Representasi Perempuan di KPU dan Bawaslu Rendah, Publik Perlu Kawal Proses Seleksi
Keterwakilan perempuan di Komisi Pemilihan Umum hanya 14,29 persen atau 1 dari 7 anggota. Sementara di Bawaslu, keterwakilan perempuan hanya 1 dari 5 anggota atau berkisar 20 persen.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik mesti ikut mengawal representasi perempuan dalam seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Tim seleksi KPU dan Bawaslu perlu memberikan nilai tambah bagi perempuan yang mendaftar agar keterwakilan paling sedikit 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu dapat terpenuhi.
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dalam dua kali seleksi anggota KPU dan Bawaslu tak pernah mencapai 30 persen. Di KPU, keterwakilan perempuan yang terpilih hanya 14,29 persen atau 1 dari 7 anggota. Sementara di Bawaslu, keterwakilan perempuan juga hanya 1 dari 5 anggota atau berkisar 20 persen.
Begitu pula dari proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu. Perempuan yang mendaftar sebagai calon anggota KPU pada 2016 sebanyak 29 persen dan 2012 sebanyak 18 persen. Adapun pada seleksi calon anggota Bawaslu tahun 2016, perempuan yang mendaftar sebanyak 26,4 persen dan 14 persen pada seleksi tahun 2012. Dalam dua kali periode penyelenggara, baik dari proses pendaftaran maupun keterpilihan, tak pernah mencapai 30 persen.
Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani, mengatakan, keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu cenderung sulit dipenuhi karena aturan terkait afirmasi perempuan tidak bersifat mandatori. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada kewajiban komposisi penyelenggara pemilu harus 30 persen perempuan. UU hanya menyebutkan komposisi agar memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
”Tidak ada afirmasi yang sifatnya mandatori dari sisi pencalonan. Artinya, dari tahap seleksi mulai kompetisi bebas. Sementara di hilir ada afirmasinya, bukan mandatori tetapi imbauan,” kata Wardani saat webinar bertajuk ”Peluang dan Tantangan Keterwakilan Perempuan di KPU RI dan Bawaslu RI Menuju Pemilu 2024”, Minggu (10/10/2021).
Hadir sebagai pembicara selain Wardani adalah Wakil Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah, Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia Prof Nurliah Nurdin, dan Sekretaris Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI Luluk Nur Hamidah.
Wardani menyampaikan, ada lima tantangan yang membuat jumlah perempuan terpilih sebagai penyelenggara pemilu rendah, di antaranya sumber daya perempuan potensial masih terbatas untuk mengisi posisi jabatan politik, perempuan yang memiliki pengetahuan kepemiluan masih terbatas, serta pengalaman jejaring dan kepemiluan perempuan yang terbatas. Kemudian proses seleksi cenderung netral jender dalam perencanaan, regulasi, dan implementasi, serta kepentingan politik yang masih kental.
Oleh sebab itu, ia mengajak publik agar ikut mengawal afirmasi perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu. Sejak masa pendaftaran, keterlibatan perempuan harus dikawal karena masa pendaftaran merupakan masa krusial. Sosialisasi intensif harus dilakukan agar menjangkau target perempuan potensial bisa mendaftar.
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengidentifikasi perempuan potensial, terutama yang pernah menjadi penyelenggara pemilu di daerah, untuk ikut mendaftar. Selain itu, publik bisa menghubungi pihak perguruan tinggi untuk memperoleh informasi akademisi perempuan yang potensial untuk ikut mendaftar.
Dalam jangka panjang perlu memperkuat kebijakan afirmatif dalam Undang-Undang tentang Pemilu.
Pada tahap seleksi administrasi, tim seleksi perlu memberikan nilai tambah bagi perempuan pendaftar yang memiliki rekam jejak dalam aktivisme organisasi tetapi minim pengalaman pemilu. ”Lakukan rekap beberapa perempuan pendaftar perempuan yang lolos pada tahap seleksi administrasi dan usahakan jumlahnya 30 persen dari total pendaftar,” ujar Wardani.
Selanjutnya, pada tahap tes tertulis, jika jumlah perempuan yang lolos tahap selanjutnya sangat sedikit, perlu dipikirkan melakukan peringkat terpilah antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, akan tetap ada perempuan yang lolos ke tahap tes kesehatan dan wawancara. Tindakan afirmatif perlu dilakukan agar perempuan memiliki pengalaman mengikuti proses seleksi hingga tahap akhir sehingga bisa menjadi efek bergulir bagi penguatan partisipasi perempuan dalam kepemiluan.
”Dalam jangka panjang perlu memperkuat kebijakan afirmatif dalam Undang-Undang tentang Pemilu,” tuturnya.
Hurriyah mengatakan, Puskapol UI mengadakan program She Leads 2021 untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu. Program yang pertama kali dilakukan pada 2016 itu dilakukan untuk mendorong lebih banyak perempuan mendaftar dan menyiapkan perempuan potensial mengikuti proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu.
Pada She Leads 2021, ada 158 peserta ikut program ini, meningkat dibandingkan dengan tahun 2016 yang diikuti 96 peserta. Dari pengalaman tahun 2016, 76 dari 96 alumni program ini mendaftar seleksi calon penyelenggara pemilu dan berkontribusi setidaknya 47 persen dari seluruh pendaftar perempuan. Hasilnya, ada 11 alumni program She Leads terpilih menduduki posisi penyelenggara pemilu, yakni masing-masing 1 orang di KPU RI dan Bawaslu RI, 4 orang di KPU provinsi, dan 5 orang di Bawaslu provinsi.
”Program She Leads telah meningkatkan jumlah peserta perempuan yang lolos dalam tahapan seleksi administrasi dan tes tertulis,” ujar Hurriyah.
Nurliah menuturkan, pemerintah perlu melakukan revisi regulasi agar seleksi penyelenggara pemilu lebih ramah bagi perempuan. Sebab, sering kali keterlibatan perempuan terganjal di masalah regulasi. Selain itu, seluruh pihak harus mendorong perempuan agar memiliki wawasan kepemiluan yang mumpuni melalui program-program peningkatan kompetensi kepemiluan untuk perempuan.
Menurut Luluk, publik perlu ikut mengawal proses seleksi untuk memastikan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sebagai bagian dari kontrol publik. Tim seleksi yang melakukan seleksi harus berkomitmen menghadirkan penyelenggara pemilu yang berkualitas.