Diusulkan, Penggunaan Kamera Tubuh bagi Personel Polri untuk Tekan Kekerasan Berlebih
Kompolnas mengusulkan, salah satu mekanisme pengawasan yang bisa dilakukan ialah penggunaan kamera tubuh bagi polisi yang bertugas di lapangan. Penggunaan alat tersebut diyakini bisa menekan kekerasan berlebih.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan aparat kepolisian terhadap mahasiswa pengunjuk rasa menunjukkan pemahaman atas hak asasi manusia atau HAM belum sepenuhnya diterapkan pada kerja-kerja personel Bhayangkara. Diperlukan pembaruan terhadap budaya dan sejumlah aturan yang ada di internal dan eksternal Polri.
Selain itu, untuk pengawasan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengusulkan penggunaan kamera tubuh (body camera) bagi polisi yang bertugas di lapangan.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan, kekerasan yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa pengunjuk rasa di Tangerang, Banten, menunjukkan polisi yang bertugas di lapangan masih memerlukan pembekalan pengetahuan tentang HAM dan penindakan demonstrasi. Cara pikir mereka dalam menghadapi demonstran perlu diluruskan, yakni dengan bertindak bijaksana dan tidak terpancing jika ada provokasi.
”Dalam menangani aksi demonstrasi sudah ada aturan terkait penggunaan kekuatan. Ada tahapan-tahapannya. Namun, pada intinya setiap tindakan anggota Polri dalam melakukan pengamanan harus tetap menghormati hak asasi manusia sehingga tidak boleh ada kekerasan berlebihan,” kata Poengky saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/10/2021).
Penanganan demonstrasi setidaknya merujuk pada tiga Peraturan Kapolri (Perkap). Pertama, dalam Pasal 7 Ayat (1) Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengedalian Massa. Di situ dijelaskan, terhadap masyarakat yang tengah menyampaikan pendapat di muka umum, polisi dilarang bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa, serta melakukan tindak kekerasan yang tidak sesuai prosedur. Selanjutnya pada Pasal 7 Ayat (2) disebut, polisi wajib menghormati hak asasi manusia (HAM) dari setiap orang yang berunjuk rasa.
Hal serupa disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (1) Perkap Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-hara. Anggota Polri tidak boleh terpancing emosi oleh perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan, membawa peralatan lain selain peralatan penindakan huru-hara, dan keluar dari formasi.
Baca Juga: Kekerasan Anggota Polisi terhadap Mahasiswa Berpotensi Melanggar HAM
Selain itu, polisi juga dilarang bersikap arogan, mengucapkan kata-kata kotor, memaki-maki dan melakukan gerakan tubuh yang bersifat pelecehan seksual atau perbuatan asusila, dan atau memancing emosi massa. Polisi juga dilarang melakukan tindakan tanpa perintah komandan satuan penindakan huru-hara Brimob Polri selaku penanggung jawab teknis di lapangan.
Selanjutnya, pada Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dijelaskan bahwa penggunaan kekuatan oleh polisi dimungkinkan, tetapi dengan prinsip proporsionalitas. Proporsionalitas yang dimaksud adalah penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.
Selain itu, setiap polisi wajib menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal itu diatur dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pasal 44 Ayat (1) Perkap No 8/2009 menyebutkan, setiap anggota Polri dilarang melakukan tindak kekerasan dengan dalih untuk kepentingan umum atau untuk penertiban kerusuhan.
Poengky menambahkan, dalam kasus kekerasan di Banten, polisi yang tengah bertugas adalah bintara muda yang mungkin sebaya dengan para pendemo. Oleh karena itu, arahan pimpinan untuk mempersiapkan dan mengawasi tugas personel semakin diperlukan.
”Selanjutnya harus segera dievaluasi agar ada perbaikan,” katanya.
Dia mengusulkan, salah satu mekanisme pengawasan yang akuntabel adalah penggunaan kamera tubuh (body camera) bagi polisi yang bertugas di lapangan. Merujuk negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, penggunaan alat tersebut diyakini mampu menurunkan tingkat kekerasan berlebihan yang dilakukan aparat.
Kekerasan berlebihan
Kekerasan personel Polri yang mendapat sorotan beberapa hari terakhir terjadi saat sejumlah polisi mengamankan demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang, Rabu (13/10). Saat itu, seorang mahasiswa dibanting aparat. Sebuah video merekam detik-detik peristiwa tersebut. Pengunjuk rasa yang adalah mahasiswa tampak terdiam, tak lama kemudian seperti mengejang.
