Menaikkan Elektabilitas Tak Cukup dengan Baliho
Tokoh-tokoh yang balihonya kerap ditemui di jalanan, seperti Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, elektabilitasnya masih pada sekitar 1 persen.
Baliho terbukti tidak sepenuhnya berhasil menaikkan elektabilitas seorang figur. Survei Litbang Kompas, Oktober 2021, menunjukkan fenomena itu. Sejumlah tokoh nasional yang baliho dan posternya bertebaran di jalan-jalan utama ternyata elektabilitasnya masih tertinggal dengan tokoh lainnya.
Survei Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan, capres pilihan masyarakat relatif sama dengan survei pada April 2021. Tiga posisi teratas masih ditempati Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (13,9 persen), Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (13,9 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (9,6 persen). Pada survei Kompas di bulan April 2021, elektabilitas Prabowo 16,4 persen, Anies (10 persen), dan Ganjar (7,3 persen).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Survei dilakukan secara tatap muka dengan pertanyaan terbuka. Pada survei Oktober, nama lain yang muncul, di antaranya, adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo (Kompas, 20/10/2021).
Tokoh-tokoh yang balihonya kerap ditemui di jalan-jalan utama, seperti Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani juga muncul dalam survei elektabilitas tersebut. Namun, persentase elektabilitasnya masih di sekitar 1 persen.
Baca juga : Prabowo, Ganjar, dan Anies Bersaing Ketat Menuju 2024
Tidak hanya dari survei Kompas, sejumlah survei oleh lembaga survei lainnya memperlihatkan hal yang sama.
Dalam survei nasional (surnas) yang dilakukan oleh Indostrategic, misalnya, elektabilitas ketiga tokoh tersebut masih tertinggal dibandingkan dengan tokoh lainnya yang dinilai berpotensi menjadi calon presiden.
Dalam survei itu, elektabilitas Airlangga Hartarto 0,5 persen, Muhaimin Iskandar 0,5 persen, dan Puan Maharani 0,6 persen. Angka elektabilitas itu jauh, misalnya, jika dibandingkan dengan Prabowo Subianto (17,5 persen), Anies Baswedan (17,0 persen), Ganjar Pranowo (8,1 persen), dan Ridwan Kamil (7,0 persen). Survei dilakukan pada 2.400 responden tanggal 23 Maret-1 Juni 2021.
Masih belum optimalnya elektabilitas tokoh parpol yang balihonya kerap ditemui di tengah-tengah ruang publik diakui oleh internal parpol.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB Syaiful Huda mengatakan, pemasangan baliho memang merupakan salah satu strategi dari partainya untuk menaikkan elektabilitas Muhaimin atau Cak Imin—sekarang kerap disebut juga dengan nama Gus Ami.
”Banyak cara dan ikhtiar telah kita lakukan memang untuk menaikkan elektabilitas Cak Imin, termasuk dengan baliho. Itu, kan, sempat ramai kemarin dengan pemasangan itu. Tetapi, kita akui memang elektabilitas Cak Imin belum sampai pada tahap yang kita harapkan,” ujarnya di Jakarta, Senin (18/10/2021).
Perlu strategi baru
Pendekatan baliho atau kerap disebut ”serangan udara” itu pun mulai diubah. Kini sosialisasi yang mendekati masyarakat mulai dilirik sebagai cara lain untuk mendekati pemilih. Faktor ”ke-disukai” atau likeability masih menjadi kunci untuk memastikan elektabilitas seorang calon. Dengan pendekatan-pendekatan langsung, paling tidak parpol berharap calon dikenal dulu. Baru pemilih yang nantinya akan menilai sejauh mana mereka merasa calon tersebut dapat dipilih.
”Untuk mendorong elektabilitas Cak Imin (Muhaimin), kami melakukan berbagai strategi pendekatan langsung kepada masyarakat. Targetnya ialah elektabilitas Cak Imin sama dengan elektabilitas PKB di pemilu. Misalnya, jika elektabilitas PKB sekarang 10 persen, tentu elektabilitas Cak Imin idealnya bisa setara dengan angka itu,” katanya.
