Hukuman mati yang masih diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, menimbulkan pertentangan antara pentingnya penegakan hukum yang tegas dan hilangnya jaminan hak asasi manusia pelaku kejahatan.
Oleh
EREN MARSYUKRILLA/Litbang Kompas
·5 menit baca
Sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati sekalipun kerap menimbulkan dilema antara ketegasan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Hukuman mati diharapkan tetap diberlakukan, terutama untuk kasus-kasus kejahatan berat.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas, pekan lalu. Berbicara soal hukuman mati tentu tak lepas dari Hari Anti Hukuman Mati Internasional yang diperingati setiap 10 Oktober. Peringatan dimaksudkan untuk mengadvokasi penghapusan hukuman mati, termasuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap kondisi terpidana mati.
Peringatan ini pertama kali dilakukan Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati pada 2003. Gerakan itu mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi nonprofit dan pemerintahan dunia, mulai dari Amnesty International, Uni Eropa, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Di Indonesia, penerapan hukuman mati masih terus menuai pro kontra. Sekalipun hal itu dijatuhkan kepada pelaku pidana berat, hukuman mati tetap melahirkan diskursus. Gerakan mendesak moratorium, bahkan penghapusan hukuman mati, juga bermunculan di Indonesia.
Hukuman mati tergolong jenis hukuman pidana terberat karena harus merenggut jiwa pelaku kejahatan. Hal ini yang membuat penjatuhan vonis mati kerap ”berbenturan” dengan HAM yang menjunjung tinggi kewajiban mempertahankan hidup setiap insan.
Kondisi dilematis yang tarik-menarik itu pun tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas. Hasil survei ini mengungkap kebimbangan publik dalam menyikapi hukuman mati di Indonesia. Sekalipun porsi responden yang sepakat terhadap pemberlakuan hukuman mati lebih dominan (56,4 persen), masih terdapat tak kurang dari 43,6 persen responden yang berseberangan pendapat.
Memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan menjadi alasan yang paling banyak dikemukakan oleh lebih dari 62 persen responden yang setuju dengan hukuman mati. Sementara sekitar seperempat responden berpandangan bahwa hukuman mati merupakan wujud dari penegakan hukum yang tegas.
Dari sisi kelompok responden yang menolak hukuman mati, 43,8 persen di antaranya menilai penerapan vonis mati tak ubahnya sebuah kekejaman yang tidak manusiawi. Sejalan dengan itu, sekitar 26,7 persen responden lain menyatakan tak sepakat dengan hukuman mati karena bertentangan dengan HAM yang semestinya dijunjung tinggi.
Hak untuk hidup
Dalam penjelasannya, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM mengungkapkan, meski dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, hal itu melanggar hak untuk hidup bagi manusia seperti yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM.
Konstitusi di Indonesia juga memberikan penghargaan tinggi terhadap hak untuk hidup. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menjelaskan HAM mencakup hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran nurani, beragama, dan hak untuk tidak diperbudak.
Amnesty International dalam laporannya juga menyebutkan bahwa lebih dari dua per tiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati dalam regulasi atau dalam praktiknya. Indonesia dan banyak negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, hingga Amerika Serikat yang masih aktif menerapkan hukuman mati untuk sejumlah tindak kejahatan, masuk dalam kategori negara yang retensionis. Negara yang mempertahankan hukuman mati bagi kejahatan biasa.
Kondisi itu berkebalikan dengan negara-negara Eropa yang telah memilih sebagai negara abolisionis untuk segala jenis kejahatan. Ini berarti tidak mencantumkan hukuman mati untuk segala tindak kejahatan.
Meskipun demikian, dengan segala dilemanya, penerapan hukuman mati di Indonesia sejauh ini masih dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima khalayak. Hal itu diungkapkan oleh 67,4 persen responden yang meyakini bahwa hukuman mati dapat menghadirkan ketegasan dan keadilan hukum, serta kedamaian di Indonesia.
Berdasarkan data Amnesty International Indonesia yang dirilis pada April 2021, tiga tahun terakhir jumlah vonis hukuman mati meningkat drastis. Pada 2018, ada 48 vonis hukuman mati, setahun kemudian meningkat menjadi 80 vonis mati. Pemberian vonis mati kembali naik signifikan, mencapai 46 persen, pada 2020 dengan total 117 hukuman.
Mayoritas hukuman mati terkait kasus narkotika (101 kasus), dan 16 kasus lain menyangkut tindak pidana pembunuhan. Kondisi tahun 2020 juga menempatkan Indonesia masuk dalam lima besar negara yang tercatat oleh Amnesty International dengan hukuman mati paling banyak setelah China (lebih dari 1.000), Yaman (269), Mesir (264), dan Zambia (119). Terkait itu pula, pada tahun 2015 hingga 2018, PBB melayangkan protes dan meminta Indonesia untuk melakukan moratorium hukuman mati.
Kejahatan berat
Di Indonesia, hukuman mati pada dasarnya memang dijatuhkan pada kasus-kasus pidana berat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kasus tersebut melingkupi kejahatan narkotika, pembunuhan berencana, pemerkosaan terhadap anak, hingga terorisme. Kasus lain yang juga masuk dalam kategori kejahatan luar biasa dan dapat dijatuhkan vonis mati adalah korupsi.
Jajak pendapat Kompas pun mengungkap bahwa secara garis besar publik sepakat jika hukuman mati diterapkan untuk kasus-kasus pidana berat. Bahkan untuk kasus terorisme, tak kurang dari 84 persen responden satu suara, tegas menyatakan hukuman mati harus ditegakkan bagi teroris.
Sejalan dengan itu, publik pun tampaknya setuju jika hukuman mati diterapkan untuk kasus-kasus pidana berat lain. Tujuh dari sepuluh responden mendukung penerapan hukuman mati untuk kasus narkotika, pembunuhan berencana, bahkan korupsi. Sikap ini sejalan dengan banyak kalangan yang menilai hukuman mati layak diterapkan pada pelaku korupsi.
Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada koruptor yang dijatuhi hukuman mati. Namun, wacana hukuman mati untuk koruptor sempat menyeruak. Hukuman mati itu sebenarnya sudah diamanatkan UU No 31/1999, yang telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 Ayat (2) dalam UU itu menyebutkan, ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”.
Hukuman mati memang bukan satu-satunya jalan yang dapat memberikan jaminan kejahatan tidak akan terulang. Penguatan regulasi dan sistem peradilan, hingga pelibatan semua pemangku kebijakan, tetap harus dikedepankan guna menghadirkan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan, tetapi tak melanggar HAM.