Petunjuk Baru dari Dugaan Pembicaraan Tiga Terpidana Kasus Joko Tjandra
Dugaan rekaman pembicaraan beserta transkripnya di antara ktiga terpidana kasus Joko Tjandra beredar. Ini dinilai bisa menjadi bukti dan petunjuk baru untuk mengungkap pihak-pihak yang belum tersentuh hukum di kasus itu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rekaman pembicaraan yang diduga antara Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, dan Tommy Sumardi menyebutkan kemungkinan adanya pihak lain dalam kasus pelarian Joko Tjandra yang belum tersentuh hukum. Tak hanya itu, pembicaraan menunjukkan tak adanya penyerahan uang dari Tommy kepada Napoleon dalam kasus penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar pencarian orang.
Di dalam rekaman percakapan berdurasi 1 menit 8 detik tersebut, terdapat 3 orang yang bercakap-cakap. Di dalam transkrip rekaman yang menyertai, disebutkan bahwa rekaman tersebut terjadi antara Napoleon, Prasetijo, dan Tommy pada pukul 20.20 WIB, 14 Oktober 2020, di Rumah Tahanan Negara (Rutan) cabang Bareskrim, Polri.
Dalam percakapan tersebut, salah seorang yang disebutkan sebagai NB atau Napoleon Bonaparte menyebut nama seseorang sebanyak 3 kali, tetapi suara ataupun transkripnya disensor. Kemudian, dalam percakapan tersebut ditunjukkan bahwa pihak yang disebut TS atau Tommy Sumardi mengatakan tidak menyerahkan uang kepada Napoleon ketika ditanya PU atau Prasetijo Utomo.
Selain rekaman pembicaraan berikut transkripnya, beredar pula surat pernyataan berjudul ”Saatnya Bangkit” yang ditandatangani Napoleon Bonaparte. Dalam surat pernyataan tersebut tertulis catatan bahwa bukti berupa rekaman suara dan transkripnya terlampir.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memvonis Napoleon 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim menilai Napoleon terbukti menerima uang 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi. Tommy dan Prasetijo turut dihukum dalam kasus pelarian Joko dan kini mendekam di lembaga pemasyarakatan.
Kuasa hukum Tommy Sumardi, Dion Pongkor, ketika dihubungi, Kamis (7/10/2021), mengatakan, pembicaraan yang ada di dalam rekaman beserta transkripnya tersebut tidak benar. Selain itu, hingga saat ini Tommy tidak pernah mencabut keterangannya bahwa telah memberikan uang kepada Napoleon sebagaimana terungkap di persidangan.
"Intinya, yang dibicarakan tidak benar. Kedua, Pak Tommy Sumardi di Rutan Bareskrim itu di bawah tekanan dan bahkan diancam dibunuh,” katanya.
Menurut Dion, kondisi Tommy Sumardi yang berada di bawah ancaman dan tekanan turut memengaruhi perkataannya, termasuk perkataan dari Tommy yang dianggap didikte untuk mengatakannya. Dion menegaskan, yang benar adalah yang terungkap di persidangan. ”Rekaman itu dikeluarkan untuk mencari sensasi saja,” kata Dion.
Secara terpisah, kuasa hukum Prasetijo Utomo, yakni Rolas Sitinjak, mengatakan bahwa Prasetijo tidak mengetahui adanya rekaman tersebut.
Adapun kuasa hukum Napoleon Bonaparte, Ahmad Yani, tidak menjawab pertanyaan Kompas terkait rekaman tersebut. Padahal, sebelumnya Ahmad Yani mengatakan bahwa ada rekaman pembicaraan di antara ketiga orang tersebut ketika masih berada di Rutan Bareskrim yang berisi pengakuan Tommy.
Menurut Yani, di dalam rekaman tersebut terdapat informasi mengenai pihak yang diduga menerima aliran dana dari Joko Tjandra. Ia menduga rekaman tidak dibuka di pengadilan karena perkara itu melibatkan nama orang-orang penting. Atas dasar itulah, Napoleon melaporkan majelis hakim yang menyidangkan perkaranya ke Komisi Yudisial.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin berpandangan, dari konteks waktu, transkrip percakapan yang diduga terjadi antara ketiga orang tersebut berbeda dengan transkrip percakapan yang dimilikinya mengenai adanya king maker dalam kasus Joko Tjandra. Rekaman ketiga orang tersebut bersifat membicarakan peristiwa di masa lalu, sedangkan percakapan terkait king maker terjadi ketika peristiwa sedang terjadi.
”Nah, flash back itu, kan, tidak murni lagi. Namun, apa pun itu bisa dikatakan sebagai bukti petunjuk. Dalam hal ini penegak hukum dapat menindaklanjuti itu,” ujar Boyamin.
Menurut Boyamin, yang lebih mendasar, banyak pihak yang sebenarnya belum terungkap dalam rencana penyelamatan Joko Tjandra dari vonis kasus pengalihan hak tagih Bank Bali pada 2009. Sebagai contoh, pihak yang membantu menerbitkan paspor bagi Joko sekalipun ia berstatus buron. Selain itu, sejumlah nama pejabat dan mantan pejabat yang sempat disebut di pengadilan.
Dari berbagai pihak yang diduga terlibat dan belum tersentuh hukum tersebut, lanjut Boyamin, yang dinilai tertinggi adalah sosok king maker. Untuk itu, Boyamin berencana membuat laporan resmi ke KPK mengenai king maker untuk diproses.
”Jadi masih banyak kalau mau ini dituntaskan. Bahkan saya pesimistis ini kalau hanya KPK. Dan setidaknya untuk membuka king maker ini saja betapa beratnya. Maka perlu tim khusus yang dibentuk Presiden atau satuan tugas khusus yang ditugasi presiden untuk menuntaskan itu,” kata Boyamin.