Huda meyakini akan ada tren peningkatan elektabilitas Muhaimin hingga menjelang 2024. Sejumlah hal yang dilakukan, antara lain, ialah dengan kegiatan menyapa konstituen secara langsung yang dilakukan oleh semua fraksi dan kader PKB di pusat ataupun di daerah.
”Anggota-anggota fraksi terus menyapa konstituen dan terus menyampaikan cita-cita dan salam dari Cak Imin sebagai pimpinan partai. Kami kemas semuanya untuk menyosialisasikan Cak Imin,” katanya.
Di Jabar, Huda yang juga Ketua DPW PKB Jabar mengatakan, sejumlah inisiatif dilakukan untuk menyosialisasikan Muhaimin. Salah satunya ialah dengan gerakan food bank. Dalam gerakan ini, anggota legislatif PKB di wilayah Jabar bergerak memborong makanan dari para penjual, lalu membagikannya secara gratis kepada warga yang terdampak pandemi.
”Dengan cara ini, kami bisa mendapatkan dua kelompok sekaligus. Pertama adalah kelompok pedagang yang makanannya dibeli. Kedua, kelompok warga yang terdampak pandemi. Kami berharap dengan gerakan nyata membantu masyarakat ini juga akan membuat warga kian mengenal Cak Imin sebab dalam program itu juga kami sosialisasikan gambar Cak Imin dan logo partai,” ujarnya.
Baca juga : Adu Strategi Menuju 2024 Bakal Kian Kencang
Adapun bagi Golkar, menurut Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, pemasangan baliho Airlangga hanya salah satu cara saja dalam menyosialisasikan Menteri Koordinator Perekonomian tersebut. Banyak upaya lain yang dilakukan oleh Golkar, termasuk dengan menunjukkan keberhasilan kinerja Airlangga sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
”Itulah mengapa kami memilih Pak Airlangga karena beliau memiliki kemampuan teknokratik, baik dalam mengelola pemerintahan dari segi ekonomi, teknologi, maupun kepemimpinan secara umum,” katanya.
Sekalipun elektabilitas Airlangga belum setinggi calon-calon lain, Ace meyakini elektabilitasnya akan membaik seiring waktu. Di sisi lain, peran sosialisasi dan komunikasi oleh kader-kader Golkar terus dijalankan.
”Harus kita akui dalam berbagai survei, nama Pak Airlangga ketika oleh para kader partai disosialisasikan sudah menunjukkan mulai dikenal oleh publik. Kami sangat optimistis bahwa dalam 3 tahun ke depan, apalagi kalau, misalnya, konfigurasinya semakin mengerucut kepada maksimal 3 pasangan. Apalagi dalam pilpres 2024 nanti tidak ada incumbent,” ungkapnya.
Menurut Ace, dengan konstelasi yang sangat mungkin berubah, semua pihak kini masih memiliki peluang memenangi Pilpres 2024. ”Karena itu, tugas kami adalah bagaimana kami memastikan agar popularitas, kemudian elektabilitas, ketum kami, dalam tiga tahun yang akan datang betul-betul bisa semakin dikenal publik,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR itu.
Wakil Sekjen PDI-P Arif Wibowo pun meyakini hasil survei masih bisa berubah. Selain itu, bagi partainya, elektabilitas bukan segalanya. ”Kita tentu ingin menang, tetapi tidak sekadar menang. Kalau sekadar menang, tetapi tidak membawa kebaikan, jangankan bagi partai, tetapi bagi bangsa dan negara, lalu buat apa,” ucapnya.
Oleh karena semua masih bisa berubah, partainya belum mau banyak berkomentar tentang survei elektabilitas capres. ”Nanti pada waktunya yang tepat, Ketum (Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri) yang akan menentukan siapa capres yang diusung oleh partai,” katanya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga politisi senior PDI-P, Hendrawan Supratikno, menambahkan, sejak awal baliho Puan yang dipasang secara swadaya oleh anggota Fraksi PDI-P itu tidak semata-mata soal elektoral atau elektabilitas.
