Alarm Rakyat untuk Pemerintahan Jokowi-Amin
Setelah mengalami peningkatan pada April 2021, kepuasan publik pada pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin kembali turun pada Oktober ini. Jika pada April derajat kepuasan publik 69,1 persen, kini menjadi 66,4 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai upaya telah dan terus dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 berikut dampaknya, tetapi hal itu belum sepenuhnya dapat memuaskan rakyat. Ketidakpuasan publik perlu dijadikan sebagai peringatan dini bagi pemerintah untuk memperkuat kinerja sekaligus mendengar suara masyarakat. Memenuhi ekspektasi publik menjadi penting untuk menjaga stabilitas menjelang tahun politik yang datang pada 2022.
Survei terbaru Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Amin turun dari 69,1 persen pada April menjadi 66,4 persen. Penurunan itu berbanding lurus dengan kepuasaan publik pada tiga dari empat bidang, yakni politik dan keamanan, penegakan hukum, dan kesejahteraan rakyat.
Politik dan keamanan mengalami penurunan terdalam, dari 77 persen pada April menjadi 70,8 persen pada Oktober. Adapun apresiasi terhadap penegakan hukum turun 6,2 persen dan kesejahteraan sosial turun 4,1 persen. Hanya apresiasi pada kinerja pemerintah di sektor ekonomi yang naik dari 57,8 persen pada April menjadi 58,4 persen pada Oktober ini.
Pengajar komunikasi politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, mengatakan, penurunan kepuasan publik merupakan peringatan bagi pemerintah agar segera memperbaiki kinerja. Tidak hanya pada penanganan Covid-19, tetapi juga penguatan demokrasi secara kelembagaan. Selama ini, institusi pemerintah cenderung menampilkan ambiguitas peran dan fungsi, misalnya sikap emosional menteri yang lebih mengemuka ketimbang cara kerjanya, juga rangkap jabatan yang terjadi pada sejumlah pejabat.
Komunikasi publik dari tahun ke tahun juga masih bermasalah. Ketidakajekan narasi terjadi terus-menerus sehingga sulit mencapai pemahaman yang sama. Sementara itu, di parlemen, tendensi mayoritas semakin menguat dan kian mengarah pada tumpulnya mekanisme check and balances. Akibatnya, komunikasi deliberatif yang menekankan musyawarah dalam pengambilan keputusan cenderung minim.
Baca juga: Benahi Komunikasi Publik untuk Atasi Pandemi
”Penurunan tingkat kepercayaan publik itu merepresentasikan kegundahan masyarakat sekaligus ekspektasi yang tinggi. Semula, harapan publik akan adanya kontinuitas dari apa yang dibangun pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama amat tinggi, tetapi terus mengalami penurunan,” kata Gun Gun, dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/10/2021).
Menurut Gun Gun, perbaikan kinerja perlu dilakukan secepatnya karena sudah memasuki paruh kedua periode terakhir pemerintahan Jokowi. Tak hanya kebijakan terkait pandemi Covid-19 baik di sektor ekonomi maupun kesehatan, komunikasi kebijakan publik yang lebih baik serta penguatan peran pemerintah dari sisi perorangan dan kelembagaan juga perlu dibenahi.
Selain itu, pada 2022 Indonesia sudah akan memasuki tahun politik. Meski belum terang-terangan, saat ini partai politik sudah bersiap memunculkan kandidat calon presiden dan wakil presidennya. Diprediksi, tahun depan urusan capres-cawapres ini akan semakin ramai.
Karena itu, Gun Gun memprediksi, pada 2022, mayoritas partai yang saat ini merupakan anggota koalisi belum tentu seiring sejalan di pemerintahan. Pasalnya, parpol juga terikat dengan strategi masing-masing untuk memenangi Pemilu 2024.
Disharmoni parpol koalisi pemerintah pernah terjadi pada dua tahun teraknir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wapres Boediono. Satu per satu parpol anggota koalisi mulai meninggalkan pemerintah karena sibuk dengan agenda masing-masing.
”Karena itu, Presiden Jokowi harus mulai mengoordinasikan ulang peran partai pendukung yang punya representasi orang di kabinet. Harus dipastikan bahwa semua menteri bisa mengonsolidasikan kekuatan internal kabinet, bukan justru perhatian pada agenda 2024,” katanya.
Dengarkan suara rakyat
Selain itu, menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, untuk kembali meningkatkan kepuasan publik, pemerintah perlu memperbaiki sejumlah permasalahan. Salah satunya demokratisasi, terutama yang menyangkut kebebasan berpendapat dan partisipasi publik. Saat ini, partisipasi publik dalam penentuan kebijakan dan penyusunan legislasi dinilai minim sehingga jauh dari aspirasi masyarakat.
Penurunan tingkat kepercayaan publik itu merepresentasikan kegundahan masyarakat sekaligus ekspektasi yang tinggi. Semula, harapan publik akan adanya kontinuitas dari apa yang dibangun pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama amat tinggi, tetapi terus mengalami penurunan.
Penurunan tingkat kepercayaan publik itu merepresentasikan kegundahan masyarakat sekaligus ekspektasi yang tinggi. Semula, harapan publik akan adanya kontinuitas dari apa yang dibangun pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama amat tinggi, tetaipi terus mengalami penurunan.
