Dari Kematian Laskar FPI hingga Sengketa Izin Pembangunan Gereja, Jadi Fokus Komnas HAM
Komnas HAM mencermati adanya kasus-kasus terkait dengan intoleransi dan ekstremisme dengan kekerasan yang menonjol sepanjang 2020-2021. Dari kematian laskar FPI hingga izin pembangunan gereja jadi perhatian Komnas HAM.
Oleh
Rini Kustiasi
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Komnas HAM memberikan keterangan usai meninjau kebakaran di Blok C2 Lapas Kelas I Tangerang, Kamis (9/9/2021).
JAKARTA, KOMPA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencermati adanya kasus-kasus terkait dengan intoleransi dan ekstremisme dengan kekerasan yang menonjol sepanjang 2020-2021. Kasus-kasus itu menjadi penting diperhatikan untuk mencegah eskalasi peningkatan kasus di masa depan, terutama karena isu-isu yang berkaitan dengan intoleransi dan ekstremisme dengan kekerasan kerap kali menempatkan kelompok minoritas sebagai korbannya.
Sejumlah kasus intoleransi dan ekstemisme dengan kekerasan yang menonjol antara lain ialah peristiwa kematian enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, penutupan masjid warga Ahmadiyah di Sintang, kasus hak atas kebebasan beragama Yayasan ISKCON-Indonesia di Bali, penyegelan bangunan bakal makam tokoh Sunda Wiwitan di Kuningan, dan sengketa izin mendirikan bangunan (IMB) Gereja Singkil.
Ketua Komnas HAM Taufan Ahmad Damanik mengatakan, dalam kasus kematian enam anggota laskar FPI, sejak awal Komnas HAM menegaskan tidak menemukan dugaan pelanggaran HAM berat. “Ini peristiwa unlawfull killing terhadap empat orang anggota laskar, sedangkan dua lainnya meninggal karena tembak-menembak dengan kepolisian,” ucapnya, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/10/2021) di Jakarta.
PETIKAN LAYAR TV PARLEMEN
Ketua Komnas Ham Ahmad Taufan Damanik, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/10/2021) di Jakarta.
Taufan mengatakan, dalam penyelesaian kasus-kasus intoleransi dan ekstremisme dengan kekarasan, Komnas HAM bekerja sama dengan kepolisian, dan pemerintah daerah setempat. Kerja sama dengan berbagai pihak itu harus dilakukan untuk memastikan terjadinya penyelesaian secara sosial-budaya terhadap persoalan-persoalan itu.
“Dalam kasus penutupan masjid Ahmadiyah di Sintang, kami telah memanggil Polda Kalimantan Barat untuk rapat koordinasi di Komnas HAM. Sampai saat ini, penanganan pidana terhadap pelakunya masih berjalan. Tetapi ada penyelesaian sosbud di Sintang, karena ada gejolak-gejolak yang muncul, dan membawa isu SARA, dan lain-lain”
“Dalam kasus penutupan masjid Ahmadiyah di Sintang, kami telah memanggil Polda Kalimantan Barat untuk rapat koordinasi di Komnas HAM. Sampai saat ini, penanganan pidana terhadap pelakunya masih berjalan. Tetapi ada penyelesaian sosbud di Sintang, karena ada gejolak-gejolak yang muncul, dan membawa isu SARA, dan lain-lain,” katanya.
Taufan mengatakan, penanganan kasus Ahmadiyah di Sintang ini penting karena kasus penyerangan terhadap kelompok ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya juga ada serangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Lombok, dan Garut. Kelompok Ahmadiyah pun telah beberapa kali melaporkan serangan itu kepada Komnas HAM.
Untuk kasus Yayasan ISKCON-Indonesia di Bali, upaya penyelesaian berusaha dilakukan dengan menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah, termasuk kementerian agama. Demikian halnya, kasus Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, maupun IMB Gereja Singkil, yang relatif dapat ditangani saat ini. “Kami meyakini setidak-tidaknya ketika mau berdiskusi dengan Komnas HAM, maka tidak ada pertikaian, dan ini merupakan langkah maju,” ucapnya.
Lebih jauh mengenai pengaturan terkait dengan kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan, Komnas HAM juga tengah membuat standar norma pengaturannya. Standar norma itu ke depannya dapat dijadikan acuan bagi para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menangani persoalan kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan, termasuk dalam membuat kebijakan.
“Dalam penyelesaian persoalan kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan, kami juga berkoordinasi dengan Gus Yaqut (Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas),” ujarnya.
Perbedaan pendapat dengan Kejaksaan Agung
Dalam RDP, Komnas HAM juga menyampaikan masih ada perbedaan pendapat dengan Kejaksaan Agung terkait dengan penyelesaian yudisial terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, suatu tim kerja presiden sedang dibentuk untuk menyusun pendekatan non-yudisial terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat. Tim itu akan beranggotakan unsur-unsur dari Komnas HAM, Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Staf Presiden, dan di bawah supervisi dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
“Kalau ada persoalan intoleransi dan kekerasan seksual sebaiknya diawali dengan soft skill, sehingga hal-hal yang sensitif ini bisa dikurangi. Dengan demikian, kebinekaan, keberagaman, dan Pancasila sebagai ideologi negara dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai suku dan agama”
“Untuk penyelesaian non-yudisial ini, Komnas HAM tetap membuat panduan bagi pemenuhan hak-hak korban, selain menunggu juga penyelesaian yudisial,” ujarnya.
