Akademi Militer, Akademi Angkatan Laut, dan Akademi Angkatan Udara beradaptasi dalam mendidik taruna yang berasal dari generasi Z. Porsi aspek penalaran menjadi signifikan, selain kemampuan fisik dan kepribadian.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Generasi Z beberapa tahun terakhir telah menjadi taruna di akademi-akademi Tentara Nasional Indonesia. Tiga akademi di TNI juga beradaptasi dalam mendidik taruna dari generasi Z, yang memiliki karakteristik berbeda dari generasi taruna tahun 1980-an dan 1990-an: kritis dan punya kecerdasan digital mumpuni.
Saat ini, di masyarakat, ketertarikan menjadi tentara masih tinggi. Jajak pendapat Litbang Kompas, 21-22 September 2021, yang melibatkan 503 responden di 34 provinsi menunjukkan 62,3 persen responden tertarik menjadi anggota TNI. Namun, jika dipilah berdasarkan generasi, terlihat persentase ketertarikan tertinggi berurutan berasal dari generasi X (40-55 tahun), Y (24-39), dan Z (17-23).
Saat ini taruna yang sedang ditempa di Akademi Militer (Akmil), Akademi Angkatan Laut (AAL), dan Akademi Angkatan Udara (AAU) telah berasal dari generasi Z. Batasan usia seleksi calon taruna berkisar 17 tahun 9 bulan hingga 22 tahun.
Akhir September 2021, Kompas berbincang secara terpisah dengan gubernur, sejumlah pengajar, dan taruna di tiga akademi TNI, yakni Akmil di Magelang, Jawa Tengah; AAL di Surabaya, Jawa Timur; dan AAU di DI Yogyakarta. Salah satu benang merahnya, perbedaan karakter dari taruna generasi Z.
”Umumnya mereka lebih cerdas, kreatif, dan kritis. Dengan alat-alat berbau teknologi, mereka lebih familier,” kata Gubernur Akmil Mayor Jenderal Candra Wijaya.
Candra, lulusan Akmil 1991, mengatakan, semasa jadi taruna, tak ada yang berani bertanya. Namun, kini dosen di Akmil harus siap menjawab pertanyaan, misalnya mengapa harus berlatih panjat tebing, internet mati setelah pukul 23.00, dan penggunaan ponsel hanya boleh pada akhir pekan.
Gubernur AAL Mayor Jenderal (Mar) Nur Alamsyah mengatakan, cara berpikir dan bertindak para taruna gen Z berbeda dari para pendidiknya. Kefasihan mereka pada teknologi sejalan dengan perang di masa depan yang dalam operasinya lebih padat teknologi. Hal ini tentu berpengaruh pada bagaimana calon perwira ini akan berhadapan dengan pengambilan keputusan yang kompleks.
”Kami yang menyesuaikan diri. Selalu berupaya jadi guru, bapak, dan teman sekaligus sehingga kami dapat menyelami alam pikir mereka dan bisa berbagi hal-hal yang berkaitan dengan ksatrian dan heroisme,” kata Nur.
Berbasis riset
Gubernur AAU Marsekal Muda Nanang Santoso mengungkapkan, untuk beradaptasi dengan taruna generasi Z, AAU membuat konsep Taruna Gemilang, di mana pelaksanaan program pendidikan disusun berdasarkan riset. Tak hanya faktor fisik yang diperhitungkan seperti kelelahan, faktor mental juga diperhatikan. Sejak 2020, AAU menerapkan program tanpa penyiksaan (zero torture).
Ia juga mengatakan, taruna AAU saat ini dibuat harus berani berpendapat dan berargumen. Karena itu, proses pendidikan di AAU tak hanya berisi penyampaian doktrin. ”Kalau dulu, kan, hanya doktrin dan tanpa peluang menyampaikan saran dan pendapat,” ujarnya.
Di sisi lain, lembaga pendidikan militer kini mengalami masalah terkait kualitas fisik taruna. Generasi milenial dan Z yang relatif kurang bergerak, banyak mengonsumsi makanan siap saji, dan kerap menggunakan alat elektronik berdampak kurang baik pada fisik mereka. ”Cenderung lebih cepat cedera. Kepadatan tulangnya rendah,” kata Candra.
Fenomena ini membuat latihan fisik tak sekeras dulu. Hal senada disampaikan Nanang. Ia menambahkan, dalam merekrut taruna AAU, spesifikasinya adalah spesifikasi penerbang. Salah satu syarat utama, mata sehat. Belakangan, ditemukan cukup banyak calon taruna AAU dengan katarak di mata, salah satunya diduga karena kerap bermain gawai.
Kemampuan berpikir
Salah satu yang berubah drastis dalam pendidikan taruna adalah terkait penekanan pada kemampuan berpikir. Di Akmil, proporsi akademis mencapai 70 persen dari total penilaian ditambah 15 persen jasmani dan 15 persen kepribadian. Perubahan ini mendasar, mengingat di masa lalu, 45 persen ada di kondisi jasmani.
Candra mengatakan, dasar pemikirannya berasal dari Mabes TNI AD bahwa lulusan Akmil akan menjadi perwira yang harus bisa mengambil keputusan dengan benar di tengah situasi kompleks. Namun, tetap ada standar kesehatan jasmani yang harus dipenuhi.
Di AAU, taruna harus menjalani pendidikan delapan semester. Pengajar diseleksi ketat agar yang masuk benar-benar berkualifikasi. AAU juga memperkuat budaya literasi dalam proses pendidikan untuk meningkatkan kemampuan membaca, berbicara, dan menulis.
Di AAL, perubahan kurikulum terus dilakukan sesuai perkembangan zaman. Dalam kurikulum 2018 yang kini dipakai, para taruna AAL diberi wawasan tentang perkembangan terbaru angkatan laut dunia.
Pengajar Universitas Pertahanan, Kusnanto Anggoro, mengingatkan, kurikulum di Akmil, AAL, dan AAU disusun untuk memenuhi akreditasi karena penyetaraan dengan diploma IV. Akibatnya, ada beberapa ketentuan dari Kemendikbudristek yang belum tentu sesuai dengan konteks kemiliteran dan pertahanan.
”Maka, mata kuliah-mata kuliah terkait warfare atau kompetensi militer jadi kurang. Padahal, TNI harus tetap menyiapkan diri menghadapi konflik bersenjata dan fisik meski nanti bentuknya perang modern dan nonkonvensional, termasuk perang hibrida,” kata Kusnanto.