Integritas Instansi Pemerintahan Kembali Dinilai Kritis untuk tentukan Indeks Persepsi Korupsi
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kamis, mengatakan, indeks persepsi korupsi yang selama ini dikeluarkan oleh Transparency International, belum memberikan kejelasan. Akibatnya, tiap instansi asal terima saja hasilnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi mencoba memetakan kembali potensi korupsi di instansi pemerintahan melalui survei penilaian integritas atau SPI pada 2021. Hasil survei tersebut diharapkan menjadi masukan bagi perbaikan tata kelola pemerintahan. Dalam survei sebelumnya, persoalan integritas di sebagian besar instansi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibereskan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam webinar SPI 2021, Kamis (14/10/2021), mengatakan, indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index) yang selama ini dikeluarkan oleh Transparency International, belum memberikan panduan yang jelas bagi perbaikan indeks itu sendiri. Alhasil, semua pihak asal menerima saja hasil indeks yang ada.
Untuk itu, KPK dan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2016 membuat SPI dengan melibatkan pihak internal, masyarakat, serta ahli. Dengan begitu, pengukuran tingkat integritas suatu instansi lebih mendalam dan memunculkan solusi perbaikan.
Baca Juga: Minim, Lembaga Berpredikat Bebas Korupsi
Lebih dari itu, hasil SPI juga bisa menjadi instrumen pembanding atas raihan predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) suatu instansi yang disematkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB).
“Indeks SPI bukan alat untuk menghukum atau menghakimi. Misalnya, nanti di suatu kementerian, lembaga, dan pemda, indeks SPI tinggi, itu bukan berarti juga di situ tidak ada korupsi. Sebaliknya, kalau indeks SPI-nya rendah, nah itu seharusnya menjadi perhatian bagi instansi tersebut untuk perbaikan ke depan”
“Indeks SPI bukan alat untuk menghukum atau menghakimi. Misalnya, nanti di suatu kementerian, lembaga, dan pemda, indeks SPI tinggi, itu bukan berarti juga di situ tidak ada korupsi. Sebaliknya, kalau indeks SPI-nya rendah, nah itu seharusnya menjadi perhatian bagi instansi tersebut untuk perbaikan ke depan,” ujar Alexander.
Dalam webinar tersebut, hadir sejumlah pembicara di antaranya Kepala BPS Margo Yuwono; Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Murti Utami; Wakil Gubernur Sumatera Utara, Musa Rajekshah; Bupati Bogor, Ade Munawaroh Yasin; Bupati Boyolali, Mohammad Said Hidayat; serta Bupati Buru, Ramly I Umasugi.
Berdasarkan SPI tahun 2019, korupsi masih tumbuh subur di instansi pemerintahan. Dalam survei yang dilakukan pada 127 instansi, keberadaan calo pada pelayanan publik ditemukan pada 99 persen instansi. Penerimaan gratifikasi pada pelayanan publik ditemukan pada 91 persen instansi. Kemudian, suap dalam lelang jabatan ditemukan juga pada 63 persen instansi.
“SPI ini sudah menjadi program nasional yang nanti akan dikaitkan dengan program-program kementerian, lembaga, dan pemda. Jadi, tak menutup kemungkinan, SPI ini bisa juga menjadi penilaian buat Kementerian Keuangan dalam memberikan insentif”
Survei ini menyasar pengalaman masyarakat dan pegawai instansi tersebut. Selain itu, tim ahli independen juga dilibatkan untuk menilai hasil survei yang ada terkait sejauh mana instansi telah berhasil dalam memberi layanan publik kepada masyarakat.
Menurut Alexander, hasil SPI 2019 mengonfirmasi hasil penindakan KPK selama ini. Misalnya, suap dalam lelang jabatan. Beberapa kegiatan operasi tangkap tangan oleh KPK juga menyangkut tindak pidana korupsi kategori itu.
Untuk itu, KPK akan kembali melakukan SPI di 2021 ini untuk melihat perbaikan sistem pencegahan korupsi yang dilakukan instansi. Survei juga ingin mengukur komitmen dari pimpinan kementerian, lembaga, pemda, dalam pemberantasan korupsi serta perbaikan tata kelola pemerintahan. Adapun, pada tahun ini, survei akan dilakukan secara daring melalui aplikasi e-SPI di 542 pemda dan 98 kementerian/lembaga.