Firman melihat sebenarnya selama ini sudah banyak aspirasi yang disampaikan masyarakat melalui berbagai saluran. Namun, aspirasi itu tidak mendapatkan respons yang sepadan dari pemerintah. ”Pemerintah saat ini posisinya sudah sangat kuat. Dengan itu semestinya bisa lebih membuka diri, berdialog dengan kalangan yang selama ini dianggap kritis, kemudian membangun resolusi bersama untuk membuat bangsa ini lebih mendengar masyarakat,” katanya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menambahkan, pemerintah harus memperlihatkan kesediaan dan keikhlasan untuk berdialog serta mendengar dan melaksanakan aspirasi publik. Selama ini, berbagai kalangan telah menyampaikan kritik terhadap pemerintah, tetapi belum terlihat respons yang memadai. Belum ada pula langkah konkret untuk mewujudkan sejumlah aspirasi tersebut.
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, pemerintah membutuhkan dukungan publik yang kuat karena merupakan fondasi penting bagi kebijakan-kebijakan yang akan diambil. ”Pemerintah tetap berkomitmen membangun demokrasi, menciptakan rasa adil di masyarakat, dan memperkuat stabilitas politik. Tidak ada kompromi atas hal itu,” ucapnya.
Untuk menaikkan kembali kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah, terutama di bidang politik, hukum, dan keamanan, pemerintah akan berupaya terus mengomunikasikan capaian positif pemerintah kepada masyarakat. Perbaikan pada aspek-aspek substantif kebijakan pemerintah juga akan terus dilakukan. ”Hasil survei ini dan lainnya menjadi catatan penting. Kami memantau berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat,” kata Jaleswari.
Respons cepat
Meningkatnya kepuasan masyarakat pada kinerja ekonomi, meski pandemi Covid-19 belum berakhir, dinilai sebagai sesuatu yang wajar. Sebab, menurut Firman Noor, beberapa waktu terakhir, kerja pemerintah memang difokuskan untuk memulihkan ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengakui, kinerja ekonomi pemerintahan Jokowi-Amin relatif baik di tengah kerawanan situasi akibat pandemi. ”Kami melihat pada awalnya ekonomi nge-drop, tapi itu dialami bukan hanya oleh Indonesia. Semua negara mengalami hal sama,” katanya.
Respons cepat pemerintah pun dinilai Apindo cukup baik, terbukti dari kesigapan Indonesia dalam mencari dan mendapatkan vaksin Covid-19. Selain itu, pemerintah juga tidak pernah memutuskan karantina wilayah atau lockdown total seperti dilakukan negara-negara lain. Para pengusaha memahami keputusan itu dilakukan untuk menjaga ekonomi tidak jatuh.
Baca juga: Presiden: Belum Ada Pelonggaran PSBB
Strategi pemerintah, lanjut Hariyadi, terbukti efektif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat minus, tetapi tidak sedalam negara-negara lain. Meski upaya pemerintah, terutama terkait stimulus dunia usaha, dinilai belum optimal, para pengusaha dapat memahami hal itu terjadi karena keterbatasan anggaran.
Secara terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengungkapkan, pemerintah konsisten memulihkan ekonomi nasional hingga WHO menyatakan pandemi berakhir. Strateginya adalah dengan mengawinkan kebijakan ekonomi dan kesehatan. ”Jadi, antara gas dan rem, antara kebijakan pemulihan ekonomi dengan penerapan protokol kesehatan, itu menjadi sinergi kebijakan ekonomi ke depan. Dan, kita lihat bahwa alhamdulillah, sampai dengan posisi September 2021, secara perlahan kecenderungan pemulihan ekonomi memberikan optimisme kepada kita,” katanya.
Indikatornya, antara lain, terlihat dari Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari IHS Markit yang berada di level 50 ke atas, menandakan manufaktur telah kembali pada zona ekspansi. Mobilitas orang dan barang yang menentukan juga terhadap perekonomian, juga membaik. Hal sama ditunjukkan beberapa indikator terkategori windfall.
”Maksud windfall di sini adalah basis ekspor perdagangan kita banyak berupa komoditas seperti batubara, sawit, dan harganya saat ini sangat baik. Maka, kemudian ini juga mendatangkan devisa yang ditunjukkan dengan surplus perdagangan dalam beberapa bulan terakhir. Dan, ini tentu nanti juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi karena kita berada di dalam posisi ekspor dikurangi impor pada neraca yang surplus,” ujar Arif.
Selain itu, pemerintahan Jokowi-Amin juga konsisten menjalankan aktivitas ekonomi berbasis Indonesia-sentris dan membangun dari pinggir. Walaupun pandemi, pemerintah tetap dapat menyelesaikan UU Cipta Kerja dengan harapan regulasi tersebut dapat meningkatkan lapangan kerja.
Secara bersamaan, simultan, pemerintah juga tidak pernah berhenti membangun SDM melalui proses pendidikan, baik formal maupun nonformal. Di sisi lain, masih dalam kerangka peningkatan produktivitas ekonomi, aktivitas membangun konektivitas juga tidak berhenti. Semisal, membangun sarana yang menghubungkan transportasi secara cepat, termasuk tol dari Jawa sampai ujung Sumatera.
Seperti diketahui, persoalan paling utama di dalam wilayah timur Indonesia untuk dapat menjangkau akses pasar ke luar adalah masalah mobilitas, dalam hal ini transportasi. ”Ini yang dikerjakan secara serius oleh Presiden dengan mempercepat Trans-Papua, kemudian tol laut, yang terus dilakukan secara konsisten. Memang tidak bisa cepat, tetapi konsisten. Dan, kita harapkan ini dapat dilakukan secara berkelanjutan sampai kapan pun dan siapa pun yang memerintah NKRI,” ujar Arif.