Penguatan TNI Dianggap Lebih Mendesak Dibandingkan Pembentukan Komponen Cadangan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengingatkan, pembentukan komponen cadangan saat ini sesungguhnya tak mendesak. Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus memperkuat komponen utamanya, yakni TNI.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta memikirkan ulang implementasi program pembentukan komponen cadangan. Di satu sisi, komponen cadangan dinilai tak mendesak, sedangkan penguatan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama pertahanan negara masih diperlukan. Di sisi lain, dasar hukum pembentukan komponen cadangan juga sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (8/10/2021), dihubungi dari Jakarta mengatakan, pembentukan komponen cadangan (komcad) itu saat ini sesungguhnya tidak mendesak. ”Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus memperkuat komponen utamanya, yakni TNI,” katanya.
Pembentukan komcad pun dinilai hanya akan menghabiskan dana triliunan rupiah untuk melatih warga sipil. Sementara pada saat yang sama ada kebutuhan meningkatkan kesejahteraan prajurit serta modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Hasil jajak pendapat Kompas pada 21-24 September 2021 yang melibatkan 503 responden di 34 provinsi, misalnya, menyebut kesejahteraan prajurit sebagai hal utama yang penting dievaluasi untuk meningkatkan kinerja TNI (36,8 persen). Hal lain yang dianggap penting pula oleh responden ialah kedisiplinan (30,8 persen) dan modernisasi sistem persenjataan (22,2 persen).
Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) tengah memeriksa pengujian konstitusionalitas 14 pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Pengujian yang diajukan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan perorangan warga negara tersebut masih dalam tahap pembuktian.
Meski dasar hukumnya sedang diuji konstitusionalitasnya di MK, Presiden Joko Widodo telah menetapkan 3.103 orang sebagai anggota komponen cadangan, Kamis (7/10/2021), di Bandung, Jawa Barat. Dari keterangan pers Kementerian Pertahanan, 3.103 anggota komcad itu disebut telah mengikuti serangkaian kegiatan, mulai dari pendaftaran sukarela, seleksi, pendidikan latihan dasar kemiliteran di rindam-rindam, dirangkai dengan Latihan Pembulatan Komponen Cadangan di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Jabar.
Dari total jumlah tersebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam keterangannya menyampaikan, pembentukan Komcad TNI Tahun Angkatan 2021 rinciannya 500 orang dari Rindam Jaya, 500 orang dari Rindam III/Siliwangi, dan 500 orang dari Rindam IV/Diponegoro. Selain itu, 500 orang dari Rindam V/Brawijaya, 499 orang dari Rindam XII/Tanjungpura, dan 604 orang dari Universitas Pertahanan.
Sudah tidak relevan
Menurut Usman, konsep pertahanan negara yang dibangun dengan pembentukan komcad sudah tidak relevan dengan tantangan pertahanan negara di masa depan. Perang dan serangan terhadap pertahanan negara sudah jauh berbeda dengan dua dekade lalu. Perang di masa kini dan masa depan pun jauh lebih kompleks daripada sekadar pengerahan pasukan melalui darat.
”Perang di masa depan ini tidak bisa didekati dengan cara-cara perang gerilya seperti masa lalu atau membayangkan orang akan berlari ke pantai, menurunkan prajurit dari pesawat, dan menyerang kita di perbatasan negara. Perang semacam itu memang bisa diatasi dengan pengerahan ribuan orang. Namun, perang di masa depan bisa terjadi dengan serangan pesawat tanpa awak,” ujarnya.
Baca juga : Presiden Jokowi: Komponen Cadangan Hanya untuk Kepentingan Pertahanan Negara
Menyikapi perang di masa depan yang lebih kompleks, menurut Usman, pendekatan yang dipilih semestinya bukan pola-pola militeristik dengan melatih komcad. Sebab, pertahanan negara bukan hanya soal militer, tetapi melibatkan juga pertahanan di berbagai bidang, seperti kesehatan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik. Untuk melakukan bela negara, warga negara tidak harus menjadi anggota komcad. Warga bisa menjadi ahli di bidang masing-masing serta berkontribusi pada kedaulatan dan kejayaan negaranya.
”Namun, kalau ini, kesannya mewajibkan. Perspektif bela negara sebagai hak diabaikan. Padahal, di dalam konstitusi disebutkan bahwa bela negara itu hak dan kewajiban warga negara. Dengan kata lain, ketika ikut bela negara mestinya tidak wajib ikuti program dasar kemiliteran,” ujarnya.
Pembentukan komcad, lanjut Usman, disinyalir merupakan cara pemerintah memberlakukan wajib militer dengan nama lain. Kebijakan wajib militer di berbagai negara pun telah dihapus karena dipandang tidak sesuai dengan hak asasi manusia (HAM), terutama hak untuk berpikir dan hak untuk bertindak sesuai kesadaran hati nurani.
Formil dan materiil
Usman mengatakan, pembentukan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) yang menjadi dasar hukum terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 sesungguhnya mengandung masalah formil dan materiil. Masalah formil pembentukan UU PSDN terlihat dari proses pembentukan undang-undang tersebut yang dilakukan terburu-buru, cenderung tertutup, dan minim partisipasi publik.