Selain persoalan intoleransi dan kebebasan beragama, Komnas HAM juga mencatat adanya kenaikan aduan terhadap pelanggaran HAM oleh korporasi (404 aduan). Korporasi menempati posisi kedua setelah kepolisian yang diadukan oleh masyarakat (571 aduan). Di posisi ketiga yang paling banyak diadukan ialah pemerintah daerah (233 aduan). Total, sepanjang Januari-September 2021, Komnas HAM menerima 3.758 berkas aduan, yang dikonversi menjadi 2.331 kasus.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat mengatakan, dalam penanganan kasus-kasus terkait dengan kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan, Komnas HAM perlu juga melakukan pendekatan yang lebih halus, karena itu menyangkut hal sensitif di tengah masyarakat. Pendekatan yang lebih halus, dan tidak semata-mata mengedepankan penegakan hukum ini diperlukan agar hal-hal yang berkaitan dengan miskomunikasi dan isu sensitif dapat diatasi.
“Kalau ada persoalan intoleransi dan kekerasan seksual sebaiknya diawali dengan soft skill, sehingga hal-hal yang sensitif ini bisa dikurangi. Dengan demikian, kebinekaan, keberagaman, dan Pancasila sebagai ideologi negara dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai suku dan agama,” ucapnya.
Diwawancarai terpisah mengenai fenomena intoleransi dan ekstremisme dengan kekerasan, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, hal itu tidak dapat dilepaskan dari masih minimnya kebijakan yang tegas dari pemerintah. Tindakan intoleran dan ekstremisme dengan kekerasan utamanya dipicu oleh regulasi di daerah yang diskriminatif. Sayangnya, terhadap regulasi yang diskriminatif itu tidak banyak diambil tindakan tegas.
Kompas/Wawan H Prabowo
SETARA Institute menggelar diskusi bersama para jurnalis dengan mengambil tema Janji yang Tertunda: Kinerja Pemajuan HAM Jokowi Periode Pertama di Kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (10/12/2019). Diskusi tersebut menghadirkan para pembicara (dari kiri ke kanan) perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinung Karto, peneliti penegakan HAM dan perdamaian SETARA Institute Selma Theofany, Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani, Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti, dan Sekretaris Yayasan Satu Keadilan Syamsul Alam Agus. Ada sejumlah catatan yang harus diperbaiki terkait kinerja HAM pada pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo seperti kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
“Menteri Dalam Negeri sebagai pembina pemerintahan daerah semestinya dapat melakukan upaya untuk mengatasi akar persoalan intoleransi yang banyak mengacu pada perda-perda yang intoleran dan diskriminatif itu,” katanya.
“Menteri Dalam Negeri sebagai pembina pemerintahan daerah semestinya dapat melakukan upaya untuk mengatasi akar persoalan intoleransi yang banyak mengacu pada perda-perda yang intoleran dan diskriminatif itu”
Fenomena intoleransi dan ekstremisme dengan kekerasan itu lebih banyak muncul di daerah, karena sangat bertalian dengan politik di tingkat lokal yang juga intoleran dan diskriminatif. Kian berkembangnya politik identitas dan populisme agama, sekalipun tidak pernah menang secara politik di tingkat nasional, tetapi sangat efektif di tingkat lokal.
Dalam sejarah pemilu nasional, partai-partai yang mengusung politik sektarian tidak pernah mendominasi. Hal itu, lanjut Ismail, menunjukkan karakter antropologi sosial warga Indonesia sebagai toleran. Namun, di tingkat lokal, peristiwa-peristiwa intoleransi dan ekstremisme dengan kekerasan selalu menemukan konteksnya dengan efektif berkat jalinan erat dengan politik lokal.
“Kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah di Sintang, misalnya, kan tinggal dipidanakan saja pelaku kekerasannya. Adapun korban mestinya dilindungi, tanpa lagi perlu memperdebatkan apakah Ahmadiyah itu sesat ataukah tidak sesat. Soal sesat atau tidak kan bukan diskursus ketatanegaraan,” ucapnya.
Namun, di dalam kasus itu Pemda setempat memrakarsai pembelian lahan milik Ahmadiyah untuk dibangun masjid umum. Kondisi ini, lanjut Ismail, juga ditemui dalam kasus lain, termasuk penolakan terhadap makam Sunda Wiwitan di Kuningan, Jabar.
“Komitmen menjaga toleransi itu harus dijaga sampai ke tingkat lokal. Kemendagri mesti menjalankan tugasnya sebagai pembina pemda, bukan semata-mata mengutamakan keamanan dan stabilitas, di mana akhirnya minoritas yang harus mengalah. ” katanya.