Survei ”Kompas”: Parpol Baru dan Nonparlemen Belum Dikenal Publik
Sosialisasi parpol baru dan nonparlemen harus lebih masif. Narasinya pun harus tepat. Tak berhenti di situ, popularitas yang diraih harus bisa dikonversikan menjadi elektabilitas.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ratusan bendera partai politik terpasang di pinggir jalan di kawasan Karangrejo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sabtu (8/2/2014).
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik baru dan nonparlemen dinilai menghadapi kesulitan lebih tinggi untuk meningkatkan popularitas mereka. Perjuangan menuju Pemilu 2024 pun seharusnya dimulai lebih dini karena mereka harus mengenalkan diri kepada publik. Tanpa popularitas memadai, parpol baru dan nonparlemen akan kesulitan bersaing dengan parpol-parpol yang lebih mapan.
Medan perjuangan lebih terjal bagi parpol baru dan parpol nonparlemen ini tergambar dari hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2021. Hasil survei menunjukkan, belum banyak warga yang mengenal atau mengetahui parpol-parpol baru dan nonparlemen.
Dari 1.200 responden yang disurvei dengan metode tatap muka, sebanyak 83 persen mengaku tidak tahu atau mengenal partai-partai baru dan nonparlemen. Hanya sekitar 17 responden yang mengenali sejumlah parpol baru, seperti Partai Gelora (4,3 persen), Partai Masyumi (2,7 persen), Partai Indonesia Damai (2,4 persen), Partai Ummat (2,1 persen), dan Partai Nusantara (1,6 persen).
Muncul pula nama-nama parpol baru dan parpol nonparlemen, seperti Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Usaha Kecil Menengah (UMKM), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Perindo. Namun, parpol baru dan nonparlemen itu paling tinggi popularitasnya 1 persen dan beberapa di antaranya 0 persen atau tidak diketahui sama sekali oleh responden.
Menilik minimnya popularitas parpol baru dan nonparlemen, menurut Adi Prayitno, pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, hal itu menjadi tantangan terbesar bagi parpol baru yang pertama kali berlaga dalam pemilu. Mereka belum memiliki struktur organisasi yang lengkap dan belum banyak diketahui oleh publik.
Tantangan serupa dialami oleh parpol nonparlemen karena sekalipun sudah pernah mengikuti pemilu sebelumnya, parpol nonparlemen belum memiliki pemilih yang loyal dalam jumlah yang memadai untuk dikonversi menjadi kursi parlemen. Hal ini seharusnya memacu mereka untuk perlu terus meningkatkan popularitas agar lebih besar potensi popularitas parpol itu dikonversi menjadi suara dan raihan suara.
”Teori dasarnya itu, kan, untuk dapat disukai, maka parpol itu harus dikenali terlebih dulu. Artinya, agar ada potensi disukai oleh publik, parpol harus mendapatkan popularitas dulu,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (21/10/2021).
Oleh karena itu, perjuangan meningkatkan popularitas adalah pergulatan parpol baru dan nonparlemen sebelum Pemilu 2024. Kampanye dan sosialisasi yang masif, menurut Adi, harus dilakukan oleh parpol-parpol baru dan nonparlemen. Baik kampanye melalui spanduk, baliho, maupun membangun narasi di media sosial dan media arus utama (mainstream).
”Untuk bisa menyampaikan narasi dalam sosialisasi dan kampanye yang tepat, segmentasi publik juga mesti dipelajari sehingga narasinya tidak direspons keliru atau negatif. Sebab, jika keliru, itu akan merugikan bagi parpol baru tersebut,” katanya.
Tidak hanya meningkatkan popularitas, parpol baru juga harus mengonversikan popularitas itu ke dalam raihan suara dan kursi. ”Dikenal saja belum cukup, tetapi harus disukai dan dipilih sehingga bisa jadi kursi. Konversi ini pun tantangan tersendiri bagi parpol baru dan nonparlemen,” ucapnya.
Dengan segala tantangan itu, menurut Adi, parpol harus bekerja lebih awal, lebih keras, dan bekerja cerdas agar bisa bersaing dalam Pemilu 2024.
Strategi parpol
Mengenai belum tingginya popularitas partai baru dan nonparlemen, sejumlah pengurus parpol tersebut menyadari tantangan yang tidak mudah. Namun, mereka mengaku telah menyiapkan sejumlah cara.
”Bagi Perindo, hasil pemilu 2019 menjadi catatan khusus agar 2024 bisa masuk ke parlemen. Berbagai program telah disiapkan secara maksimal agar program tersebut bisa diterima oleh masyarakat dan sekaligus mendapatkan elektabilitas sesuai dengan apa yang ditargetkan oleh partai,” kata Sekretaris Jenderal Perindo Ahmad Rofiq.
Salah satu upaya Perindo ialah menyiapkan Konvensi Rakyat, yakni program perekrutan yang dilakukan oleh Perindo. Melalui program ini, menurut Rofiq, Perindo berusaha menarik semua aspirasi anggota dan masyarakat secara luas. Harapannya, dengan konvensi ini akan banyak masyarakat yang mengenal dan bergabung menjadi anggota partai.
Wakil Ketua Umum Prima AJ Susmana pun mengakui, popularitas partainya belum tinggi. Sebab, selama ini upaya Prima ialah membangun jaringan dengan berbagai kelompok, seperti seniman, kelompok pekerja, aktivis, petani, dan kelompok masyarakat lainnya. Namun, jaringan itu memang belum sampai ke bawah sehingga popularitas parpol baru itu belum menggembirakan.
”Kami sedang menurunkan ide dan program kami agar lebih bisa dipahami masyarakat akar rumput sehingga harapan mereka lebih mengenal apa itu Prima dan platformnya,” katanya.
Adapun Partai Gelora justru melihat hasil terbaru survei Litbang Kompas sebagai hal yang cukup menggembirakan. Pasalnya, menurut Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik, sebagai partai baru, popularitasnya dinilai lumayan baik. Popularitas itu akan berusaha ditingkatkan melalui berbagai program.
”Saat ini memang kami fokus membangun struktur organisasi dari pusat ke daerah sehingga nantinya bisa memenuhi syarat pendaftaran dan verifikasi parpol oleh KPU,” katanya.
Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Sampai Oktober ini, baru 85 persen kecamatan yang strukturnya terbentuk. Hingga 28 Oktober ini, Mahfuz menargetkan partainya dapat menuntaskan 100 persen kepengurusan hingga di tingkat kecamatan. Pada 28 Oktober ini, Gelora akan berusia dua tahun.
”Per hari ini, kami memiliki 475.000 anggota. Pada harlah (hari lahir) Gelora nanti, kami targetkan ada 500.000 anggota. Artinya, kini kurang dari 25.000 anggota lagi yang perlu direkrut,” ucapnya.
Mahfuz mengatakan, selain pembangunan struktur partai dan perekrutan anggota, partainya juga tengah membangun komunikasi dan sosialisasi politik. Salah satunya ialah ”Gelora Talks” yang rutin dilakukan sepekan sekali setiap hari Rabu. ”Melalui acara ini, kami berharap publik makin memahami platform dan ide-ide yang diusung oleh Gelora,” ujarnya.