Padahal, prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Secara substantif, UU PSDN mengandung pasal-pasal bermasalah, multi-interpretatif, dan tidak sejalan dengan prinsip HAM. Pasal-pasal yang bermasalah misalnya ialah Pasal 77 Ayat (1) dan Pasal 77 Ayat (2). Pasal 77 Ayat (1) mengatur setiap anggota masyarakat yang menjadi komcad dan menghindari panggilan mobilisasi akan dikenai sanksi pidana selama paling lama empat tahun. Adapun dalam Ayat (2) diatur ancaman penjara dua tahun bagi setiap orang yang membuat komcad tidak memenuhi panggilan mobilisasi.
”Hal ini tentu menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip utama dalam pelibatan warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam norma HAM internasional,” ujarnya.
Baca juga : Relevansi Komponen Cadangan
Pembentukan komcad juga dilakukan di tengah pengaturan ruang lingkup ancaman yang sangat luas di dalam UU PSDN. Ruang lingkup ancaman itu meliputi ancaman militer, ancaman nonmiliter, dan ancaman hibrida. Luasnya ruang lingkup ancaman menimbulkan permasalahan tersendiri, di mana komcad yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri.
”Ini bahaya karena bisa saja digunakan untuk menghadapi berbagai kondisi yang dianggap sebagai ancaman di dalam negeri. Komcad bisa memicu konflik horizontal di dalam masyarakat,” ujarnya.
Proses persidangan di MK
Sejauh ini MK telah tiga kali menyidangkan perkara yang diregistrasi dengan nomor 47/PUU-XIX/2021 tersebut. Berdasarkan situs resmi MK yang dikunjungi Jumat (8/10/2021), sidang keempat akan digelar pada 25 Oktober mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan pemohon.
Adapun permohonan diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), serta perorangan Ikhsan Yosarie, Gusti Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra. Mereka meminta MK membatalkan 14 pasal dalam undang-undang tersebut serta memerintahkan pemerintah untuk menunda sementara pelaksanaan UU No 23/2019 selama masih dalam proses pengujian.
Dalam permohonannya, mereka mendalilkan, ada banyak disharmoni antara norma-norma dalam UU PSDN dan UU No 3/2002 Pertahanan Negara. Salah satunya mengenai pengaturan tugas dan fungsi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman nonmiliter dan ancaman hibrida, yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) dan (3) serta Pasal 29 UU PSDN.
Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) UU Pertahanan Negara. Disebutkan dalam pasal itu, sistem pertahanan negara yang dianut di Indonesia hanya mengenal dua jenis ancaman, yakni ancaman militer dan nonmiliter. Namun, UU PSDN menambahkan jenis ancaman hibrida yang menekankan pada aspek ideologi negara.
”Permasalahan inilah yang kemudian menjadi pangkal kekaburan dari definisi dan jenis ancaman, yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum akibat lahirnya UU PSDN,” tulis para pemohon dalam berkas permohonan.
Dalam persidangan pada 22 September 2021, Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili anggota Komisi III, Habiburokhman, menyampaikan pandangannya terhadap permohonan uji materi tersebut. Menurut dia, UU Pertahanan Negara tidak hanya membatasi lingkup ancaman dalam bentuk militer dan nonmiliter, tetapi juga ancaman yang bersifat multidimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun permasalahan keamanan terkait kejahatan internasional, seperti terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan kerusakan lingkungan.
Pandangan yang menyatakan UU Pertahanan Negara hanya mengatur ancaman militer dan nonmiliter adalah keliru. Habiburokhman menilai, kekeliruan itu terjadi akibat ketidakpahaman akan substansi UU Pertahanan Negara secara menyeluruh.
Mengelola sumber daya non-SDM
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, mengatakan, selain komcad yang berupa sumber daya manusia, ada pula tiga sumber daya lain yang diatur dalam UU PSDN, yakni sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana-prasarana nasional.
”Saya berharap Kementerian Pertahanan juga jangan lupa untuk mengelola tiga resources non-SDM tadi secara tepat sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan, di antaranya UU PSDN,” katanya.
Pasalnya, pengelolaan komcad tiga sumber daya di luar SDM ini tidak bersifat sukarela. Pemerintah memilih untuk kemudian menetapkan tiga sumber daya itu menjadi komcad. Pemilik sumber daya tidak bisa menolak.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 79 UU PSDN, ada sanksi pidana penjara maksimal empat tahun bagi pemilik dan pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana-prasarana nasional yang dengan sengaja tidak mau menyerahkan pemanfaatan sumber daya miliknya yang telah ditetapkan sebagai komcad. Bagi sumber daya yang ditetapkan sebagai komcad, selama masa aktif, biaya perawatan dan pemeliharaan ditanggung oleh negara.
”Sekali lagi, pemerintah jangan lupa terhadap pengaturan-pengaturan sumber daya ini. Pengaturan ini kita harapkan memenuhi keadilan dari sisi hak asasi warga negara,” ujarnya.