Masyarakat sipil harus mampu membangun konektivitas gerakan yang lebih inklusif. Ketika terjadi serangan terhadap anggota masyarakat sipil, semua harus bersatu memberikan rasa aman.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik penyalahgunaan hukum dan lembaga hukum oleh aktor politik untuk memperbesar kewenangannya menjadi salah satu isu krusial. Jika hal ini dibiarkan dikhawatirkan dapat semakin merusak demokrasi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi prapeluncuran buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi yang diadakan Public Virtue Institute, Minggu (3/10/2021). Pembicara dalam diskusi itu antara lain Darmawan Triwibowo dari Kurawal Foundation, sosiolog Universitas Gadjah Mada Muhammad Najib Azca, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dan dosen Universitas Sydney, Australia Thomas Power.
Thomas Power mengatakan, ada berbagai bukti terkait dengan regresi atau kemunduran demokrasi di Indonesia. Salah satu yang paling dia soroti adalah praktik penyalahgunaan hukum dan lembaga hukum oleh aktor politik untuk memperbesar kewenangannya. Menurut dia, ini adalah praktik yang merusak agenda reformasi 1998, yaitu supremasi hukum.
Penyalahgunaan hukum itu terlihat dari tindakan pemerintah yang terus mengekang kebebasan sipil. Baru-baru ini, aktivis hak asasi manusia yang menyuarakan kritiknya berdasarkan penelitian ilmiah dilaporkan ke kepolisian. Aktivis juga sering menjadi target serangan doxing, peretasan, dan kriminalisasi saat melontarkan kritiknya kepada penguasa. Dari sisi regulasi, di akhir pemerintahan periode I Presiden Joko Widodo, DPR mengesahkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melemahkan independensi lembaga antirasuah itu.
”Dalam dua tahun terakhir ini ada kecenderungan untuk mempolitisasi hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia. Banyak aktivis diserang dan dikriminalisasi karena membela demokrasi,” ujar Thomas.
Penyalahgunaan hukum itu terlihat dari tindakan pemerintah yang terus mengekang kebebasan sipil.
Selain itu, Thomas juga melihat gejala tidak netralnya aparat penegak hukum, baik itu kejaksaan, kepolisian, maupun KPK, dalam menangani kasus korupsi partai penguasa. Dia menilai, pada periode I Presiden Jokowi, hampir tidak ada kasus korupsi partai penguasa yang diungkap oleh kejaksaan dan kepolisian. Adapun, penegakan hukum seolah dimanfaatkan untuk menarik dukungan publik, dengan menyasar partai tertentu.
”Penegakan hukum terasa partisan dan dipolitisasi. Saya khawatir dengan perubahan UU KPK dan diberhentikannya sejumlah penyidik KPK yang independen akan semakin memanipulasi aturan untuk menggelembungkan kekuasaan tertentu,” kata Thomas.
Selain itu, pada periode kedua Presiden Jokowi ini juga terlihat gejala pengabaikan hak asasi manusia (HAM) dalam penegakan hukum dan keamanan. Untuk mengatasi kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, misalnya, pemerintah memutuskan melabeli KKB sebagai kelompok teroris. Ini dianggap sebagai legitimasi untuk membunuh KKB melalui mekanisme di luar hukum (extra judicial killing). Praktik ini, menurutnya, jauh dengan prinsip negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap HAM.
Darmawan Tri Wibowo sepakat hukum dan perangkat hukum telah disalahgunakan untuk membungkam oposisi formal. Selain itu, juga digunakan untuk membungkam suara kritis masyarakat sipil. Kebebasan berekspresi dan berpendapat diberangus dengan cara-cara yang vulgar, bahkan oleh pejabat publik. Instrumen hukum bahkan juga terasa semakin mempertebal polarisasi di masyarakat. Polarisasi yang terjadi akibat dampak pemilu, semakin kuat karena praktik penyalahgunaan hukum.