Pada Kamis (14/10), beredar pula video pemukulan pengguna jalan oleh oknum polisi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dikutip dari Kompas.com, Kapolresta Deli Serdang Komisaris Besar Yemi Mandagi membenarkan terjadinya peristiwa tersebut. Pemukulan terjadi saat polisi berselisih paham dengan pengendara motor yang melanggar lalu lintas.
Atas kejadian tersebut, Yemi Mandagi meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Polresta Deli Serdang juga langsung memproses pelanggaran dan mencopot personel yang melakukan pemukulan tersebut dari jabatannya.
Baca Juga: Banting Mahasiswa Saat Unjuk Rasa, Brigadir NP Minta Maaf
Sejumlah peristiwa tersebut menambah catatan kekerasan aparat dalam penanganan demonstrasi. Erasmus Napitupulu, anggota Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari 15 lembaga, mencontohkan, hal serupa terjadi dalam penanganan unjuk rasa besar-besaran mahasiswa pada 2019 dan 2020. Saat itu, terjadi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang serta kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa dan terluka.
Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sepanjang Juni 2020-Mei 2021, setidaknya ada 651 kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap masyarakat sipil. Sebanyak 13 orang tewas dan 98 orang terluka.
Catatan Imparsial, dalam kurun 2016-2020, terdapat 76 kasus penyiksaan dalam tugas pemolisian. Dari 76 kasus itu, 17 di antaranya terjadi di tingkat polsek, 51 kasus di polres, 5 kejadian di polda, 1 peristiwa oleh Brimob, dan 1 peristiwa oleh Densus 88 Antiteror. Kasus yang dimaksud berupa pemukulan (57 temuan), pencambukan (11 temuan), penodongan atau pengancaman dengan senjata (6 temuan), penyetruman (4 temuan). Setidaknya 25 orang tewas akibat praktik tersebut.
”Jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh jajaran Polri, peristiwa serupa akan terus berulang dan dengan sendirinya akan mencoreng nama baik institusi Polri, juga menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri,” kata Erasmus.
Dia menambahkan, koalisi menilai masalah kekerasan aparat terjadi karena pengabaian masalah struktural. Penyelesaian masalah itu tidak cukup dengan pendekatan kasuistik, tetapi harus dengan pendekatan integral, yakni reformasi kepolisian dengan revisi Undang-Undang Kepolisian.
Selain UU, diperlukan pula evaluasi terhadap aturan internal Polri. Salah satunya dengan merevisi Perkap No 1/2009, yakni dengan memasukkan aturan sanksi yang tegas dan kewajiban memproses pidana bagi anggota yang terbukti melanggar prosedur.
Perkap No 8/2009 juga perlu diubah dengan menyertakan lampiran standar operasional prosedur terkait tugas pemolisian yang demokratis. ”Kapolri juga memperbaiki proses pendidikan untuk mengakhiri budaya kekerasan yang masih kuat di kepolisian,” ucap Erasmus.
Polri terus berupaya
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, Kapolda Banten Inspektur Jenderal Rudy Heriyanto Adi Nugroho telah menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan anggota bernama Brigadir NP yang melakukan hal di luar prosedur penanganan unjuk rasa. Pelanggaran tersebut saat ini tengah ditangani Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Banten.
”Atas perbuatan (Brigadir NP), Kapolda akan tegas memberikan sanksi sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ramadhan.
Selain menangani pelanggaran, Polda Banten juga bertanggung jawab atas kesehatan korban, yakni MFA. Kondisinya senantiasa dipantau hingga kembali sehat. Ketika sudah sehat dan siap, polisi baru akan memintai keterangan yang diperlukan untuk menangani pelanggaran prosedur oleh Brigadir NP.
”Polri meminta masyarakat untuk mempercayakan penanganan perkara ini. Tentunya kami melakukan proses ini sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku,” kata Ramadhan.
Ia menambahkan, Polri terus berupaya mencegah kekerasan yang dilakukan anggota di lapangan. Pencegahan dilakukan dengan pembinaan personel. Namun, jika kekerasan tetap terjadi, oknum yang terlibat akan ditindak tegas.
”Bagi anggota yang melakukan perbuatan (kekerasan) akan mendapatkan risikonya. Pimpinan Polri tidak akan melindungi anggota yang melakukan perbuatan (kekerasan), apalagi sampai mencoreng nama baik Polri,” ujar Ramadhan.