KPU Buka Opsi Mundurkan Pilkada
Rapat konsinyering penyelenggara pemilu dengan pemerintah dan Komisi II DPR, Selasa malam, belum mencapai kata sepakat mengenai hari-H pemungutan suara pemilu dan pilkada tahun 2024. KPU malah usulkan pilkada pada 2025.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum membuka opsi memundurkan pemilihan kepala daerah ke tahun 2025 untuk menjaga agar tidak ada irisan tahapan yang terlalu tebal atau terlalu jauh antara pemilu dan pilkada. Alasan kedua, secara teknis kedua jenis pemilihan itu dapat dilakukan dengan baik. Kendati demikian, opsi untuk melakukan kedua jenis pemilihan itu pada tahun yang sama juga tetap didalami dengan mempertimbangkan kecukupan waktu setiap tahapan sehingga pencalonan pilkada tidak terganjal proses sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Dalam rapat konsinyering yang dilakukan penyelenggara pemilu dengan pemerintah dan Komisi II DPR, Selasa (5/10/2021) malam, belum tercapai kata sepakat mengenai hari-H pemungutan suara Pemilu dan Pilkada 2024. Setiap fraksi di Komisi II DPR menunjukkan kecenderungan berbeda-beda dalam penentuan hari-H Pemilu 2024. Pemerintah pun tetap mendorong agar pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam rapat konsinyering, selain memaparkan opsi awal, yakni hari-H pemilu pada 21 Februari 2024, sedangkan pilkada pada 27 November 2024, KPU juga menawarkan opsi baru. Dalam opsi kedua ini, KPU menyimulasikan hari-H pemilu pada 15 Mei 2024 dan pilkada pada 19 Februari 2025. Dengan opsi kedua ini, KPU mengikuti alternatif dari pemerintah yang mengusulkan agar pemilu digelar pada 15 Mei 2024. Namun, untuk menjaga agar ada kecukupan waktu bagi setiap tahapan, KPU mengusulkan pemunduran jadwal pilkada ke 2025, yakni 19 Februari 2025.
Baca juga : Pertemuan Dua Hari Belum Hasilkan Kesepakatan Hari Pemungutan Suara
Dalam memajukan dua opsi itu, anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, Rabu (6/10/2021), di Jakarta, mengatakan, KPU pada prinsipnya tidak terpaku pada tanggal. KPU tidak mematok hari-H pemilu harus 21 Februari 2024 serta menolak opsi lain. Bagi KPU, yang penting ialah kecukupan waktu setiap tahapan sehingga proses pencalonan pilkada tidak terganjal oleh proses sengketa di MK yang belum selesai. Selain itu, penjadwalan kedua jenis pemilihan itu juga tidak menimbulkan irisan tahapan yang tebal antara pemilu dan pilkada.
Opsi kedua ini, KPU menyimulasikan hari-H Pemilu pada 15 Mei 2024 dan pilkada pada 19 Februari 2025. Dengan opsi kedua ini, KPU mengikuti alternatif dari pemerintah yang mengusulkan agar pemilu digelar pada 15 Mei 2024. Namun, untuk menjaga agar ada kecukupan waktu bagi setiap tahapan, KPU mengusulkan pemunduran jadwal pilkada ke 2025, yakni 19 Februari 2025.
”Harapannya, pemilu dan pilkada itu secara teknis bisa dilaksanakan, dan tidak menimbulkan beban yang terlalu berat bagi jajaran kami di bawah,” ucap Pramono.
Untuk opsi kedua, yakni dengan memundurkan pilkada, secara otomatis hal itu akan berkonsekuensi pada perlunya dasar hukum baru. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur penyelenggaraan Pilkada 2024 dilakukan pada November 2024. Oleh karena itu, untuk memungkinkan pemunduran jadwal pilkada itu ke Februari 2025, diperlukan dasar hukum yang baru.
