Batas Akhir Pengesahan Prolegnas Prioritas 2022 Tersisa Sebulan, RUU Prolegnas 2021 Masih Ditambah
DPR menetapkan penambahan empat RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Dengan demikian, RUU yang ditargetkan selesai pada tahun ini bertambah dari 33 RUU menjadi 37 RUU.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan empat rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 dipertanyakan. Daripada menambah beban Prolegnas Prioritas 2021, Dewan Perwakilan Rakyat diminta segera menyusun dan menetapkan Prolegnas Prioritas 2022.
Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022, Kamis (30/9/2021), menetapkan penambahan empat rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Dengan demikian, RUU yang ditargetkan selesai pada tahun ini bertambah dari 33 RUU menjadi 37 RUU.
Adapun empat RUU tambahan yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 ialah RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berstatus carry over, RUU perubahan atas UU Pemasyarakatan, RUU perubahan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta RUU perubahan atas UU Badan Pemeriksa Keuangan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Antoni Putra, mengatakan, secara yuridis, keputusan DPR bersama dengan pemerintah yang menambah empat RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 patut dipertanyakan. Sebab, batas waktu untuk menyusun dan menetapkan Prolegnas proritas untuk tahun 2022 hanya tersisa tiga bulan.
”DPR dan pemerintah harus mengevaluasi proses evaluasi dan penetapan perubahan Prolegnas Prioritas 2021,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Jumat (1/10/2021).
Secara yuridis, keputusan DPR bersama dengan pemerintah yang menambah empat RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 patut dipertanyakan. (Antoni Putra)
Berdasarkan Pasal 20 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan dan penetapan Prolegnas Prioritas Tahunan dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun berdasarkan Pasal 15 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, RUU APBN sudah harus disahkan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan atau pada bulan Oktober.
”Itu artinya, Prolegnas Prioritas Tahunan sudah harus disahkan selambat-lambatnya sebelum 31 Oktober setiap tahunnya,” ucap Antoni.
Daripada menambah beban Prolegnas Prioritas 2021, menurut dia, DPR bersama dengan pemerintah semestinya mengesahkan Prolegnas Prioritas 2022. Ini perlu dilakukan agar keterlambatan penyusunan dan pengesahan Prolegnas prioritas yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya tidak terulang kembali.
Dalam catatan PSHK, selama kurun waktu 2015 hingga 2021, hanya Prolegnas Prioritas 2019 yang disahkan tepat waktu sesuai UU No 12/2019. Prolegnas 2019 itu disahkan pada 31 Oktober 2018 atau sesuai batas waktu yang diatur dalam UU. Adapun Prolegnas Prioritas 2015, 2016, 2017, 2018, 2020, dan 2021 disahkan setelah 31 Oktober.
Keterlambatan evaluasi dan pengesahan Prolegnas Prioritas 2022, kata Antoni, berpotensi menyebabkan ketentuan Pasal 20 Ayat (6) UU No 15/2019 kembali dilanggar. Hal ini akan semakin menurunkan kewibawaan Prolegnas sebagai dokumen perencanaan yang harus menjadi rujukan dalam pelaksanaan kinerja DPR dan pemerintah.
”Alih-alih melakukan koreksi atas beban Prolegnas yang telah ditetapkan, DPR bersama dengan pemerintah justru menggunakan momentum evaluasi Prolegnas untuk menambah beban dengan memasukkan empat RUU tambahan, padahal bila merujuk pada capaian kinerja legislasi sebelumnya, beban 33 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebelum dilakukan evaluasi sudah sangat berat dan tak mungkin terselesaikan,” ujarnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR M Nurdin mengatakan, penambahan empat RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 merupakan hasil kesepakatan rapat kerja Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan HAM dan Dewan Perwakilan Daerah. Kesepakatan itu diambil dengan melihat perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Hingga akhir September, lanjutnya, ada lima RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Sementara 12 RUU ada di pembahasan tingkat I, satu RUU menunggu penugasan pembahasan, empat RUU menunggu surat Presiden, dua RUU menunggu penetapan paripurna, dua RUU di tahap harmonisasi di Baleg, serta 11 RUU dalam proses penyusunan di DPR dan pemerintah. Sementara RUU Bahan Kimia usulan DPR dimasukkan dalam Prolegnas 2020-2024.
”Dari gambaran pencapaian legislasi, perlu kita dorong dan tingkatkan secara bersama-sama,” ujar Nurdin.
DPR dan pemerintah harus membuka akses yang seluas-luasnya kepada publik saat pembahasan RUU tambahan dalam Prolegnas Prioritas 2021, terutama RUU KUHP, RUU ITE, dan RUU Pemasyarakatan. Publik perlu segera mendapatkan draf RUU itu agar bisa terlibat dalam pembahasan. (Sustira Dirga)
Partisipatif
Peneliti Institution for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga, mengatakan, DPR dan pemerintah harus membuka akses yang seluas-luasnya kepada publik saat pembahasan RUU tambahan dalam Prolegnas Prioritas 2021, terutama RUU KUHP, RUU ITE, dan RUU Pemasyarakatan. Publik perlu segera mendapatkan draf RUU itu agar bisa terlibat dalam pembahasan.
”DPR harus menjalankan proses penyusunan yang terbuka dan partisipatif dengan sungguh-sungguh melibatkan publik selaku masyarakat terdampak regulasi,” ucapnya.
Selain itu, ICJR juga meminta pembahasan RKUHP nantinya melibatkan lebih banyak lagi bidang dan kajian ilmu. Pembahasan RKUHP mesti dilakukan secara sungguh-sungguh, tidak terburu-buru, transparan, dan akuntabel sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal kebijakan yang demokratis.
”Terkait dengan RUU Pemasyarakatan, ICJR tetap pada posisi RUU ini harus dibahas pasca-RKUHP disahkan. Namun, secara substansi, perlu penguatan pada konsep pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan yang sejalan dengan konsep restorative justice,” kaya Sustira.