Bahas Jadwal Pemilu, DPR Dimungkinkan Konsultasi Masalah Teknis ke MK
Hari pemungutan suara Pemilu 2024 belum juga diputuskan. Baik pemerintah, DPR, maupun KPU sama-sama berkukuh mempertahankan usulan masing-masing.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat bekonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung untuk membahas standar dan waktu penyelesaian sengketa pemilu dapat saja dilakukan sepanjang tidak membahas substansi dan otoritas pengadilan dalam memutuskan suatu perkara. Namun, sebenarnya Undang-undang Pemilu pun telah memberikan batasan waktu yang jelas kapan penyelesaian sengketa itu dilakukan oleh pengadilan.
Usulan untuk melakukan konsultasi ke MK dan MA mengemuka sebagai salah satu respons DPR dalam menyikapi belum adanya titik temu mengenai hari pemungutan suara Pemilu 2024. Dalam rapat konsinyering antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, Selasa lalu, setiap peserta rapat masih tetap mempertahankan usulan masing-masing.
Pemerintah mengusulkan agar pemilu digelar pada 15 Mei 2024, sedangkan KPU mengajukan dua opsi. Pertama, Pemilu 21 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024. Kedua, Pemilu 15 Mei 2024 dan Pilkada 19 Februari 2025.
Dua pilihan yang diusulkan KPU didasarkan pada pertimbangan tahapan pencalonan pilkada tak terganggu proses sengketa pemilu di MK. KPU mengupayakan agar irisan tahapan pemilu dan pilkada tidak terlalu banyak. Pertimbangan lain adalah bagaimana agar dua kontestasi politik itu tidak menimbulkan beban berat bagi penyelenggara.
Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, DPR dapat melakukan konsultasi selama materi yang disampaikan bersifat teknis. ”Kami lihat dulu materi konsultasinya seperti apa. Mudah-mudahan tidak sampai menyentuh hal-hal yang substansial berkaitan dengan otoritas MK sebagai lembaga peradilan yang memutus perselisihan hasil pemilu,” katanya, Jumat (8/10/2021), saat dihubungi dari Jakarta.
Hal-hal teknis yang dimaksud termasuk di dalamnya batasan dan standar waktu penyelesaian perkara. Meski demikian, lanjut Fajar, MK tentu memiliki pertimbangan juga terkait rentang waktu penanganan perkara.
”Anggap saja konsultasi semacam itu bentuk sinergitas dan komunikasi kelembagaan yang dibangun secara baik demi kelancaran pelaksanaan agenda nasional ketatanegaraan dalam koridor yang sejalan dengan kewenangan masing-masing,” ucapnya.
Mengenai batas waktu penyelesaian sengketa pemilu, menurut Fajar, sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK diberi batasan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu presiden 14 hari sejak berkas permohonan diterima. Adapun untuk pemilu legislatif, batasan waktunya 30 hari, sedangkan untuk pilkada 45 hari.
Kami akan coba konsultasi dengan MK dan MA terkait dengan penyelesaian sengketa pemilu. Ini untuk membahas batasan waktu saja sehingga jangan sampai penyelesaian sengketa itu melebihi batas waktu yang diharapkan.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA, Sobandi, mengatakan, MA masih harus mendalami rencana konsultasi yang disampaikan oleh DPR. Pimpinan MA yang akan memutuskan apakah konsultasi semacam itu dapat dilakukan ataukah tidak.
Dari catatan Kompas, UU Pemilu sebenarnya juga sudah mengatur batas waktu penyelesaian sengketa administratif di MA serta sengketa proses pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk sengketa admnistratif, MA diberi waktu paling lama 14 hari sejak berkas perkara diterima MA. Adapun untuk sengketa proses pemilu melalui PTUN paling lama diputus 21 hari sejak gugatan dinyatakan lengkap.
Bukan substansi
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, konsultasi dengan MK dan MA dilakukan untuk membangun kesepahaman bersama agar penyelesaian sengketa pemilu di peradilan tidak berlarut-larut. Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, ada sengketa yang ketika sudah putus di MK, lalu diuji lagi di MA melalui mekanisme lain, atau sebaliknya. Akibatnya, sengketa itu tak kunjung berakhir.
Dengan memperhatikan kesepakatan agar pencalonan kepala daerah dalam pilkada dilakukan berdasarkan hasil Pemilu 2024, pencalonan kepala daerah baru dapat dilakukan jika sudah ada hasil pemilu yang mengikat. Artinya, tidak ada lagi gugatan terhadap hasil pemilu itu. Pencalonan pilkada berpotensi terganggu manakala sengketa hasil pemilu itu tidak kunjung diputus.
”Kami akan coba konsultasi dengan MK dan MA terkait dengan penyelesaian sengketa pemilu. Ini untuk membahas batasan waktu saja sehingga jangan sampai penyelesaian sengketa itu melebihi batas waktu yang diharapkan,” katanya.
Politikus Partai Nasdem itu mengatakan, Komisi II DPR juga tidak akan membahas mengenai substansi putusan dan otoritas MK ataupun MA dalam memutus suatu sengketa pemilu, baik sengketa hasil pemilu maupun sengketa proses dan administratif. ”Kita tidak akan mencampuri soal substansi putusan, hanya untuk membangun kesepahaman saja soal batasan waktu yang ada sehingga penyelesaian sengketa ini tidak sampai mengganggu pencalonan pilkada,” ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, kosultasi dengan MK dan MA juga tidak bisa menjamin dinamika perselisihan hasil pemilu itu dapat dikendalikan. Sebab, perselisihan hasil pemilu (PHPU) melibatkan kepentingan partai politik (parpol) dalam memperoleh keadilan. PHPU dalam pemilu yang ditangani oleh MK pun ada lima jenis, yaitu sengketa pilpres, pileg nasional, pileg provinsi, dan pileg kota/kabupaten, dan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
”MK selalu mendahulukan sengketa pilpres, dan waktu yang diatur oleh UU Pemilu sudah pendek, yaitu 14 hari. Kalaupun mau membuat kesepakatan dengan MK dan MA, ini juga berpotensi mengganggu kemandirian mereka dalam menyelesaikan perkara pemilu yang mereka kelola. Sebab, mereka pun semestinya bekerja independen dan tanpa tekanan,” ujar Titi.
Sementara terkait pembentukan tim seleksi anggota KPU yang baru, peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Aqqidatul Izza Zain, menilai prosesnya cenderung tertutup. Hal ini dipandang kurang baik karena minim pelibatan publik dalam mekanisme pemilihan timsel yang dilakukan oleh pemerintah. Keterbukaan itu dinilai penting untuk memastikan anggota timsel yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik.
”Kualitas anggota pansel nantinya menentukan juga bagaimana kualitas anggota KPU terpilih. Ke depannya ini juga akan menentukan kredibilitas dan kualitas pemilu kita,” ujarnya.