”Bahkan, ada kecenderungan sekarang ini Pancasila digunakan sebagai alat untuk mengotak-ngotakkan atau membelah masyarakat. Padahal, ujungnya adalah untuk kepentingan elite kekuasaan,” kata Darmawan.
Darmawan menyebutkan, saat ini situasi demokrasi di Indonesia baru sebatas prosedural semata. Indonesia memang berhasil melaksanakan pemilu yang demokratis. Namun, hasil dari pemimpin yang dipilih secara demokratis itu belum bisa melaksanakan sepenuhnya amanat reformasi. Bahkan, ada kecenderungan kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi didahulukan, dan sering kali hak-hak sipil dan demokrasi dikesampingkan.
Najib Azca berpandangan mimpi besar presiden untuk membangun Indonesia dan menggenjot perekonomian pada akhirnya mengabaikan penghargaan terhadap HAM dan demokrasi. Koalisi kekuasaan yang dibangun di periode kedua ini juga semakin memperkuat lingkaran oligarki di kekuasaan. Oleh karena itu, regulasi yang memberikan akses luas kepada pemodal mudah sekali disahkan tanpa menyerap seluasnya aspirasi masyarakat. UU Sapu Jagat Cipta Kerja adalah contohnya.
”Orientasi presiden saat ini adalah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Ada semangat untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian yang kuat di 2045. Akhirnya, ini mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM,” terang Najib.
Regulasi yang memberikan akses luas kepada pemodal mudah sekali disahkan tanpa menyerap seluasnya aspirasi masyarakat. UU Sapu Jagat Cipta Kerja adalah contohnya.
Solusi
Najib berpandangan, untuk mengatasi situasi itu, yang diperlukan adalah semakin memperkuat masyarakat sipil. Masyarakat sipil harus semakin kuat, solid, untuk mengawal cita-cita reformasi. Masyarakat sipil juga harus terus menerus mengonsolidasikan kekuatannya agar aktivitas advokasi yang dilakukan semakin sistematis. Isu-isu HAM dan demokrasi juga harus terus didorong agar tidak terus menjadi isu pinggiran.
Titi Anggraini mengatakan, pasca-amandemen konstitusi, partai politik semakin dominan dalam pengisian posisi politik dan kelembagaan negara. Faktor politik uang menjadi sangat menentukan karena pembiayaan parpol masih bergantung pada segelintir orang, yaitu para oligark. Ketergantungan pada figur tertentu ini dapat mengurangi kemandirian dalam menjalankan fungsi-fungsi partai.
Akhirnya, anggota partai tidak bisa sepenuhnya berdaulat. Di sisi lain, internal parpol juga belum demokratis. Perekrutan masih bersifat tertutup, elitis, dan sentralistik, dengan kaderisasi yang lemah. Pada akhirnya, ini melanggengkan dinasti politik dan penguasaan parpol oleh segelintir orang.
”Ini berdampak pada banyaknya serangan terhadap cita-cita reformasi yang dilakukan secara terbuka dan vulgar oleh kepentingan oligarki yang lebih cepat mengonsolidasikan diri. Contohnya adalah revisi UU KPK, UU Minerba, ataupun UU Mahkamah Konstitusi,” kata Titi.
Titi berpandangan, untuk melawan situasi itu, masyarakat sipil lintas aktor dan isu harus semakin solid dan terkonsolidasi. Masyarakat sipil harus mampu membangun konektivitas gerakan yang lebih inklusif. Ketika terjadi serangan terhadap anggota masyarakat sipil, semua harus bersatu memberikan rasa aman.
”Advokasi dan pengawalan terus-menerus harus dilakukan untuk mendorong politik hukum elektoral yang inklusif dan demokratisasi internal partai politik. Termasuk juga bagaimana terus menyadarkan masyarakat agar mau terlibat aktif dalam advokasi dan gerakan yang dilakukan masyarakat sipil,” imbuh Titi.