KPU terbuka untuk mendiskusikan opsi-opsi lain sepanjang dua pertimbangan utama, yakni kecukupan waktu setiap tahapan dan irisan tahapan yang tidak terlalu tebal, itu dapat dipenuhi berdasarkan kerangka-kerangka hukum yang ada.
Pramono mengatakan, selama belum ada titik temu tentang hari pemungutan suara, KPU tetap akan melaksanakan berbagai persiapan pemilu seperti yang selama ini telah dilakukan, antara lain redesain surat suara, rekapitulasi elektronik, pendaftaran dan verifikasi parpol secara elektronik, serta pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan.
Belum ada kesepakatan
Sedianya hasil konsinyering dibahas dalam rapat kerja (raker) Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu, Rabu. Namun, rapat diputuskan untuk ditunda karena Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam waktu yang sama mesti mengikuti rapat intern dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Dalam surat yang dikirimkan kepada pimpinan Komisi II DPR, Tito meminta agar raker dengan Komisi II DPR itu dapat diagendakan dalam raker berikutnya.
Terkait penundaan raker kali ini, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengonfirmasi hal itu karena adanya kegiatan menteri yang berimpitan waktunya dengan jadwal raker. ”Karena acara itu harus dihadiri oleh menteri, menteri meminta pemunduran jadwal raker,” katanya.
Pemunduran raker dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah itu, menurut Saan, tidak akan menimbulkan persoalan terkait tahapan. Kalaupun pemilu akhirnya diputuskan pada Februari 2024, tahapan baru dimulai Juni 2022, dengan memperhitungkan 20 bulan masa tahapan. Artinya, masih ada cukup waktu bagi penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR untuk menyepakati hari pemungutan suara.
Masih belum ada titik temu, dan masih ada perbedaan pendapat. KPU juga masih akan exercise lagi opsi-opsi yang ada.
Saan mengatakan, kepastian hari-H pemilu dan pilkada itu diupayakan untuk dapat disepakati bersama secara bulat pada masa sidang berikutnya. Artinya, penentuan hari-H itu gagal memenuhi target yang semula diharapkan selesai sebelum DPR memasuki masa reses, 8 Oktober 2021.
Dinamika dalam rapat konsinyering terjadi cukup ketat. Perbedaan pendapat masih muncul di antara fraksi-fraksi, pemerintah, dan penyelenggara pemilu. Sejumlah fraksi, lanjut Saan, setuju pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024 dan pilkada 27 November 2024. Namun, ada fraksi yang ingin pemilu pada 21 Februari 2024 dan pilkada 27 November 2024. Ada pula fraksi yang mewacanakan percepatan pilkada pada September 2024.
”Masih belum ada titik temu, dan masih ada perbedaan pendapat. KPU juga masih akan exercise lagi opsi-opsi yang ada,” ucapnya.
Saan mengatakan, karena sejumlah perbedaan itu, belum ada kepastian hari-H pemilu dan pilkada yang dapat ditetapkan dalam raker. DPR menginginkan agar ada satu kata sepakat mengenai hal ini sebelum diputuskan dalam raker.
”Karena ini, kan, agenda bangsa, agenda demokrasi dan politik untuk kepentingan bangsa ke depan. Kita ingin penentuan jadwal ini diputus secara utuh bersam-sama. Karena itu, kita akan memberikan kesempatan kepada KPU untuk melakukan exercise lagi. Kebetulan juga Mendagri hari ini ada rapat terbatas yang mesti dihadiri,” ucapnya.
Pimpinan parpol
Dari dinamika dalam rapat konsinyering, satu hal penting yang juga ditekankan ialah komunikasi dengan pimpinan partai politik. Saan mengatakan, pelibatan pimpinan parpol ini penting sehingga mereka bisa bertemu dan membahas pula penetapan jadwal ini.