“SPI ini sudah menjadi program nasional yang nanti akan dikaitkan dengan program-program kementerian, lembaga, dan pemda. Jadi, tak menutup kemungkinan, SPI ini bisa juga menjadi penilaian buat Kementerian Keuangan dalam memberikan insentif,” ucap Alexander.
Gap pandangan
Sementara itu, Margo Yuwono menambahkan, pengukuran integritas menjadi penting bagi instansi pemerintahan untuk mengukur capaian agenda prioritas nasional di bidang hukum, salah satunya di bidang pencegahan korupsi, serta keberhasilan agenda reformasi birokrasi yang digagas Kemenpan dan RB di mana pemerintah dituntut menciptakan birokrasi yang bersih dan akuntabel.
“Tentu saja, survei ini bisa menjadi self check, bagaimana melihat dirinya terhadap integritas dari lembaganya,” tutur Margo.
Margo merinci, dari hasil SPI 2019, skor indeks integritas secara nasional adalah 76,98 pada skala 100. Itu didapat dari penilaian rata-rata atas tiga dimensi, yakni internal (87,14), eksternal (75,18), serta ahli (71,28). Adapun, untuk internal, itu meliputi budaya organisasi, pengelolaan sumber daya manusia, sistem antikorupsi, dan pengelolaan anggaran. Lalu, pihak eksternal seperti transparansi, sistem antikorupsi, dan integritas dari pegawai.
Menurut Margo, dari hasil penilaian, ternyata ada gap yang jauh antara nilai internal dan eksternal. Ini artinya, pihak internal berpendapat integritas di instansinya bagus. Sebaliknya, pihak eksternal atau masyarakat melihat integritas di instansi tersebut masih belum baik. Ini, lanjutnya, perlu menjadi catatan ke depan bagi pihak internal dalam mengisi kuesioner. Kejujuran dari responden dalam mengisi kuesioner menjadi penting karena menyangkut kualitas hasil SPI.
“Jadi, karena ini hasilnya bisa dipakai untuk instansi kita sendiri, untuk self check, maka pimpinan lembaga pusat dan daerah perlu mendorong agar jawaban yang diberikan adalah sejujur-jujurnya sehingga bisa memetakan kondisi yang sebenarnya,” ujar Margo.
Perbaikan kinerja
Sementara itu, Murti Utami menyampaikan, hasil SPI selama ini bisa memberi perbaikan dan introspeksi bagi Kemenkes. Apalagi, ia menyadari, pelayanan Kemenkes sangat dekat dengan publik, mulai dari pelayanan kesehatan, pemberian izin edar, serta sertifikasi produksi dan distribusi alat kesehatan.
“Kami berkomitmen, survei ini sebuah bagian dari peningkatan kinerja, bukan penilaian yang jelek atau buruk. Jadi (SPI ini) untuk melakukan perbaikan. Kita harus tahu, karena ini bisa menjadi alat untuk memetakan risiko, terus mitigasinya seperti apa”
“Kami berkomitmen, survei ini sebuah bagian dari peningkatan kinerja, bukan penilaian yang jelek atau buruk. Jadi (SPI ini) untuk melakukan perbaikan. Kita harus tahu, karena ini bisa menjadi alat untuk memetakan risiko, terus mitigasinya seperti apa,” ujar Murti.
Musa Rajekshah pun berpendapat, penilaian ini sangat penting apalagi melibatkan pihak eksternal. Sebab, menurut dia, jika penilaian hanya melibatkan pihak internal, maka hasilnya kemungkinan besar akan menjadi bias. Terlepas dari itu, SPI ini diperlukan untuk mengoreksi penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai masih buruk.
“Karena kalau kita tanya internal kita, bisa jadi saling menutupi. Tetapi dengan melibatkan pandangan eksternal dan expert, akan ketahuan, dan kita tahu lebih awal untuk diperbaiki. Artinya, tidak semata-mata hanya nanti penindakan. KPK, kan, ingin pencegahan,” ucap Musa.
Bahkan, lanjut Musa, patut dipertimbangkan agar hasil SPI dipublikasi. Ini bukan untuk menyudutkan instansi yang mendapatkan nilai buruk, tetapi menjadi bagian dari instropeksi diri.
“Meski ada yang kurang baik, enggak papa, biar ini jadi beban kami, beban malu, beban mental agar diperbaiki sehingga tahun depan tidak lagi. Kalau mau memimpin yang benar, harus berani dikoreksi,” tuturnya.