yang sempat berembus juga bisa menurunkan kualitas demokrasi. Sebab, ini bertentangan dengan konstitusi yang sudah memutuskan masa jabatan presiden dibatasi dua periode.
”Syukurlah sampai saat ini, Presiden Jokowi tampak belum ada keseriusan mendorong wacana presiden tiga periode atau penambahan masa jabatan dua-tiga tahun. Suatu sinyal positif yang patut kita jaga betul agar tidak mendadak berubah. Sebab, kalau sampai itu terjadi, demokrasi kita akan kembali ke masa kelam, bahkan lebih kelam dibandingkan dengan Orde Baru,” tuturnya.
Perbedaan pendapat
Catatan selanjutnya adalah kebebasan di ruang publik, khususnya di media sosial. Herzaky menilai, banyak pihak yang berbeda pandangan dengan pemerintah menghadapi konsekuensi yang sangat serius saat mengungkapkan sikapnya, terutama di media sosial. Mereka mengalami fitnah, doxing atau penyebarluasan informasi pribadi, peretasan akun, sampai upaya perampasan kepengurusan seperti dialami Demokrat.
Bahkan, propaganda melalui media sosial dengan memanipulasi opini publik dan menyerang pihak yang berbeda dilakukan dengan sangat serius oleh pihak yang dekat dengan kuasa dan pengusaha kakap, seperti hasil penelitian Wijayanto dan Ward belum lama ini.
”Ada upaya sangat serius untuk menghancurkan kekuatan yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Ada abuse of power yang terjadi sangat nyata, tetapi seakan pemerintah tak berdaya menghadapinya,” ucap Herzaky.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, PKS menyoroti kinerja di bidang hukum yang melemah dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-Amin. Merujuk survei Litbang Kompas, kepuasan publik di bidang hukum menurun dari 65,6 persen (April 2021) menjadi 59,4 persen (Oktober 2021).
”Banyaknya kasus pelanggaran hukum yang tidak diselesaikan secara layak patut diduga menjadi penyebab. Seperti kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di bawah umur oleh ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang membuat polisi membuka kembali kasus ini. Juga kasus smackdown mahasiswa di Tangerang mestinya bisa menjadi cambuk peningkatan pendekatan yang humanis demi kepolisian yang presisi,” ujarnya.
Selain itu, isu pemberantasan korupsi, khususnya yang terjadi saat tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga patut mendapat perhatian.
”Polemik TWK KPK dan diamnya Pak Jokowi amat disayangkan. Kepercayaan publik terhadap KPK pun jeblok. Perlu diingat, dukungan publik punya nilai strategis bagi KPK,” kata Mardani.