Bahkan, kalau diperlukan, bisa juga komunikasi itu dibuka antara pimpinan parpol dan Presiden. ”Saya pikir ini perlu, ya, sehingga Presiden bisa juga menyosialisasikan kepada pimpinan parpol mengapa pilihan waktu (pemilu) itu,” ujarnya.
Menurut Saan, fraksi yang mendorong agar pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024 antara lain Nasdem, Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Adapun yang menginginkan 21 Februari 2024 ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa fraksi lain belum tegas menyatakan sikap. ”Ini kan dinamika, dan kita inginkan nanti satu suara bulat menyepakati hari-H pemilu dan pilkada,” katanya.
Saan mengatakan, Komisi II DPR juga mencoba menjajaki kemungkinan konsultasi dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait waktu penyelesaian sengketa pemilu. Dengan konsultasi itu, diharapkan ada kesepahaman soal waktu penyelesaian sengketa sehingga tidak berlarut-larut.
Yang harus dipertimbangkan utama dalam mencari titik temu ialah aspek teknis penyelenggaraan yang disampaikan oleh KPU. Jangan sampai aspek teknis tidak terkelola dengan baik sehingga pertaruhannya ialah kredibilitas dan integritas pemilu kita.
Secara terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, dalam mencari titik temu hari-H pemilu dan pilkada, yang mestinya diutamakan ialah pertimbangan teknis yang disampaikan oleh KPU. Sebab, konstitusi telah mengatur KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Undang-Undang Pemilu juga mengatur hal-hal teknis, termasuk dalam penetapan tahapan dan jadwal pemilu sebagai tugas dari KPU.
Baca juga : Penentuan Jadwal Pemilu 2024 Perlu Pertimbangkan Masa Transisi Presiden
”Yang harus dipertimbangkan utama dalam mencari titik temu ialah aspek teknis penyelenggaraan yang disampaikan oleh KPU. Jangan sampai aspek teknis tidak terkelola dengan baik sehingga pertaruhannya ialah kredibilitas dan integritas pemilu kita,” ujarnya.
Keserentakan pemilu dan pilkada pada 2024 menimbulkan kompleksitas dan tumpukan beban yang memerlukan banyak kompromi dan terobosan dalam rekayasa tahapan. Pada saat yang sama, dasar hukum yang ada diputuskan untuk tidak diubah.
Oleh karena itu, menurut Titi, semua pihak mestinya kembali pada etika berhukum dan berkonstitusi, yakni dengan merujuk kembali tugas dan kewenangan KPU sebagai lembaga yang menetapkan jadwal dan tahapan pemilu. Artinya, pertimbangan teknis pemilu yang disampaikan KPU, termasuk untuk memastikan tahapan berlangsung baik dan tidak terlalu banyak irisan, seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan DPR.
Menyoal upaya mengurai persoalan impitan tahapan dan kecukupan waktu setiap tahapan pemilu dan pilkada, menurut Titi, hal itu sebenarnya bisa diurai jika pilkada tidak dipakskan pada tahun yang sama. Pilkada dapat saja dimundurkan pada 2025 sehingga itu membuat potensi irisan tahapan dapat dihindari dan beban kerja penyelenggara tidak terlalu berat.
Kalau pilkada dimundurkan pun, lanjutnya, relatif tidak banyak kerugian, baik bagi petahana yang menjabat maupun kepentingan pencalonan dari partai politik. ”Justru partai diuntungkan kalau pilkada mundur karena mereka bisa melakukan rekonsolidasi dan memperkuat kelembagaan kembali pascapemilu untuk menyiapkan kontestasi pilkada,” ujarnya.
Untuk memundurkan pilkada ke 2025 memang diperlukan perubahan dasar hukum sebab pilkada pada November 2024 telah diatur dalam UU Pilkada. Titi mengatakan, pemerintah dan DPR masih memiliki cukup waktu untuk merevisi secara terbatas UU Pilkada. Cara kedua ialah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).