”Kalau dari kacamata politik, kan, yang selalu dilihatnya ini terkait dengan 2024. Padahal tidak, ini kan pesan-pesannya tidak ada kaitannya dengan 2024. Pesan-pesan di dalam baliho itu kan soal penanganan pandemi, menaati prokes, kepak sayap kebinekaan, dan ini konteksnya selalu sebagai Ketua DPR. Apalagi, dalam kondisi pandemi, ini tidak ada kaitannya dengan 2024. Kami kerja dalam koridor kemanusiaan, kerakyatan, dan kebangsaan,” ujarnya.
Belum tentu disukai
Direktur Eksekutif Indostrategic Ahmad Khoirul Umam mengatakan, sekalipun dalam jangka pendek pemasangan baliho itu akan meningkatkan popularitas seorang tokoh, untuk meraih elektabilitas yang memadai dibutuhkan lebih dari sekadar baliho.
Untuk disukai dan dipilih dalam pemilu, hal itu akan sangat tergantung dari kapasitas dan peran tokoh selama ini, terutama yang selama ini menduduki jabatan publik. ”Pemasangan baliho efektif untuk meningkatkan popularitas, tetapi belum tentu efektif untuk menaikkan ketersukaan dan keterpilihan. Belum tentu pemasangan baliho itu akan punya dampak linier pada ketersukaan dan elektabilitas tokoh,” katanya.
Secara kebetulan, tokoh-tokoh yang balihonya banyak ditemui di ruang publik adalah pejabat publik. Masih rendahnya elektabilitas mereka, menurut Khoirul, juga menjadi pelajaran berharga. Pasalnya, ketika mereka telah bertahun-tahun menjadi pejabat publik, baik sebagai menteri, anggota DPR, maupun pimpinan partai, keterpilihan dan ketersukaan publik kepada tokoh masih rendah. Hal itu, antara lain, menunjukkan tidak ada korelasi antara pengalaman dan kompetensi mereka di eksekutif dan legislatif dengan elektabilitas.
”Ini menunjukkan tokoh-tokoh politik selama ini belum mampu mengoptimalkan kapasitas personal mereka untuk meyakinkan publik kalau mereka memiliki kompetensi, atau memastikan komunikasi politik mereka diterima oleh publik dengan baik,” katanya.
Banyak faktor akan turut menentukan keterpilihan seseorang. Menurut profesor riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN,) Syarif Hidayat, hal yang diingat oleh publik sebenarnya ialah kinerja dan kompetensi serta kontribusi mereka dalam menuntaskan krisis. Hal ini mestinya yang ditonjolkan oleh para calon.
Ditambah lagi, publik Indonesia sebagian besar ialah massa mengambang yang keputusannya untuk memilih seorang pemimpin tidak didasarkan oleh kesamaan ideologi. Oleh karena itu, pilihan publik sangat mudah bergeser dan baliho yang bertebaran itu tidak akan menjamin publik memilih mereka.
Baca juga : Efek Bumerang Bisa Lebih Dalam Gerus Elektabilitas Parpol
Persoalan elektabilitas ini pun menjadi lebih pelik karena di tengah massa mengambang yang sangat cair ini, kekuatan uang mengintervensi. Kuasa kapital masuk ke alam demokrasi dalam bentuk politik transaksional. Dalam bentuk riilnya, menurut Syarif, politik uang menjadi faktor yang turut mengendalikan pilihan pemilih.
”Jika dulu, tahun 1955, kita memilih berdasarkan politik aliran. Walau orang dibayar berapa pun, dia tidak akan bergeser dari pilihan partainya dan kader-kader seideologi. Namun, sekarang jauh berbeda. Orang sangat cair dan dia bisa memilih siapa pun tanpa harus terikat ideologi tertentu,” kata Syarif.
Dalam situasi masyarakat yang cair, cepat berubah, tidak terikat ideologi, kian pragmatis, dan menghadapi krisis berupa pandemi, sekadar bergantung pada baliho dan spanduk akan sangat berisiko bagi elektabilitas seorang calon. Salah-salah, hal itu malah kontraproduktif.