Hasil analisis Lemhannas menunjukkan perlu adanya pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi masa depan ketika teknologi semakin mendominasi kehidupan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Ketahanan Nasional kembali menggelar untuk kelima kalinya Jakarta Geopolitical Forum. Tahun ini, tema yang diambil ”Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo dalam jumpa pers yang diadakan seusai acara pembukaan, Kamis (21/10/2021), mengatakan, baru kali ini Lemhannas tidak membahas isu-isu tentang hardpower, tetapi tentang peradaban dan kemanusiaan. Pasalnya, hasil analisis Lemhannas menunjukkan perlu adanya pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi masa depan ketika teknologi semakin mendominasi kehidupan.
”Menjadi kepentingan kita untuk mengidentifikasi masa depan dan mengeksplorasi untuk mendapat jawaban tentang pilihan-pilihan yang kita punya,” kata Agus.
Agus mencatat, walau banyak ketidakpastian, ada beberapa hal yang jelas harus dipersiapkan. Misalnya, literasi digital dan persiapan-persiapan keterampilan di masa depan ketika manusia harus bersaing dengan mesin. Justru keterampilan yang paling dibutuhkan, menurut dia, terkait dengan hubungan antarmanusia.
Peradaban dan kemanusiaan berada di persimpangan jalan, terutama terkait perkembangan geopolitik terakhir yang sangat dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Ada kecenderungan bergeser dari politik global di mana setiap pimpinan negara lebih mementingkan kepentingan nasionalnya. Ultranasionalisme ini kemudian menimbulkan gesekan-gesekan geopolitik.
Menurut Agus, perlu ada pelajaran dari masa lalu yang diambil, terutama terkait dengan situasi geopolitik ketika terjadi pandemi. Di masa lalu terjadi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan untuk mencari jawaban atas pandemi. Hal ini menyebabkan peran politik kian meluas menyangkut kehidupan umat manusia di mana perlu ada kerja sama antarbangsa.
Tenaga profesional Lemhannas yang juga Guru Besar Universitas Trisakti, Dadan Umar Daihani, mengatakan, saat ini memang ada dua hal utama yang mengubah peradaban, yaitu perkembangan teknologi dan pandemi yang membuat pemakaian teknologi semakin intensif. Teknologi mengubah cara berpikir dan cara hidup manusia. Pertanyaan utamanya, bagaimana mempertahankan kemanusiaan dalam kehidupan bernegara dalam kehidupan internasional.
Dalam paparannya sebagai pembicara kunci, mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro memaparkan betapa kehidupan manusia berubah drastis dengan adanya internet of things (IoT), artificial intelligence (AI), dan big data.
Komisaris Utama PT Telkom ini mengatakan, pada 2045, Indonesia ditargetkan akan menjadi negara maju. Untuk bisa mencapai itu, perlu ada kemajuan teknologi yang dikuasai sendiri oleh bangsa Indonesia. Teknologi ini adalah IoT, AI, robot, dan big data. ”Pendidikan ke depan harus bisa secara langsung membuat generasi muda Indonesia menguasai empat hal ini,” katanya.
Jakarta Geopolitical Forum merupakan session sharing bagi para pakar geopolitik dunia dalam menelaah situasi kawasan di dunia. Harapannya, forum strategis ini dapat dimanfaatkan oleh pembicara ataupun peserta untuk mendiskusikan isu geopolitik di tingkat dunia. Geopolitik yang dimaknai sebagai ruang hidup menjadi isu sentral bagi semua negara di dunia.
Tahun ini, sepuluh narasumber terkemuka diundang menjadi pemateri. Narasumber acara berskala internasional tersebut berasal dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia.
Narasumber tersebut adalah Rudy Breighton dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston; Prof Dr Robert W Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston; Prof Donald K Emmerson, Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University; serta Dr Jean Couteau, antropolog dan budayawan dari Perancis.
Selain itu, hadir pula Dr Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Robertus Robert, sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; Roslan Yusni Hasan, neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho, cendekiawan sosial-politik.